Oleh Kessa Ikhwanda*)
Sejak beberapa hari yang lalu santer diberitakan penangkapan Gubernur Aceh oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui OTT (Operasi Tangkap Tangan). Pemberitaan tersebut semakin menjadi viral dengan menjadi headline di berbagai media baik cetak maupun elektronik, apalagi statusnya menjadi tersangka, menjadi tanda tanya besar bagaimana kasus korupsi ini akan berlanjut dikemudian hari?
Sebelumnya saya sedikit menjelaskan mengenai status sebagai tersangka, di mana pada kondisi ini menurut Pasal 1 angka 15 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa seberapa lama status seseorang dinyatakan sebagai tersangka tergantung atas proses penyidikan yang dilakukan. Serta status ini bisa didapatkan jika terdapat minimal dua alat bukti permulaan. Setelahnya status bisa naik menjadi terdakwa apabila penyidikan telah selesai dan berkas perkara tersebut telah disidangkan di pengadilan. Jadi masih ada beberapa tahap yang dilalui sebelum akhirnya vonis dijatuhkan.
Lantas bagaimana seharusnya kita bersikap terkait perjalanan dari kasus korupsi yang menyeret orang nomor 1 di Aceh ini?
Menerapkan azas: Praduga tak bersalah
Perihal poin ini, saya mengajak seluruh masyarakat Aceh untuk akhirnya menerapkan azas praduga tak bersalah terhadap orang-orang yang terlibat dalam kasus ini, termasuk Gubernur Aceh. Hal ini saya sebutkan bukan semata-mata untuk pembelaan, namun ini mengacu kepada rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman Tahun 2004 dan Penjelasan Umum KUHAP yang isinya menjabarkan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Yang berarti, selama belum adanya vonis atau dalam kata lain putusan dari hakim yang menyatakan bahwa terduga bersalah dan dijerat dengan hukuman, maka sampai saat ini asas praduga tak bersalah berlaku. Sehingga kita percayakan kepada KPK dan juga proses hukum yang berlaku untuk nantinya menentukan hasil akhir terkait kasus korupsi yang melibatkan Gubernur Aceh serta beberapa orang lain yang terlibat.
Berposisi sebagai mitra kritis
Sesuai dengan yang dijabarkan pada poin 1, maka sudah selayaknya kita memposisikan diri sebagai mitra kritis yang memantau jalannya kasus ini. Karena secara tindakan OTT yang dilakukan KPK, kemudian penetapan status sebagai tersangka, mengartikan bahwa perjalanan kasus ini akan dibawa kepada ranah yang serius. Itu pula berarti jangan sampai adanya kasus yang hilang di tengah jalan tanpa adanya kejelasan informasi.
Pada kondisi lain pula, kita harus menjadi jeli terhadap perkembangan kasus, utamanya yang mungkin menyeret orang-orang lain dalam lingkup saksi maupun pelaku. Setiap tindakan yang dilakukan KPK sebagai bahan untuk mengevaluasi apakah perjalanan kasus ini sudah sebagaimana mestinya, atau justru masih adanya hal lain yang belum sesuai.
Tentunya pula pada harapan terbesar bahwa KPK sebagai lembaga yang berwenang dalam pemberantasan korupsi di Indonesia tidak sampai tebang pilih. Kasus-kasus lain yang mungkin terkait dan melibatkan beberapa elit politik di Aceh juga haruslah diproses secara hukum untuk nantinya dijatuhkan vonis yang setimpal.
Berhenti menyebarkan informasi Hoax
Sejalan dengan kedua poin di atas, pada bagian ini kita sebagai orang yang melek teknologi dan juga kemudahan dalam mengakses informasi, jangan sampai terjebak dengan wacana-wacana hoax yang disebarkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Pada segala informasi yang didapatkan, pastikan keabsahannya dengan cara mengecek langsung rilis resmi dari KPK, ataupun media lainnya.
Penyebaran informasi yang tidak jelas sumbernya, atau bisa dikatakan hoax bisa menjadi kerugian yang teramat besar bagi orang lain yang menerima, juga menjadi boomerang kepada mereka yang menyebarkan informasi. Jadi pastikan teliti sebelum akhirnya menyebarkan informasi kepada banyak orang. Ini menjadi poin yang sangat penting, karena kasus korupsi yang menimpa pemimpin Aceh dan juga beberapa oknum di dalamnya rawan akan informasi yang tidak valid, terutama kesalahan yang mungkin dilakukan oleh orang-orang dalam menerjemahkan status yang ditetapkan KPK kepada Gubernur Aceh.
*) Penulis adalah Ketua Umum BEM IM FKM UI 2017, penerima beasiswa Kader Surau UI, mahasiswa Program Sarjana (S1) Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Email: kessaikhwan14@gmail.com
Komentar