Rinai hujan baru saja usai membasahi bumi, lampu ragam warna berkerlap-kerlip mengiringi laju kendaraan yang hilir mudik mengikuti kehendak hati pengendaranya, kota ini begitu sibuk di malam yang dibekap dingin.
SETENGAH jam seusai kumandang azan Insya, saya bersama istri dan anak-anak berangkat ke Pusat Kota Bireuen, tentu untuk sekedar jalan-jalan sembari cuci mata untuk beberapa waktu, sebelum pulang ke rumah ibu di Teupin Mane, Juli, Bireuen.
Sabtu malam (22/9/2018) atau oleh orang Aceh disebut malam Minggu, begitu meriah. Kota Bireuen benar-benar ramai oleh aktivitas manusia. Hilir mudik kendaraan yang tak kunjung memberi waktu aspal jalan untuk bernafas untuk sementara waktu, derap langkah manusia dengan tujuan masing-masing, serta hembusan angin malam yang menyertai malam yang dingin.
Tiba di kota, dua anak saya meminta agar kami memberikan kesempatan bagi mereka untuk mencoba wahana odong-odong yang hilir mudik melayani trip keliling kota. Kami memilih odong-odong yang bertingkat dua, istri saya menolak serta, ia standby di “terminal” di depan Kantor Bank Negara Indonesia (BNI) atau tepatnya di lajur Kota Bireuen edisi tempo dulu.
Saya dan Nyak Rafa Al Asrhaf dan Nyak Bilqis Ufaira naik ke tingkat dua yang terbuka tanpa atap. Sejenak saya perhatikan bahwa wahana ini memang untuk anak-anak. Bangkunya terlalu kecil untuk menempatkan pantat saya di sana. Dalam hati saya bergumam “Dua bocah ini berhasil mengerjai saya, mengikuti keinginan fantasi mereka, ah, demi kebahagiaan anak, sejauh tidak melanggar aturan dan norma, tentu tidak masalah.”
***
Bireuen semakin bergeliat, pusat kota selalu menjadi tempat wisata alternatif untuk warga yang sejenak ingin berleha-leha bersama keluarga. Ragam wahana hiburan rakyat yang murah meriah untuk segenap lapisan kelas sosial, tersedia di sini. Odong-odong, komedi putar, serta ragam pilihan lainnya yang tidak saya ketahui namanya.
Dulu Bireuen memiliki beberapa gedung bioskop, mulai dari yang elit hingga ekonomis yang akrab disebut PHR. Sebagai generasi 80-an saya sempat menonton berbagai sinema di berbagai gedung bioskop itu, mulai dari sinema produksi Hollywood, Bollywood, Hongkong, Cina daratan hingga sinema Indonesia, mulai dari film silat hingga film perang. Dari yang masuk akal hingga yang tak bisa dimengerti.
Kini, setelah dihempas konflik, bioskop itu semuanya gulung tikar, gedung-gedungnya sebagian beralih fungsi, dan ada pula yang dirubuhkan untuk dibangun pertokoan.
Odong-odong yang berkeliling diiringi lagu ceria, membuat putri saya mengembangkan senyum sepanjang trip, sesekali mengajukan tanya mengapa burung layang-layang beramai-ramai hinggap di jaringan listrik milik negara. Ketika melihat lampu warna-warni ia akan bertanya mengapa lampu banyak warnanya. Sedangkan putra saya yang kini duduk di bangku madrasah ibtidaiyah, sibuk dengan atraksi Ultramannya.
Jejeran rak pedagang yang meriah dengan ragam kuliner, tukang parkir yang ada di mana-mana mengatur perparkiran, aroma kuah bakso yang merebak. Di sini memang lumayan banyak warung bakso dengan ragam nama. Hingga pengunjung warung kopi yang bercengkerama di tempat duduk masing-masing.
Warung kopi adalah landmark utama kota ini, dengan ragam nama serta menyediakan menu utama arabica, mereka saling menarik pelanggan yang kian hari semakin meninggalkan robusta yang puluhan tahun lalu merupakan komoditas primadona bisnis para pengusahanya. Di kota ini, gaung kopi saring kian meredup –demikian menurut pandangan saya– karena perubahan selera manusia, walau penikmat robusta tetap bertumbuh, apalagi harganya yang murah meriah serta cocok di lidah mereka yang tidak tahan dengan arabica.
***
Pukul 22.00 WIB, saya mengantar istri dan anak-anak ke rumah ibu di Teupin Mane. Di sepanjang jalan kami bercanda karena dua bocah itu sangat riang hatinya, karena seusai berkeliling kota kami membeli burger di sebuah gerobak di “terminal” odong-odong. Mereka berdua terus “berkicau” sembari sesekali meminta pendapat saya, yang hanya bisa mengangguk sembari terus mengenderai sepeda motor yang sudah lumayan tua untuk ukuran matic masa kini.
***
Pukul 02.00 dinihari, saya mengantar seorang teman ke terminal bus antar kota. Dia singgah di Bireuen untuk sejenak beristirahat sembari bersilaturahim, rindu, ya kami saling merindui semenjak pertama berkenalan melalui media sosial facebook.
Sebelum melanjutkan perjalanan ke kota tujuan, dia saya bawa keliling kota dan kemudian singgah di warung kopi yang menyediakan arabica dalam ragam varian sajian. Sang teman memilih tidak minum kopi, karena sepanjang hari telah meneguk si hitam yang telah menopang ekonomi rakyat lintas benua itu.
Kami bercengkerama di warkop dengan saling berbagi cerita. Kepada saya ia berpesan agar mendukung pembangunan daerah yang dilakukan oleh pemerintah dan memberikan kritik sesuai porsi tanpa perlu berlebihan.
“Kota ini tidak mungkin mati, karena berada di posisi strategis, kota ini akan berdenyut 24 jam karena pelintas pasti menjadikan kota ini sebagai tempat melepas penat,” kata saya sembari ditimpali teman saya itu dengan senyuman.
Apa yang saya sampaikan tentu bukan promosi tanpa bukti, walau malam telah hampir pagi, denyut ekonomi tetap berdetak. Warung kuliner yang dibuka di depan terminal lama terus melayani pelanggan tanpa henti. Kepulan asap dari dapur robusta, kipasan sate yang menghantar aroma daging nan menggugah selera, pedagang keripik dan nagasari serta derap langkah kaki harlan terminal yang saling berebut calon penumpang serta dentuman musik dari tiap bus yang singgah untuk berbelanja penganan ringan.
“10 kilometer ke arah timur, Kota Matangglumpangdua, lebih ramai. Di sana belasan warung kopi terus ramai hingga jelang subuh. Bus-bus berbadan besar singgah di sana,” kata saya sembari menjelaskan bahwa di Matangglumpangdua, semua warung kopi menyediakan sate dan martabak telor yang menjadi menu wajib para pelintas untuk sekedar mengisi perut yang keroncong seusai menempuh perjalanan jauh.
Seusai mengantar sang teman ke tempat naik turunnya penumpang bus, yaitu di depan Kantor Telkom Bireuen, saya beranjak pulang. Jarum jam telah menunjukkan angka pukul 02.30 WIB, udara dingin menusuk tulang, saya rapatkan jaket yang kancingnya telah rusak. Berbagai mobil semakin banyak saja parkir di depan Bank Aceh, pemilik kendaraan dan penumpangnya turun dan segera menuju ke warung yang terus melayani pengunjung yang setiap orangnya memiliki selera yang tidak sama. []