Oleh: Muslim Budiman Madat*)
Problem utama dan nyata Aceh hari ini adalah kemiskinan. Data per Maret 2018 dari BPS, jumlah penduduk Miskin di Aceh sebesar 839 ribu orang 15,97 persen jauh di bawah angka kemiskinan nasional yang sebesar 9,8%. Dengan persentase tersebut, Aceh menjadi termiskin di Sumatera dan menduduki peringkat ke 6 di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 18,49% tinggal di perdesaan. Artinya, lebih dari 63% dari 839 ribu tersebut orang miskin tinggal di perdesaan yang telah diamini mayoritas bekerja pada sektor pertanian.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah benar adanya petani di Aceh miskin? Salah satu caranya adalah dengan melihat angka Nilai Tukar Petani (NTP). Kenyataannya NTP di Aceh pada kisaran 94. Angka NTP di bawah 100 artinya Petani masih belum mampu mencukupi kebutuhan mereka, baik untuk komsumsi maupun produksi. Masih dibutuhkan 17 poin lagi untuk membuat pendapatan mereka sama dengan pengeluaran mereka.
Sampai di sini kita tidak bisa menyimpulkan bahwa petani kita makmur.
Berdasarkan data yang dirilis BPS untuk Nilai Tukar Petani pada bulan Juli 2018, dari lima subsector hanya sektor perternakan yang menunjukkan angka menggembirakan dengan angka 106, 87 sedangkan empat sub sektor lain masih apes dengan angka dibawah 100, bukti bahwa petani kita masih terengah-engah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut;
Data: BPS 2018
Pertanyaan selanjutnya, sejauh apa sektor penting untuk dikembangkan oleh pemerintah? Hal ini dapat dilihat dengan melihat sumbangan sektor ini pada Produk Domestik Regional Bruto dan berapa tenaga yang ditampung oleh sektor tersebut. BPS merilis data yang dengannya kita mengambil kesimpulan pertanianlah yang menopang perekonomian Aceh. Per 2017 Sektor Pertanian, Perkebunan dan Perikanan mengusai 29,63% dari total PDRB Aceh menurut Lapangan Usaha tahun 2017. Data lebih detil dapat dilihat pada diagram berikut;
Data diolah dari rilis BPS Aceh, 2018.
Data di atas parallel dengan data terkait lainnya yakni penduduk berusia di atas 15 tahun yang telah bekerja di mana, sebesar 38, 87% angkatan kerja bekerja pada sektor pertanian. Untuk perdesaan sendiri malah lebih dari 50% masyarakat bekerja pada sektor ini. Sampai di sini kita dapat menyimpulkan adalah sebuah keniscayaan jika pemerintah memberikan perhatian lebih dengan menjadikan pertanian sebagai prioritas pembangunan ekonomi, termasuk lewat porsi penganggaran, prioritas infrastruktur pertanian dan pilihan strategi yang dapat mendorong sektor ini benar-benar menjadi penopang ekonomi petani.
Sub Sektor Tanaman Pangan
Pada tulisan ini, penulis ingin fokus pada sub sektor tanaman pangan. Sub sektor inilah yang mestinya menjadi prioritas pemerintah, pendapat ini didasarkan pada pada beberapa alasan;
Pertama; Pada sektor tanaman pangan, angka NTP masih 91, 14. Artinya Petani masih belum mampu mencukup sebesar 8,86 persen beban pengeluarannya baik untuk konsumsi maupun untuk beban usahanya. Bahkan, Nilai NTUP (Nilai Tukar Usaha Pertanian) masih di bawah 100, yakni 98,81. Artinya, Petani tanaman pangan di Aceh masih menderita kerugian. Atas dasar inilah tidak berlebihan jika kami berpendapatan para pihak harus turun tangan secara lebih serius.
Kedua; Komoditas utama dari sub sektor adalah adalah gabah (beras), di mana beras merupakan barang utama yang paling berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan baik secara nasional maupun di Aceh sendiri. Beras berperan mengakibatkan kemiskinan sebesar 20,28% di perkotaan. Bahkan angkanya mencapai 25,89% di pedesaan. Sehingga, dengan memperbesar jumlah produksi, selain akan meningkatkan NTP petani, juga dapat digunakan sebagai instrument untuk menekan harga jual beras, dimana hal ini akan mengurangi beban konsumsi penduduk miskin untuk komponen beras itu sendiri.
Ketiga; Indonesia masih belum mampu mencukupi kebutuhan beras nasional. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya impor beras pada tahun 2018. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor beras hingga Juni 2018 telah mencapai 865.519 ton dengan nilai impor sebesar US$ 404,92 juta. Artinya, kita tidak perlu ragu soal pasaran beras. Fakta Negara masih mengeluarkan kebijakan impor bukti bahwa pasar beras dalam negeri masih terbuka lebar.
Keempat; Areal persawahan Aceh yang tidak memiliki irigasi masih sangat besar yakni 102,643 Ha. Petani pada lahan tersebut hanya berharap pada air hujan. Otomatis akan mengurangi jumlah kali tanam dari lahan yang ada. Selain itu, ketiadaaan pengairan yang memadai akan menurunkan produvitas lahan pada saat panen.
