LOMBOK merupakan salah satu destinasi wisata di Indonesia yang saya idam-idamkan untuk dikunjungi. Saya punya hasrat menggebu agar bisa menyisir setiap senti kemolekan tanah Lombok. Mulai dari gili atau pulau-pulaunya yang menawan, budayanya yang unik, hingga keanggunan Gunung Rinjani yang keindahan lanskapnya semakin paripurna oleh Danau Segara Anak.
Cerita-cerita tentang keindahan Lombok semakin sering mampir di telinga saya. Begitu pula ‘gunjingan’ perihal keramahan masyarakat Lombok yang telah melek wisata. September lalu, kesempatan untuk berkunjung ke Lombok, Nusa Tenggara Barat pun datang.
Namun bukan sebagai turis dengan tujuan utama berpelesir, melainkan dalam rangka menjalankan tugas jurnalistik. Ya, kami datang untuk meliput kondisi Lombok pascagempa pada 5 Agustus 2018 lalu. Bersama empat rekan media lainnya dari Aceh, ditambah satu personel dari lembaga kemanusiaan.
Kami berada di Nusa Tenggara Barat selama empat hari sejak 25-28 September 2018, sehingga punya cukup waktu untuk berkeliling Pulau Lombok. Di sana kami mengunjungi satu perkampungan ke perkampungan lain, bahkan hingga ke pelosok Lombok Barat. Bertandang dari satu posko pengungsian ke posko berikutnya. Di sinilah saya menyaksikan bahwa anggapan masyarakat Indonesia terkenal dengan keramahannya bukan sekadar jargon.
Tentunya mustahil mengharapkan penyintas bencana untuk bersikap ‘manis’. Nyatanya keramah-tamahan masyarakat Lombok sepertinya memang tak mengenal situasi. Inilah cerminan masyarakat Indonesia yang sesungguhnya. Saya masih terkesan sampai detik ini.
***
“Panggil saya Kakak Dani.”
Kalimat yang dilontarkan anak muda yang berprofesi sebagai pengemudi travel itu seolah menghilangkan hijab antara kami sebagai tamu, dengan dirinya sebagai tuan rumah. Perlahan mobil yang ia kemudikan meninggalkan lokasi Bandara Lombok menuju Kota Mataram, tempat kami menginap nantinya.
Jam digital di ponsel saya menunjukkan angka pukul 01.00 Wita, Selasa, 25 September 2018. Kantuk yang tadi mulai menggantung di pelupuk mata perlahan tersingkap. Sampai akhirnya kami semua terlibat obrolan seru dengan Kakak Dani. Saya tak membayangkan, selarut itu Kakak Dani masih sanggup bercerita banyak hal perihal daerah kelahirannya.
“Untuk laki-laki seperti Kakak dipanggil ‘kakak’ juga?” tanya saya.
“Iya. Di sini laki-laki atau perempuan sama saja, dipanggilnya ‘kakak’ juga,” jawabnya lagi.
“Kalau di Aceh sebutan ‘kakak’ itu hanya untuk kaum perempuan saja,” timpal saya lagi.
Begitulah. Obrolan santai nan ringan mengalir begitu saja. Kakak Dani begitu lancar menceritakan setiap lekuk Pulau Lombok yang terbagi menjadi empat kabupaten itu. Perjalanan melelahkan sepanjang hari itu ditutup dengan mengisi perut dengan lauk bebek goreng di warung tenda pinggir jalan tak jauh dari lokasi bandara. Malam itu, sebelum lelap mengambil alih seluruh kesadaran, saya membatin; kesan pertama di Lombok begitu menggoda.
Keramah-tamahan juga disuguhkan warga Dusun Erat Mate di Desa Mekar Sari, Kecamatan Gunung Sari, pelosok Lombok Barat. Kami mengunjungi lokasi ini dengan tim relawan yang mengantarkan bantuan logistik. Saya ingat betul, hari itu matahari terasa sangat menyengat.
