16 September 2000; Pagi itu suasana terlihat biasa, tidak ada yang terlalu berbeda dari pagi hari lain di zaman konflik Aceh. Orang-orang baru sedikit yang lalu lalang, umumnya enggan keluar rumah saat pagi masih gelap karena suasana keamanan Aceh yang memburuk, kecuali terpaksa karena ada keperluan mendesak. Suasana pagi itu tiba-tiba berubah luar biasa. Seorang tokoh penting Aceh, Prof. Safwan Idris ditembak orang tak dikenal di rumahnya. Ia meninggal di tempat seketika.
Menurut keterangan polisi dan pihak keluarga kemudian, kita mengetahui ada 2 pelaku yang datang ke rumah pak Safwan sekitar pukul 06.45 itu menggunakan satu sepeda motor. Berpura-pura sebagai mahasiswa, pelaku yang ditaksir berusia 25 tahun itu dipersilakan masuk ke ruang tamu oleh istri almarhum. Tak lama kemudian, seisi rumah terkejut mendengar suara tembakan. Bagian leher dan rahang Prof. Safwan Idris ditembusi peluru.
Penembakan dan pembunuhan terhadap Prof. Safwan Idris yang saat itu menjabat sebagai Rektor di IAIN Ar-Raniry (Sekarang UIN Ar-Raniry), terasa sangat mengejutkan. Apa lagi tak diketahui latar belakang motif seperti apa terhadap korban, bahkan hingga saat ini. Ia bukan lawan politik siapapun, pula diketahui tidak memiliki permusuhan dengan siapapun kala itu.
***
Padahal beberapa bulan sebelum kejadian, saya yang ketika itu menjabat posisi Sekjend Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR), menolak pernyataan Prof. Safwan yang menyeru mahasiswa untuk kembali ke kampus, ke Darussalam yang damai. Kami di pergerakan mahasiswa kala itu, menilai seruan Rektor dan tokoh berpengaruh ini berpotensi mereduksi kekuatan gerakan mahasiswa Aceh yang sedang bertumbuh dan berjuang menyelesaikan pelanggarah HAM dan mengakhiri konflik Aceh secara demokratik.
Tapi saya tidak selamanya berbeda pandangan dengan beliau, lebih sering berfikiran sama malah. Jika banyak orang mengenal dan mengenang Prof. Safwan sebagai Tokoh Pendidikan, di mata saya, almarhum lebih dari itu. Ia tokoh Aceh yang special, dengan kapasitas melampaui jabatan yang biasa diembannya dalam dunia pendidikan.
Bagaimana tidak? Putra asli Aceh Rayeuk kelahiran Siem ini merupakan sosok visioner dan berani. Jauh-jauh hari, ia sudah menyatakan pandangannya bahwa persoalan (konflik) Aceh tidak akan selesai jika penyelasaiannya dilakukan dengan cara-cara represif dan pendekatan militeristik. Ia turut mendukung gerakan reformasi ’98 oleh mahasiswa, sertu turut menuntut pencabutan DOM Aceh 1989-1998. Terakhir, ia bahkan dipercaya oleh Presiden Habibie menjadi anggota Komisi Independen Pengusut Tindak Kekerasan di Aceh dengan masa tugas hingga Juli 2000, sekitar dua bulan sebelum tragedi terjadi.
Visioneritas Safwan Idris juga terlihat pada banyak pemikiran beliau yang hari ini masih dimplementasikan, semisal pengelolaan zakat melakui BAZIS dan lain sebagainya.
Di mata saya, Safwan Idris bukan saja ulama dan intelektual, tapi juga pelaku gerakan perubahan. Putra kebanggaan masyarakat Aceh Rayeuk ini merupakan teman perjuangan melawan kekerasan dan militerisme di Aceh.
***
16 September 2018; Sudah 18 tahun berlalu sejak Prof. Safwan Idris meninggal dunia akibat ditembak di rumahnya di Kopelma Darussalam, Banda Aceh. Penembakan tersebut sampai saat ini masih berbalut misteri. Tidak ada yang mampu mengusut siapa kedua pelaku dan otak yang mendalangi penembakan secara sadis itu. Dan terhadap kegagalan pengungkapan ini, saya merasa marah. Sambil berguman saya bertanya sendiri, “jika terhadap kasus menimpa tokoh Aceh saja kita tak berdaya, bagaimana halnya lagi dengan ribuan bahkan lebih kasus yang menimpa rakyat biasa?”
Komentar