Kelima, produksi gabah di Aceh belum mencapai titik optimal. Artinya masih berpeluang untuk ditingkatkan. Di mana, rata-rata produksi masih pada kisaran 5 ton/ha. Belajar dari aplikasi di Jawa Barat, dengan menggunakan bibit unggul dan tekhnologi, produksi padi masih dapat dikembangkan hingga 8 ton/ ha. Artinya, dengan jumlah lahan yang ada masih dapat bertumbuh hingga 60%.
Yang Dapat Dilakukan
Berdasarkan fakta-fakta di atas penulis menawarkan usulan sebagai sebagai berikut;
Pertama; Terkait dengan perlindungan harga, pemerintah mestinya melindungi harga jual petani. Kasus pada tahun 2018, harga petani sempat dibeli dengan harga Rp 4.500/ kg. Pihak terkait sudikiranya melakukan monitoring secara ketat terhadap perkembangan harga di pasar. Di sini, Perum Bulog harus berperan lebih aktif dengan cara melakukan intervensi pasar lewat pembelian gabah. Terutama pada musim panen raya, dimana akibat over supply secara natural harga gabah akan turun.
Kedua; Meneruskan program subsidi. Hal ini penting untuk mengurangi beban produksi petani. Sehingga It, atau Indek diterima petani akan meningkat. Subsidi hendaknya diarahkan pada penggunaan bibit unggul dan pupuk, pestisida dan obat pertanian saja. Pemerintah sejatinya menjalin kerjasama strategis dengan berbagai Universitas – Universitas ternama dalam rangka litbang dan penyediaan varietas unggul. Bibit diyakini sebagai factor utama yang menjadi factor penting produktivitas gabah. Sementara untuk penerapan teknologi, pemerintah harus awas betul. Penggunaan teknologi mesin tidak selamanya baik untuk meningkatkan pendapatan petani. Karena pada banyak wilayah, penggunaan mesin dapat mengurangi pemanfaatan tenaga manusia. Hal ini justru membuat, banyak pekerjaan petani hilang. Terutama untuk buruh tani. Jadi harus dievaluasi secara cermat dampat positif dan negatif ketika teknologi baru ketika diterapkan pada suatu wilayah pertanian.
Ketiga; Terkait dengan areal persawahan yang belum memiliki sarana irigasi masih sangat luas, setara dengan 40% dari seluruh areal persawahan. Pemerintah Pusat maupun Aceh mestinya menjadikan proyek Irigasi sebagai prioritas pembangunan infrastruktur untuk dan hingga beberapa tahun mendatang.
Keempat; Mencegah gabah keluar dari Aceh. Hal ini penting untuk melindungi pengusaha penggilingan padi, menjaga harga jual petani, dan mengendalikan harga beras. Yang dapat dilakukan di antaranya adalah; penjadwalan panen raya. Penen raya yang mencukupi wilayah yang terlalu luas, akan mengakibatkan pengusaha lokal tidak mampu menampung gabah Aceh. Selain karena kekurangan modal untuk membeli, juga terkait dengan kapasitas produksi pabrik lokal. Kondisi ini membuka peluang bagi pedagang dari luar Aceh untuk masuk dan membeli gabah petani. Pembeli dari luar tentu menghitung biaya transport dan secara otomatis ini akan menurunkan harga beli pengusaha tersebut dari petani kita. Karenanya, penjadwalan tanam dan penen harus disesuaikan dengan kapasitas pengumpul dan pabrik penggililingan lokal. Kacaunya lagi, beras yang diproduksi di luar Aceh dengan gabah Aceh, akan dijual kembali ke Aceh.
Kelima; Membentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk menampung gabah dan memproduksi beras. Bicara gabah, outputnya tidak hanya beras, produk lain misalnya berupa dedak merupakan varian produksi lain dari gabah. Dedak nantinya dapat dijual atau diolah menjadi pakan ternak. Jika gabah Aceh di jual keluar Aceh, otomatis nilai tambah dari produk dedak akan dinikmati oleh pengusaha dari luar Aceh. Di mana sebenarnya nilai tambah nantinya dapat dinikmati oleh pengusaha pabrikan lokal. Kenyataan hari ini, pabrikan lokal tidak dapat menampung seluruh gabah Aceh, terutama pada musim panen raya. Maka pendirian pabrik gabah di Aceh menjadi penting untuk diwujudkan. Pemerintah dapat membentuk BUMD yang bergerak pada ceruk produksi tersebut. Ada baiknya, untuk memberikan keyakinan memadai BUMD tersebut nantinya dapat survive dan memberikan keuntungan, Pemerintah dapat menggandeng pihak swasta yang telah berpengalaman dalam usaha tersebut, misalnya PT. Indo Beras Unggul, PT. Bumi Banda Reksa dll, Dapat pula menjalin kerjasama dengan BUMN nasional yang selama ini telah bergerak pada usaha ini, misalnya PT. Rajawali Nasional Indonesia (Persero). Menggandeng pihak lain, dengan pola kerja sama investasi dan manajemen dapat meminimalisir politisasi dan intervensi pihak-pihak yang tidak berkepentingan terhadap BUMD tersebut, yang selama ini menjadi momok bagi keberlangsungan dan perkembangan pada banyak BUMD di Indonesia.
Wallahu’alam.
*)Lulusan Program Pasca Sarjana Unsyiah, Alumni HMI