Oleh Kemal Pasya, S.IP, MPA*)
Saat Musrenbang Provinsi Aceh pada tanggal 16 April 2018 yang lalu, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mengungkap tantangan kemiskinan baik dalam lingkup nasional maupun lingkup lokal Aceh. Berdasarkan data BPS pada September 2017, TNP2K menginformasikan kepada kita semua bahwa Aceh merupakan provinsi dengan persentase penduduk miskin tertinggi keenam di Indonesia dan tertinggi pertama di Sumatera, berada pada angka 15,92%.
Belum lagi jika menganalisa lebih dalam perihal ketimpangan yang sulit diturunkan dan kerentanan yang sangat tinggi. Walaupun delapan tahun terakhir jumlah penduduk miskin kota-desa cenderung menurun, namun proporsi dan jumlahnya masih sangat tinggi terutama di wilayah desa atau gampong.
Fakta ini barangkali sudah sangat akrab di mata dan telinga kita. Bahkan, adagium “semakin banyak jumlah penduduk miskin di desa, semakin besar pula anggaran yang masuk ke desa” seolah menjadi kebanggaan dan harapan bersama. Keseriusan pemerintah menangani kemiskinan di desa dari segi pengalokasian anggaran tetaplah harus menjadi kebanggaan kita.
Buktinya, Dana Desa dari APBN sejak tahun 2015 hingga 2018 ini semakin meningkat. Beberapa gampong di Aceh bahkan mendapat lebih dari Rp. 1 miliar pada tahun ini. Jumlah yang amat fantastis untuk mendukung pengentasan kemiskinan, mengingat bobot Jumlah Penduduk Miskin (JPM) pada Alokasi Formula penentuan besaran Dana Desa Tahun 2018 meningkat menjadi 50%, ditambah lagi dengan adanya Alokasi Afirmasi yang mempertimbangkan kondisi Desa Tertinggal dan Desa Sangat Tertinggal sesuai Indeks Desa Membangun (IDM).
Keberpihakan kepada si miskin tidak hanya soal anggaran semata. Lewat SKB 4 Menteri, pemerintah mengeluarkan kebijakan pemanfaatan Dana Desa Tahun 2018 melalui Padat Karya Tunai dengan mekanisme pengalokasian minimal 30% Dana Desa untuk jasa upah tenaga kerja dalam rangka melaksanakan kegiatan-kegiatan pada bidang pembangunan. Pertanyaannya, akankah gampong-gampong di Aceh menjalankan kebijakan tersebut?
Dukungan dan Komitmen Perencanaan
Presiden Joko Widodo pada Rakornas Penguatan Padat Karya Tunai Desa dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan di Desa tanggal 14 Mei 2018 yang lalu, amat menekankan pentingnya pelaksanaan Padat Karya Tunai untuk membuka lapangan kerja sementara dan meningkatkan kesejahteraan warga desa, terutama masyarakat miskin dan penganggur.
Menyikapi kebijakan tersebut, langkah penting bagi gampong-gampong di Aceh adalah melakukan pengkajian ulang terhadap Rencana Kerja Pemerintah Gampong. Jika dalam kondisi ideal, rencana kerja untuk tahun anggaran 2018 seharusnya telah dirampungkan paling lambat pada September 2017 yang lalu, sebagaimana amanah dari Pasal 29 ayat (4) Permendagri Nomor 114 Tahun 2014. Mengacu pada kondisi tersebut, tentu saja mekanisme Padat Karya Tunai sebagaimana tersirat pada SKB 4 Menteri belum diterapkan sepenuhnya, mengingat keputusan tersebut baru ditetapkan pada tanggal 18 Desember 2017.
Oleh sebab itu, gampong-gampong di Aceh yang telah sampai pada tahapan tersebut dapat menunjukkan dukungan dan komitmennya dengan melakukan perubahan rencana kerja atau pemusatan kembali (refokusing) pada jenis-jenis kegiatan pembangunan yang dibahas dan disepakati melalui Musdes dan Musrenbangdes. Kedua hal tersebut tentu menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah gampong, karena akan berbenturan dengan usulan-usulan masyarakat yang umumnya bersifat “memaksa” dan “sulit untuk diubah”.
Sangat dibutuhkan ketajaman strategi dan “penawaran” yang menarik agar dukungan dan komitmen Padat Karya Tunai dapat dijalankan bersama oleh pemerintah gampong dan masyarakat. Tawaran menarik tersebut, misalnya, dapat diungkapkan dengan ketersediaan upah kerja minimal 30% dari Dana Desa untuk total nilai kegiatan pembangunan yang dilaksanakan secara swakelola dengan memanfaatkan tenaga kerja dan material lokal yang ada di gampong. Jika dapat dilaksanakan sesuai harapan dan ketentuan, potensi perputaran uang bagi para pekerja dan penyedia barang/jasa dapat berjalan dengan cepat baik harian maupun mingguan, sehingga perubahan rencana kerja dapat segera menyesuaikan dengan ketentuan yang ada sebagai wujud nyata dukungan dan komitmen tersebut.
Pemetaan Jenis Kegiatan dan Sasaran
Tindak lanjut dari dukungan dan komitmen pemerintah gampong terhadap Padat Karya Tunai tentu saja harus memperhatikan jenis-jenis kegiatan pembangunan yang dilakukan serta sasaran atau penerima manfaat dari program itu sendiri.
Pertama, jenis kegiatan pembangunan yang dapat dilakukan oleh gampong wajib berpedoman pada kegiatan yang menjadi kewenangan gampong, baik kewenangan berdasarkan hak asal usul gampong atau kewenangan berskala lokal gampong. Hal ini penting untuk diperhatikan agar gampong tidak terjebak pada jenis kegiatan yang ternyata tidak dapat dilaksanakan melalui mekanisme swakelola, tetapi justru melalui kontrak.
Secara sederhana, mekanisme swakelola diterapkan pada jenis-jenis kegiatan pembangunan atau konstruksi yang bersifat sederhana seperti pembangunan jalan rabat beton, pembangunan embung desa, atau pembangunan drainase lingkungan. Sebaliknya, konstruksi yang bersifat tidak sederhana seharusnya tidak menjadi kewenangan gampong, karena akan mengurangi semangat pemanfaatan Dana Desa untuk keberdayaan dan kemandirian gampong. Gampong dapat mempedomani UU No. 18 Tahun 1999 dan Perka LKPP No. 13 Tahun 2013 sebagai acuan pelaksanaan jenis kegiatan pembangunan.
Kedua, sasaran Padat Karya Tunai adalah anggota keluarga miskin, penganggur, setengah penganggur, dan anggota keluarga dengan balita gizi buruk. Pemetaan sasaran ini benar-benar harus dilakukan semaksimal mungkin. Persoalan siapa dan mengapa orang-orang tertentu menerima uang di gampong selalu saja menjadi persoalan klasik. Dana Desa bahkan dianggap sama seperti bantuan yang harus dibagi rata dan seolah-olah semua masyarakat harus mendapatkan bagiannya. Jika tidak fisiknya, ya “mentahnya” saja.
Oleh karena itu, pemerintah gampong harus memperkuat dirinya dan masyarakat dengan keterbukaan yang baik melalui musyarawarah serta didukung pula dengan data-data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Beberapa data yang dapat digunakan untuk menentukan masyarakat gampong yang menjadi sasaran program tersebut contohnya adalah Data Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I dari BKKBN.
Belajar dari Pengalaman Masa Lalu
Saat musibah itu terjadi, saya masih duduk di bangku kelas 2 SLTA. Terlalu muluk bagi saya, mungkin, jika menganalogikan program Padat Karya Tunai dengan Dana Desa ini dengan pengalaman para pendahulu saat berjalannya program padat karya lewat lembaga-lembaga nasional maupun internasional pasca tsunami tahun 2004.
Namun, boleh jadi, Pemerintah Indonesia terinspirasi dengan program tersebut sehingga melanjutkan dengan mekanisme pemanfaatan Dana Desa. Sungguh pantas kita belajar dari pengalaman masa lalu.
Persoalan kemiskinan dan pengangguran yang dialami oleh Aceh, terutama di wilayah desa, akan lebih mudah ditangani jika pemerintah gampong sendiri yang mengambil peran melalui Dana Desa. Hingga tahun 2018, kekhawatiran para pengamat desa lebih banyak diungkapkan kepada gampong-gampong yang mengutamakan Dana Desa untuk kegiatan fisik ketimbang kegiatan-kegiatan yang bersifat non fisik (pembinaan atau pemberdayaan). Akan tetapi, jika boleh diteliti, barangkali faktanya gampong-gampong di Aceh pada umumnya terbatas dengan kualitas dan kuantitas infrastruktur atau sarana/prasarana dalam berbagai aspek, sehingga kegiatan-kegiatan non fisik khususnya yang berkaitan dengan pelayanan dasar masyarakat tidak dapat berjalan optimal.
Kesimpulan sementara: sebagian besar gampong di Aceh lebih membutuhkan kegiatan pembangunan fisik.
Dua faktor tersebut: keberhasilan padat karya tunai pasca tsunami dan kebutuhan gampong akan infrastruktur yang memadai, merupakan faktor pendorong kuat bagi gampong-gampong di Aceh untuk berperan aktif mengentaskan kemiskinan dan mengurangi angka pengangguran. Bayangkan saja, jika satu gampong mengalokasikan Rp. 500 juta untuk kegiatan-kegiatan pada bidang pembangunan, maka akan tersedia minimal Rp. 150 juta dalam bentuk upah kerja untuk orang miskin dan penganggur. Dampaknya tidak hanya penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran saja, akan tetapi juga terjangkaunya masyarakat gampong terhadap pelayanan dasar dan kegiatan sosial ekonomi. Pengentasan kemiskinan oleh pemerintah gampong harus tetap eksis dan berlanjut dalam bentuk apapun. Walaupun tanpa SKB 4 Menteri, walaupun tanpa Dana Desa.
*)Penulis adalah PNS Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong Aceh Barat, Kepala Seksi Penguatan dan Fasilitasi Keuangan Mukim dan Gampong.