Oleh Rahmad Fauzi*)
Tertangkapnya Irwandi Yusuf dan sejumlah pejabat serta beberapa pengusaha di Aceh dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sangat menghebohkan masyarakat Aceh dan juga hampir semua warga negara Indonesia.
Hal ini sangat mengejutkan publik dikarenakan Aceh selama ini yang begitu mengedepankan syariat Islam justru pemimpinnya yang melakukan perbuatan keji itu. Tentu itu bukan menjadi tolok ukur, orang yang beragama bisa terjamin dari godaan hitam dan juga kita tidak bisa menyalahkan syariatnya tapi ini adalah murni kehendak atau keinginan Irwandi sendiri.
Agama Islam juga tidak memaksa pemeluknya untuk mengikuti semua perintah Allah dan Rasul. Tapi yang jelas Islam memiliki aturan-aturan berupa kalam Allah Alquran dan Sunah Nabi yang menjadi pedoman umat dalam beragama agar selamat dunia dan akhirat. Masuk surga atau neraka seseorang itu tergantung kepada ketakwaannya, mereka sudah diberikan pikiran tinggal ke mana mereka menentukannya. Begitu juga dengan Irwandi yang ditetapkan KPK menjadi tersangka, tidak bisa disalahkan syariat atau agamanya.
Irwandi Yusuf sendiri merupakan orang nomor satu di Aceh, dia adalah Gubernur terpilih periode 2017-2022. Belum genap setahun ia dilantik, Irwandi malah menorehkan tinta hitam yang sangat merusak hati masyarakat Aceh. Bagaimana tidak rakyat yang sudah percaya kepada seorang pemimpin yang dipilih, justru dikecewakan oleh perbuatan korupsi yang dilakukannya. Kini Irwandi sudah ditetapkan sebagai tersangka dan akan menjalani pemeriksaan lebih lanjut oleh KPK selama 20 hari atas dugaan penerimaan suap 1,5 milyar rupiah.
Diduga pemberian tersebut merupakan bagian dari komitmen fee 8 persen yang menjadi bagian untuk pejabat di Pemerintah Aceh dan setiap proyek yang dibiayai dari Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA).
Sungguh sangat disayangkan, Dana Otonomi Khusus (otsus) Aceh tahun anggaran 2018 yang berjumlah 8 Triliun Rupiah diselewengkan oleh Irwandi dengan mengagennya kepada pemda setempat untuk mendapatkan alokasi dana tersebut. Jika ini terbukti benar maka sangat merugikan masyarakat. Dana yang sebetulnya dapat digunakan untuk pembangun infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan hal lainnya justru ditilep oleh orang nomor satu di Aceh.
Melihat sistem pengalokasian DOKA oleh Pemerintah Aceh dalam hal ini Irwandi Yusuf sebagai aktor yang bermain dalamnya, jika hal yang disangkakan oleh KPK benar. Maka dapat dipastikan hanya pemerintah kabupaten yang bisa menyediakan fee 8 persen untuk mendapatkan alokasi dana DOKA.
Pemimpin yang diharapkan dapat menyejahterakan masyarakat Aceh dengan segenap visi dan misi yang dikampanyekannya sewaktu Pemilihan Gubenur (Pilgub) 2017-2022, malah menjadi agen DOKA.
Bukannya memanfaatkan dana DOKA pada hal-hal yang benar-benar dibutuhkan dengan tujuan agar ekonomi Aceh lebih baik lagi, ini malah menjadi tikus di bumoe seramoe mekkah.
Padahal dana DOKA ini hanya ada sampai 2027, itu pun anggarannya mengalami penurunan di setiap tahunnya. Jika tidak bisa benar-benar dimanfaatkan dengan baik malah menjadikan Aceh makin tertinggal dari daerah lain. Dana DOKA tersebut sebenarnya diberikan oleh pemerintah pusat hasil dari perjanjian MoU Helsinki antara RI dengan GAM.
RI dan GAM yang pada tahun 2005 itu berdamai dan sama-sama ingin menjadikan Aceh lebih baik lagi, salah satu dengan adanya DOKA. Dari massa itu Aceh selalu mendapatkan DOKA yang begitu fantastis banyaknya, tetapi entah kenapa pembangunan di Aceh tidak begitu mencerminkan daerah ini memiliki dana yang besar.
Aceh dengan dana DOKA yang melimpah terus mengalami kemunduran baik dalam infrastruktur, SDM yang berkualitas maupun jaminan kesehatan yang selama ini dibanggakan juga belum cukup terlihat tajinya dengan anggaran yang melimpah.
Kasus Irwandi Yusuf ini, seharusnya menjadi renungan buat semua lapisan pemerintah Aceh, agar dapat memikirkan bagaimana Aceh ke depan pada saat DOKA ini tidak ada lagi, Apakah Aceh akan mandiri dan makin maju? Atau hanya Aceh terus ketertinggalan dari daerah lain?
Tentu kita ingin mendapatkan manfaatnya dari dana DOKA ini. Banyak sekali daerah di Aceh yang ketertinggalan dari daerah lain, apalagi di Barat Selatan Aceh atau yang lebih dikenal dengan BARSELA.
Daerah BARSELA sangat kurang mendapatkan alokasi DOKA oleh Pmerintah Pusat Aceh untuk pembangunan infrastruktur. Ini dapat dilihat dari pembangunan yang tertinggal dibandingkan dengan daerah seperti Aceh Besar, Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen, dan daerah Aceh lainnya di bagian timur. Padahal daerah ini juga menjadi bagian dari Aceh, tidak hanya mereka-mereka yang bisa memberikan fee saja yang diperhatikan.
Bukan ingin mengatakan mereka “memberikan fee” tetapi melihat kasus Irwandi Yusuf mengidentifikasi hal ini bisa saja terjadi. Oleh karena itu, daerah yang terkenal dengan syariat Islamnya ini, seharusnya perbuatan-perbuatan korupsi menjadi hal yang harus dihindari.
Agama Islam sangat melarang orang mukmin untuk melakukan hal keji tersebut, dan menjadi pemimpin dengan daerahnya melaksanakan syariat Islam seharusnya Irwandi menjadi suri teladan bagi masyarakatnya bukan menjadi agen dalam penyelenggaraan Dana Otonomi Khisus Aceh.
*)Mahasiswa STKIP Muhammadiya Abdya, Jurusan Matematika, juga sebagai Sekretaris Umum HMI Komisariat STKIP periode 2018-2019
Komentar