Oleh Muslim Budiman Madat*)
Fuad (48) adalah supir mobil angkutan Aceh – Medan, hari itu ia tidak sedang bekerja. Seperti kebanyakan pria Aceh lainnya, saat itu Ia menghabiskan waktu di warung kopi. “Nggak berangkat ke Medan selama ini?” tanya saya. “Tidak ada permintaan barang, bagaimana mau pergi. Di Medan lagi banjir beras,” Jawabnya.
Memang, selama ini Fuad membawa beras dari Aceh untuk disebar ke pasar – pasar lokal di daerah Sumut. Ia menjualnya ke toko toko kelontong di sana. Hanya saja tidak selalu dapat ia lakukan, tergantung pada ada tidaknya permintaan. Menurutnya lagi, jika di Sumatera Utara sedang panen raya akan sulit baginya untuk memasarkan bahan makanan pokok itu.
Berangkat dari cerita singkat di atas, maka kita tentu harus mengamini, bahwa bisnis gabah dan beras bukan saja soal produkvitas lahan dan luas panen, tetapi juga ada tidaknya permintaan, dan bicara soal permintaan akan erat kaitannya dengan harga. yang paling penting lagi, harga beras diyakini berkorelasi dengan pendapatan petani saat ketika menjual gabah hasil panennya.
Bicara harga, dapat dijelaskan dengan hukum permintaan dan penawaran (The law of supply and demand) Hukum ini membincangkan hubungan-hubungan di pasar, antara penjual dan pembeli dan kaitannya terhadap harga.
Terkait dengan beras, kuantitas permintaan terhadap komoditas ini cenderung stabil, dengan dua alasan; Pertama; baras adalah bahan makanan pokok yang nyaris tidak memilik barang subtitusi (pengganti) artinya tidak mungkin masyarakat yang telah mengkonsumsi beras akan mengkonsumsi barang lain. Kedua; jumlah penduduk tidak mungkin meningkat drastis sehingga sulit untuk mempengaruhi peningkatan permintaan terhadap komoditi beras. Kondisi ini pada satu sisi menguntungkan karena permintaan akan selalu ada, tetapi menjadi momok ketika produksi (supply) beras melebihi permintaan (demand).
Produksi gabah Aceh, pada tahun lalu diketahui telah mencapai angka 2,6 juta ton, jika dikonversi ke beras, dengan ansumsi koefisien konversi sebesar 0,57 (pendapat lain menyatakan 0,64 dari GKP) untuk 2,6 juta ton gabah akan diperoleh beras sebanyak 1,482 juta ton per tahun. Dengan asumsi konsumsi beras per kapita per tahun adalah 114,6 Kg maka kebutuhan beras di Aceh hanya 592,23 ribu ton. Ini berarti Aceh surplus beras sebanyak 889,76 ribu ton. Dengan menerapkan hukum penawaran di atas, maka surplus akan menurunkan harga jual beras. Kondisi ini pada akhirnya akan menjadi petaka bagi petani, sebagai produsen beras di hulu. Maka, solusi yang adalah menjual beras Aceh keluar Aceh, dan yang paling mungkin adalah Sumatera Utara.
Permasalahannya adalah apakah pasaran beras Sumatera Utara dapat menampung beras Aceh dengan harga yang bagus? Ini hanya mungkin terjadi jika Sumatera Utara defisit beras. Kenyataanya adalah, pada tahun 2017 Sumatera Utara sendiri surplus gabah sebesar 1,7 juta ton. Kondisi ini menjadi kian pelik sehingga butuh cara lain untuk menjaga pasar beras Aceh dengan harga yang pantas. Kondisi di mana di kedua provinsi mengalami surplus, lagi-lagi akan merugikan petani.
Namun demikian, kondisi ini bukan tanpa solusi. Kalau boleh kami sedikit berlebihan, Aceh harus beradu strategi dengan Sumut terkait dengan problematika beras ini. Dengan ungkapan yang sedikit provokatif Sumut harus dipandang sebagai konsumen sekaligus pesaing bagi beras Aceh. Sebagai konsumen, Sumut adalah pasar potensial, sebagai pesaing, Sumut adalah produsen beras yang harus ditaklukkan. Tentu saja dengan cara cara yang etis.
Dengan menerapkan beberapa skenario, problem ini, pun jika tidak menghasilkan capaian yang sempurna, setidaknya dapat mengendalikan harga gabah Aceh, yang nantinya dapat menguntungkan petani.
Sebelum melanjutkan ulasan ini, penulis ingin mengajak kita semua untuk memperhatikan peta pasar beras Sumatera Utara, di sini penulis hanya menampilkan 6 Kab/ Kota yang diyakini paling berpengaruh terhadap pasar. Alasan dipilihnya 6 dari 33 kabupaten Kota di Sumatera adalah, di antaranya; jarak pasar beras Sumut dengan Aceh, Jarak daerah lumbung gabah Sumatera Utara dengan pasar potensial beras dan jumlah produksi beras. Untuk lebih rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Data diolah dari rilis BPS Kab/ Kota di Sumut, 2018
Dengan memperhatikan tabel di atas maka dapat diterapkan beberapa strategi untuk penetrasi pasar beras Aceh yang dapat dilakukan.
Pertama; Menjadikan Kota Medan dan Binjai sebagai target pasar.
