Sengatan matahari sangat terasa perihnya, hawa panas bercampur aduk dengan keringat yang mengalir dari pori-pori, ketiak terasa lengket, nafas memburu, pandangan mata harus disipitkan karena tak mampu melawan “teror alam” yang beringas di siang yang tak ramah.
Sruuupppp!, seketika dahaga hilang serta merta, ketika cendol yang tadinya berada di dalam gelas, berpindah ke dalam mulut melalui perantaraan pipet plastik warna putih. Seketika romantisme masa lalu pun menyeruak ke permukaan.
“Tape ketannya kok tidak ada?” tanya saya.
“Kebetulan hari ini cepat habis, Bang,” jawab Ela, perempuan muda penjual cendol sembari tersenyum ramah.
***
Minggu (19/8/2018) pukul 11.30 WIB, saya menemani istri berbelanja kebutuhan dapur di Kota Matangglumpangdua, yang berjarak 10 km dari arah timur Kota Bireuen. Ketika sedang asyik-asyiknya belanja, tiba-tiba saya ingin meneguk segelas cendol.

Setelah berkeliling ke beberapa tempat di mana biasanya mangkal penjual cendol, saya menemukan rak-rak kosong tanpa isi. “Mungkin karena besok meugang, sehingga mereka tidak berjualan,” kata istri saya.
Setelah mengantarkan istri ke rumah, saya menstarter sepeda motor matic tua warna putih ke Kota Bireuen, tujuan saya hanya satu, yaitu ke jalan Listrik, di samping kantor PLN Bireuen. Di sana tidak boleh tidak, selalu ada penjual cendol legendaris yang telah berjualan sejak saya belum mengenal dunia.
Saya sempat menjumpai seorang guru sekolah rendah dan mengajaknya ke sana, tapi dia menolak dengan alasan tidak doyan cendol. Ketika seorang teman lainnya datang, saya mengajak ke tujuan yang sama. Ia setuju, tentu setelah menghabiskan satu gelas sanger espresso arabica di WD Coffee.
Setelah pelaksanaan shalat dhuhur, saya dan teman tersebut bergegas ke jalan Listrik, tiba di sana, kami segera memesan satu gelas cendol dan satu gelas es campur. Es campur adalah varian baru yang dijual untuk memenuhi selera zaman, dulu yang dijual hanya cendol.
Saya memperhatikan ke sekeliling, tempat ini memang sudah mengalami banyak perubahan. Dulu para pedagang cendol menggelar dagangan di bawah payung, kesan kumuh masih kentara kala itu. Sekarang, jejeran rak pedagang sudah ditata di bawah bangunan serupa tempat parkir yang dibuat dari seng dan bilahan kayu murahan.

Jumlah rak seluruhnya ada delapan, berdiri mengikuti panjangnya lapak, masih tetap di sudut yang belakangnya langsung disekat oleh pagar kantor PLN. Penabalan jalan Listrik juga ada hubungannya dengan keberadaan kantor tersebut. Sudah menjadi tabiat orang Bireuen tempo dulu, memberikan nama sebuah jalan sesuai dengan suatu tempat paling dominan. Maka, bila melihat nama jalan tempo dulu di kota ini namanya selalu seperti itu, seperti jalan Pengadilan Lama, jalan Pasar Ikan Lama, jalan Ramai, jalan Andalas, dll. Baru tahun-tahun kemudian nama jalan dibubuhi dengan nama tokoh besar lokal.
Tetap seperti dulu, jumlah penjual cendol masih empat orang dengan empat rak, selebihnya adalah rak penjual mie caluk dan pecal bumbu kacang.
Saya tentu tidak mengenali lagi rak yang menjadi langganan ibu saya ketika ia sering membawa saya serta ketika berjualan hasil kebun ke “pasar subuh” di Pasar Induk Bireuen, ketika saya masih SD kelas permulaan. Dulu setiap selesai berjualan dan kemudian berbelanja kebutuhan sapur untuk seminggu ke depan, kami selalu singgah di sana untuk meneguk segelas cendol, saya tidak begitu ingat kenapa dulu tidak boleh nambah bila sudah habis satu gelas. Apakah karena uang yang terbatas, ataukah karena kami harus buru-buru pulang karena ibu harus segera tiba di rumah sebelum pukul 02.00 WIB.
