Maka tidak salah bila dikatakan bahwa Aceh merupakan benteng terakhir di Sumatra dalam upaya pelestarian hutan dan berperan besar dalam penanganan perubahan iklim
ACEHTREND.COM, Medan – Bencana alam seperti banjir, longsor, banjir bandang, hingga kemarau merupakan dampak dari fenomena perubahan iklim yang dewasa ini tak dapat dielakkan. Menyadari pentingnya hal tersebut pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggelar 8?ℎ Indonesia Climate Change Forum & Expo (ICCFE) 2018 atau Forum Perubahan Iklim dan Expo ke-8, di Medan, Sumatera Utara yang berlangsung pada 17-19 Oktober 2018.
Dari unsur Pemerintah Aceh diwakili Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) yang terlibat aktif pada event promosi seperti pameran dan talkshow.
Pada talkshow dengan format seminar yang berlangsung siang tadi, Rabu (17/10/2018), DLHK atas dukungan Uni Eropa melalui program Support to Indonesia’s Climate Change Response (SICCR-TAC), berbagi pengalaman terbaiknya dan program unggulan dengan menghadirkan beberapa pembicara.
Di antara program yang telah dan sedang berlangsung yaitu program penggunaan dana desa untuk dialokasikan kepada program penyelamatan lingkungan serta telah secara resmi diberlakukan di Kabupaten Pidie melalui Peraturan Bupati No.12, tahun 2018.
Staf Khusus Bupati Pidie Bidang Lingkungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Dr. Fauzi Harun, memaparkan bahwa peraturan pemerintah daerah yang menambahkan indikator ekologi demi menjaga kelestarian lingkungan dan hutan merupakan yang pertama di Indonesia.
“Aceh, melalui Kabupaten Pidie, menjadi pionir dalam pengelolaan dana desa yang menekankan pada kelestarian hidup dan hutan,” paparnya.
Ia berharap kabupaten atau daerah-daerah lain di Indonesia dapat mengadopsi atau mereplikasi pola-pola yang telah dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Pidie.
“Atas dukungan dari program SICCR-TAC, Pemerintah Pidie sudah menempuh jalan panjang dalam mewujudkan regulasi yang menjamin pendanaan bagi pelestarian lingkungan. Semoga ini menjadi inspirasi bagi daerah-daerah lain yang berkepentingan pada inisiasi yang sama,” ujar Dr. Fauzi Harun.
Agroforestri Dinamis Terbukti Lebih Efektif
Program unggulan lain yang berdampak langsung kepada masyarakat adalah pelatihan dan praktik penerapan pola tanam beraneka ragam tanaman pada satu lahan dengan strata atau tingkatan yang berbeda, atau lebih dikenal dengan agroforestri dinamis (dynamic agroforestry) atau DAF.
Salah seorang penyuluh, Yusniar, memaparkan pengalamannya saat mendapatkan pelatihan dan kemudian melatih para petani dalam menerapkan sistem ini.
Pada awalnya, metode agroforestri dinamis ini tidak mendapatkan respons yang positif dari masyarakat, karena dianggap tidak lazim dan berbeda dengan praktik yang biasa dilakukan oleh masyarakat.
“Tapi, setelah beberapa bulan berjalan, mulailah tampak hasilnya. Perkebunan yang dikelola dengan menggunakan pola ini terbukti mampu meningkatkan jumlah produksinya dan dapat dikelola secara efektif,” ungkap Yusniar.
Di hadapan seratusan peserta talkshow, Yusniar juga menjelaskan keuntungan lain yang didapatkan selain dari segi ekonomi. Terbukti pola DAF lebih ramah terhadap lingkungan karena tidak memerlukan pupuk berbahan pestisida serta ramah lingkungan. Melalui pola ini nasyarakat tidak hanya mendapatkan keuntungan ekonomis, tapi juga ikut melestarikan hutan dan mengurangi laju perambahan hutan secara ilegal.
Namun, walaupun program ini telah berjalan, Yusniar berharap para pihak yang berkepentingan perlu menyosialisasikan atau menerapkan metode ini secara lebih masif dan intensif. Serta para penyuluh seperti dirinya perlu untuk lebih aktif dalam melakukan pendampingan kepada masyarakat di sekitar hutan, khususnya bagi mereka yang mengadopsi pola ini.
Aceh Benteng Terakhir di Sumatra
Sementara itu, Kepala Bidang Konservasi dan Sumber Daya Alam DLHK Aceh, M. Daud S Hut, M Si memaparkan, fakta menarik bahwa sekitar 30 persen tutupan hutan di Sumatra berada di wilayah Aceh.
Maka tidak salah bila dikatakan bahwa Aceh merupakan benteng terakhir di Sumatra dalam upaya pelestarian hutan dan berperan besar dalam penanganan perubahan iklim. Untuk itu, Pemerintah Aceh masih membutuhkan dukungan dari berbagai pihak dalam upaya-upaya menangani masalah perubahan iklim, seperti yang telah dilakukan oleh proyek SICCR-TAC.
“Proyek ini paling giat membantu Pemerintah Aceh dalam menangani perubahan iklim,” ungkap Muhammad Daud.
Hingga saat ini SICCR-TAC melalui pendanaan dari Uni Eropa telah membantu Pemerintah Aceh di antaranya dalam peningkatan kapasitas aparatur negara, dengan melatih PPNS, hingga program kegiatan strategis seperti mendukung penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA).
Hal ini menjadi signifikan karena strategi Pemerintah Aceh sudah diarusutamakan dalam RPJMA sebagai salah satu bentuk komitmen pemerintah daerah dalam menangani masalah perubahan iklim.
Pembicara terakhir yang mewakili SICCR-TAC, Riko Wahyudi, S.Hut, M.Sc, mencoba memberikan pemahaman tentang betapa pentingnya semua pihak untuk terlibat dan memulai inisiasi terhadap isu perubahan iklim.
“Andai kita berada di dalam perahu, jika perahu tersebut bocor, maka tugas kita penumpang untuk menambalnya agar tidak tenggelam, tidak peduli dia orang kaya atau miskin. Begitupula halnya dengan masalah perubahan iklim. Tidak peduli apakah negara maju atau negara berkembang, atau siapa pun, wajib untuk ikut serta dalam menanganinya. Karena masalah perubahan iklim adalah masalah kita bersama,” kata ahli perubahan iklim itu menamsilkan.[]
Editor : Ihan Nurdin