Sebagaimana ditunjukkan pada tabel di atas, kedua kota ini adalah pasar yang luas bagi beras Aceh, dengan jumlah penduduk pada kedua kota lebih dari 2,5 juta jiwa, Medan dan Binjai tersebut masih kekurangan beras sebanyak 274,165 ribu ton per tahunnya. Tantangannya adalah Medan dan Binjai tidak terlalu jauh jaraknya dengan daerah lain di Sumut sendiri yang juga lumbung padi di Sumatera Utara. Langkat, Simalungun, Serdang Begadai dan Deli Serdang ternyata memiliki surplus beras cukup besar, sehingga pada waktu-waktu tertentu dapat menopang kebutuhan Medan dan Binjai. Dengan pertimbangan jarak distribusi dll, akan sedikit berat bagi beras Aceh untuk bersaing. Sampai di sini diperlukan strategi lain untuk menyiasatinya.
Kedua; Mengatur jadwal panen.
Faktanya adalah produsen beras asal Sumatera Utara masih berburu gabah Aceh. Artinya, meskipun Sumut surplus beras, pada waktu-waktu tertentu produksi beras Sumut tidak mampu menopang kebutuhan konsumsi. Kondisi inilah yang dapat dimanfaatkan salah satunya dengan cara mengatur jadwal panen. Panen harus dijadwalkan tidak berbarengan dengan waktu panen raya pada 4 kabupaten lumbung beras Sumut. Dengan begitu Aceh dapat menjual beras ke Medan dan Binjai bahkan Langkat pada saat 4 daerah tersebut sedang kekurangan beras dari produksi sendiri. Dengan begitu, harga beras relative dapat dijaga agar tidak terlalu murah. Ingat, harga beras yang relatif tinggi akan berkorelasi positif dengan harga beli gabah dari petani.
Ketiga; Mencegah gabah Aceh ke luar Aceh. Selain berpotensi menurunkan harga beli gabah, keluarnya gabah dari Aceh dan diproduksi di Sumut juga menghilangkan potensi ekonomi bagi pabrik penggilingan lokal. Yang paling kentara adalah dari produksi dedak. Konversi dedak dari gabah mencapai 10%. Artinya dalam 1 ton gabah, penggilingan lokal berpotensi kehilangan 100 kg dedak. Dengan harga dedak per kilonya Rp1.500, maka Aceh kehilangan uang sebesar Rp.150.000. Bayangkan jika yang keluar dari Aceh mencapai 1 juta ton. Maka nilainya lost mencapai Rp. 150 miliar.
Seandainya potensi bisnis ini dapat dinikmati oleh pabrik lokal, bisa saja pabrik hanya akan mengambil keuntungan dari produksi dedak (bukan hanya dari harga jual beras). Kondisi ini pada akhirnya akan mengurangi Harga Pokok Produksi (HPP), dengan rendahnya HPP, maka peluang untuk bersaing dari sisi harga dengan sendirinya akan terbuka lebar.
Keempat; Meningkatkan kualitas beras dengan pabrik modern. Masih ingat dengan PT Induk Beras Unggul (IBU)? Perusahaan ini menjual beras kualitas super sampai Rp. 20.000 per Kg, sedangkan beras Aceh umumnya dijual paling banter Rp. 11.000 bahkan ada yang Rp. 9000. Pertanyaan mengapa PT IBU bisa menjual beras semahal itu? Apakah kualitas gabahnya berbeda jauh, sehingga harga bisa berbeda sampai dua kali lipat? Kami pikir tidak. Perbedaannya adalah pada proses produksinya yang lebih modern, sehingga beras yang dihasilkan akan berkualitas premium. Perusahaan patungan Indonesia – Singapura ini menggunakan mesin produksi yang memungkinkan untuk itu.
Andai, saja Aceh memiliki pabrik modern, tentu juga dapat memproduksi beras premium, dan nantinya dapat juga dijual ke Medan. Medan adalah Kota ketiga besar di Indonesia yang memiliki banyak konsumen high class yang mengkonsumsi beras kualitas super. Oleh karena itu, ketersediaan pabrik modern di Aceh penting untuk diwujudkan.
Pabrik modern bukan saja bertujuan menyediakan beras super, tetapi juga untuk menampung gabah Aceh yang telah mencapai 2, 6 juta ton pertahuannya. Dengan begitu, ketidakmampuan pabrik lokal untuk mengolah gabah akibat hambatan kapasitas produksi akan terselesaikan dengan tersedianya pabrik modern tersebut.
Kelima; Memanfaatkan tokoh dan pedagang Aceh di Medan. Kita semua tahu bahwa ada banyak komunitas Aceh di Medan. Organisasi Aceh Sepakat misanya, telah cukup akui kedudukan dan perannya di Kota itu. Mereka tidak hanya menjadi pengusaha, bahkan telah menjadi tokoh masyarakat di sana. Terakhir ketua HIMPI Sumut adalah putra Asli Aceh. Di Sumut juga banyak pedagang – pedagang asal Aceh. Contohnya gampangnya, dapat dilihat di wilayah Sunggal, ada banyak toko grosir yang dimiliki dan dijalankan oleh pedagang asal Aceh.
Komunitas seperti inilah yang dapat digalang untuk menjadi semisal mitra dagang untuk beras-beras Aceh. Pertemuan-pertemuan berkala harus dilakukan untuk menjaring pemikiran mereka yang nantinya kita harapkan dapat menemukan solusi dan cara agar pasar beras Aceh menjadi lebih menjanjikan di Sumatera Utara.
Semoga – Wallahu’alam.
*)Lulusan Program Pasca Sarjana Unsyiah, Alumni HMI.