Ela (22) menyambut kedatangan kami dengan senyum ramah. Dia mempersilakan kami duduk di kursi kayu yang memanjang tanpa sandaran. “satu cendol dan satu es campur, tambahkan tape ketan,” kata saya.
“Tapenya habis, Bang, baru saja habis, dua hari ini banyak pembeli dan semuanya minta ditambahi tape,” kata Ela,sembari terus mencampur cendol ke dalam gelas. Dua menit kemudian pesanan kami tiba di hadapan. Tidak menunggu lama, melalui sedotan plastik, cendol segera kami seruput dengan penuh sukacita.
Harga satu gelas cendol dan es campur masing-masing lima ribu, sangat terjangkau bagi yang mampu dan masih saja lumayan mahal bagi kelas ekonomi sangat rendah.
Ela mewarisi usaha cendol itu dari ayahnya, yang juga diwarisi dari kakeknya. Warga Glumpang Payong, Kecamatan Jeumpa itu yang sudah memiliki dua orang anak, mengaku berjualan cendol bersama abang kandungnya. Tapi dialah yang paling sering standby di tempat itu.
Dengan senyum yang tidak pernah luput dari bibirnya, Ela melayani pembeli dengan telaten, wanita berkulit kuning langsat tersebut selalu memberikan jawaban kepada siapa saja yang bertanya.
“Abang ingin jualan cendol ya?” tanya dia kepada saya, ketika menyadari bahwa pertanyaan saya semakin detail. Saya tertawa dan menggeleng, dia terkikik kecil.
“Saya sudah minum cendol di sini sekitar tahun 1992 kalau tidak salah,” timpal saya.
“Kamu lahir tahun berapa?” tanya seorang pria berusia kira-kira 40-an, yang datang untuk minum cendol bersama anak dan istrinya.
“Saya lahir 1996,” jawab Ela.
“Saya sudah minum cendol di sini jauh sebelum kamu lahir,” kata lelaki itu terkekeh.
“Mungkin juga Bapak itu sempat menggendong kamu,” celetuk teman saya. Lelaki itu tersenyum kecil dan segera menyeruput sisa cendolnya. Istrinya menatap atap, kawan saya segera mengetahui kekeliruan candaannya. “Maksudnya digendong waktu kamu masih kecil,” tawa pun pecah.
Lapak berjualan cendol di jalan Listrik buka setiap hari, paling telat mereka tutup pukul 18.00 WIB, sangat tergantung dengan jumlah cendol yang terjual. Rata-rata sebelum Ashar mereka sudah tutup. Hari-hari biasa setiap pedagang menghabiskan satu drum 40 liter, per gelas dijual 5000, yang dibungkus juga seharga demikian.
Banyak orang yang mengaku selalu memiliki kerinduan untuk menikmati cendol di jalan Listrik, selain karena rasanya yang konsisten, juga kenangan masa lalu. Saya sendiri beberapa kali singgah di sana, hanya karena ingin memenuhi rasa rindu tersebut.
Ada beberapa perubahan, pertama tentu lapak berjualan yang sudah semakin rapi, bungkusan cendol untuk dibawa pulang juga sudah berbeda. Dulu bila kita membeli untuk dibawa pulang, cendol akan ditaruh dalam kantung plastik berukuran panjang. Kini karena alasan ribet, cendol yang dibeli untuk dibawa pulang ditaruh di plastik bening biasa. “Susah, Bang, plastik panjang itu bikin repot bila sedang ramai pembeli,” terang Ela.
Serutan es manual juga tidak ada lagi. Sekarang es yang sudah diserut ditaruh dalam pot. Dulu, tontonan gratis yang tidak pernah luput dari perhatian saya adalah atraksi serutan es yang seolah- olah dibor. Kristal-kristal es yang sudah lebur itu kemudian ditaruh di bagian paling atas cendol. Ibu saya selalu bilang: “Jangan banyak es ya, saya tidak suka,”
Mengapa serutan itu tidak lagi digunakan, Ela mengatakan ia tidak nyaman dengan berat serutan itu. “Berat, Bang. Tak sanggup saya bila tiap hari harus memasang itu,” katanya, sembari duduk santai di atas drum plastik yang sudah kosong. []