Untuk sampai ke tujuan di ujung dusun, kami harus berjalan kaki menyusuri jalan yang mendaki. Saya memperhatikan, baju rekan-rekan mulai basah diguyur keringat. Wajah mereka memerah dengan bulir-bulir keringat bak embun. Dalam perjalanan pulang menuju titik kumpul, kami mampir di rumah salah satu warga. Di luar dugaan, sang pemilik rumah sudah menghidangkan kami air sirop yang segar.
“Diminum dulu. Kalian pasti capek setelah berjalan jauh,” ujar seorang perempuan.
Kami lantas minum bersama di gazebo yang umumnya ada hampir di setiap rumah warga Lombok. Di sela-sela itu kami saling bertukar cerita sesama masyarakat yang juga pernah diamuk bencana. Lagi-lagi saya membatin, bahkan dalam kondisi terbatas pun mereka masih sempat memikirkan kami yang bertugas di lapangan.
***
Di hari ketiga dalam perjalanan di Lombok Timur, kami menginap di Sembalun. Wilayah ini masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani yang eksotis. Bisa dibayangkan bagaimana indahnya daerah ini. Udaranya sejuk dan bersih. Sejauh mata memandang yang tampak ialah gurat-gurat pegunungan memacak bumi. Saat saya membuka jendela di pagi hari, seolah mendapat sapaan hangat dari Gunung Pergasingan di seberang jalan.
Saya terkesan dengan pelayanan yang diberikan Anah, sang pemilik homestay tempat kami menginap. Ia termasuk salah satu korban gempa, beruntung penginapan miliknya tak ikut hancur. Sehingga masih bisa disewakan bila ada satu-satu tamu yang ‘tersesat’ seperti kami. Namun sebagai seorang pengusaha di sektor jasa, tampaknya ungkapan pembeli adalah raja benar-benar dipraktikkan Anah dan suaminya.
Di Sembalun, kami juga sempat mampir ke kebun strawberi. Pemiliknya adalah seorang perempuan berkepala empat. Perempuan itu juga menunjukkan keramahan dengan caranya sendiri. Ia membiarkan kami bermain-main di kebunnya dan berfoto sepuas-puasnya.
Puncak ‘wisata’ kami di Lombok yaitu ketika mengunjungi Hunian Nyaman Terpadu di Desa Gondang, Kecamatan Gangga, Lombok Utara. Di sini kami bertemu dengan sekelompok ibu-ibu yang sedang memasak gulai kambing khas Lombok. Aroma lezat dari rempah-rempah sudah hinggap di penciuman saya dari jarak radius hingga beberapa meter.

Begitu melihat kami tiba, ibu-ibu tersebut langsung membentangkan tikar di atas tanah. Mempersilakan kami duduk. “Makan dulu, kebetulan gulainya sudah masak,” ujar salah satu di antara mereka.
Kami semua sepakat menolak. Sebab gulai kambing itu sejatinya akan dibagi-bagikan kepada para penghuni shelter yang notabenenya merupakan korban gempa. Namun mereka bersikeras ingin menyuguhkan kami gulai daging tersebut, dengan dalih supaya kami bisa mencicipi kuliner Lombok. Kami pun tak kuasa menolak lagi. Rasa gulai kambing itu benar-benar khas. Dimasak dengan rempah-rempah tanpa menggunakan santan sehingga tidak bikin eneg.
***
Lombok memang salah satu destinasi wisata yang saya idam-idamkan untuk dikunjungi. Dalam kunjungan kali ini, saya memang tak sempat berpelesir ke gili-gilinya yang menawan. Tak punya kesempatan mendaki Rinjani karena jalur pendakiannya memang sedang ditutup wisatawan. Dan tujuan kami memang bukan untuk itu. Beruntung kami masih sempat mengunjungi Desa Wisata Sasak Ende di Sengkol, Lombok Tengah di hari terakhir di Lombok. Ini merupakan sentral kebudayaan suku Sasak. Suku khas yang mendiami Pulau Lombok.
Namun, sambutan masyarakatnya telah melampaui seluruh ekspektasi saya tentang Lombok. Terlebih semua itu mereka tunjukkan di tengah situasi yang tidak biasa seperti saat itu. Adakah kemewahan terbesar dalam sebuah perjalanan, selain mendapatkan kehangatan dan senyum ramah dari sang pemilik tanah tujuan itu sendiri?[]