Oleh Rahmat Alfajri*)
Belum final dinamika politik antara legislatif dengan eksekutif Aceh, sekarang malah muncul kabar baru ditangkapnya gubernur Aceh terkait kasus korupsi. kabar ini tentu sangat menggemparkan masyarakat Aceh.
Pada Pilgub Aceh 2017, Irwandi yang berpasangan dengan Nova Iriansyah memenangkan pemilu dengan perolehan suara 898.710 suara. Sebagai Gubernur terpilih tentunya masyarakat Aceh menggantungkan harapan dan berbagai aspirasi kepada Irwandi-Nova selaku orang nomor satu di Aceh. Namun sayangnya, harapan masyarakat Aceh itu menjadi sirna setelah mendengar kabar Irwandi dibawa oleh Tim KPK dari Pendopo Gubernur ke Polda Aceh terkait kasus korupsi.
Kabar ditangkapnya Irwandi tentu mengundang banyak kecaman, kekesalan, serta kekecawaan masyarakat Aceh kepada Gubernur Aceh itu. Setelah kejadian ini tentu kepercayaan publik kepada pemerintah akan semakin kecil. Masyarakat akan mempunyai perspektif bahwa elit politik saat ini tidak bermoral dan beretika. Dan ini merupakan pembelajaran bagi kita, pelajaran bagi penggiat demokrasi dan politik negeri ini.
Lantas bagaimana sejatinya etika seorang elit politik? Benarkah kejujuran pemimpin negeri ini masih rendah? Ataukah pemimpin negeri ini lebih bernafsu untuk berkuasa tanpa adanya nilai-nilai dan etika?
Etika Elit Politik Demokrasi
Dalam sistem politik demokrasi yang beradab, politik dan demokrasi tumbuh dengan ditopang oleh nilai-nilai dan etika para pelakunya, di mana kekuasan dijadikan sebagai alat untuk mensejahterakan masyarakat. Tentunya etika para elit politik sangat menentukan kesejahtraan rakyat ke depan, jika elit politik mempunyai nilai-nilai positif, kebaikan dan kebenaran maka kekuatan dan kekuasan dapat dijalankan dengan baik. Inilah yang diharapkan oleh masyarakat pada umumnya.
Politik sebagai instrument untuk meraih kebajikan melalui artikulasi kepentingan seharusnya didasari oleh kejujuran. Hanya dengan kejujuran maka tujuan kebajikan tersebut akan bisa diwujudkan. Sayangnya bahwa tujuan menciptakan kebajikan tersebut seringkali direduksi oleh berbagai tindakan para pelaku politik yang tidak mencerminkan.
Kurangnya etika elit politik sebagaimana perilaku politisi sekarang ini merupakan akibat dari ketiadaan pendidikan politik yang memadai. Bangsa kita tidak banyak mempunyai guru politik yang baik, yang dapat mengajarkan bagaimana berpolitik tak hanya mempergunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, namun dilakukan dengan penghayatan etika serta moral untuk kemaslahatan umat.
Untuk terwujudnya etika dan nilai-nilai yang baik perlu adanya kontrol yang baik dalam upaya pemenuhan dan kesadaran akan beretika dalam menjalankan tugas-tugas sebagai sosok abdi negara, pelayan masyarakat, dan pengayom masyarakat untuk tetap fokus pada tugas-tugas dan terhindar dari hal-hal yang menyimpang (A’yuni dan Puspita:2012).
Masyarakat Aceh saat ini mengharapkan adanya pemimpin yang adil dan jujur, amanah dengan kekuasan yang dimilikinya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Prakoso Bhairawa Putera (2012) rakyat mengharapkan adanya sosok pemimpin yang mampu mengendalikan, mengatur dan menjaga bawahannya supaya tidak terjerumus dalam lingkaran korupsi dan penyelewengan dana atau anggaran. Sosok pemimpin lokal yang ideal menjadi harapan akan terbebasnya masyarakat dari kata korupsi.
Elit Politik Harus Beretika
Politik moral adalah sebuah kewajiban dalam penyelenggaraan politik yang sehat. Politik moral bagaikan sebuah panduan tindakan bagi politisi. Penuh tanggung jawab, populis, adil dan jujur adalah etika dalam politik yang tetap harus dijunjung tinggi.
Untuk melahirkan elit politik yang beretika dan mempunyai nilai-nilai kebaikan dan kebenaran tentunya harus dipupuk sejak dini dengan ilmu pengetahuan, nilai dan norma secara mendasar, Pendidikan harus mengedepankan kejujuran dan akhlak yang baik. Melatih untuk lebih mengedepankan proses daripada hasil dan adanya kontrol sosial yang baik agar di saat menjadi seorang politisi maupun pemimpin negeri ini tidak terjerumus pada perbuatan yang menyimpang sehingga merugikan rakyat dan Negara.
Sekian banyak elit politik, tentu masih ada yang menjadikan kejujuran sebagai basis etikanya. Tinggi rendahnya integritas moral seseorang dalam berpolitik menentukan tinggi rendahnya integritas kepribadian dan kualitas berpolitik dari sang politisi tersebut. Dengan masih adanya politisi kita yang bermoral, memungkinkan kita bisa berharap akan adanya perbaikan politik dan moral bangsa yang sedang bobrok jatuh di titik nadir. Dan dengan demikian, ke depannya masih ada orang yang bisa dipilih untuk kepentingan mengembangkan kebajikan tersebut.
*)Ditulis oleh Rahmat Alfajri, Mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala.