ACEHTREND.CO,Siglu- Puluhan perempuan duduk saling berhadapan. Di depan mereka masing-masing sudah dipasang kompor gas dan acuan berupa belanga tanah. Hari ini, Minggu (25/3/2018) mereka meramaikan acara toet apam (membuat serabi) di Gampong Blang Dhod, Kecamatan Tangse,Pidie.
Tradisi “toet apam” atau memasak serabi ini menjadi salah satu warisan lelulur masyarakat saat memasuki bulan Rajab. Bulan Rajab adalah satu bulan penanggalan dalam kalender Islam. Bagi masyarakat Aceh, bulan ini dikenal sebagai istilah “buleuen apam”. Pasalnya, memasuki bulan ini, sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Aceh memasak apam. Tradisi yang mayoritas digeluti kaum hawa ini telah dilakuan secara turun temurun. Biasanya, tradisi ini sering dilakukan secara berkelompok dengan menggelar kenduri apam.
Adapun apam ini dimasak dalam cudu, yaitu periuk tanah yang secara khusus telah dipersiapkan dengan berbagai ukuran. Sebelumnya, cudu tersebut dahulu telah diberikan sedikit garam agar nantinya serabi tidak lengket.
“Kami memakai garam agar tidak lengket saat apamnya sudah matang. Selain itu untuk menjaga aroma khas tetap terjaga dan terasa lebih gurih,” ujar Nazariah, warga setempat kepada aceHTrend, Minggu (25/3/2018).
Nazariah mengatakan, memasak apam membutuhkan waktu sekitar satu menit. Adapun bahan-bahan yang diperlukan di antaranya tepung beras, santan kelapa, gula dan daun pandan. Api yang dipergunakan untuk memasak apam harus terlihat normal dan stabil, artinya tidak boleh besar dan kecil. Tujuannya agar apam yang dimasak tidak hangus.
Nazariah menambahkan, apam yang sudah dimasak itu dibagi-bagikan pada tetangga atau fakir miskin. Biasanya, warga sering membawa penganan mirip serabi tersebut ke meunasah-meunasah agar bisa disantap bersama-sama. Adapun sajian khas Aceh ini biasanya sering disajikan bersama kuah kolak berisi santan yang dicampur irisan pisang, nangka atau ketela.
“Tradisi ini sudah ada sejak saya masih kecil sekitar tahun 1970-an. Biasanya kami memasaknya mulai masuk Rajab hingga ramadhan. Ini sudah menjadi tradisi kami yang secara turun temurun walaupun sekarang kebiasaan ini sudah agak jarang kita temukan,” ujar Nazariah.