ACEHTREND.COM, Banda Aceh – Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Aceh, Muhammad Nur, mengatakan hingga saat ini pemerintah belum mempunyai master plan dalam hal kebencanaan.
Yang selama ini dilakukan pemerintah hanya merespons ketika bencana itu terjadi. Menurutnya, master plan pemanfaatan ruang di Aceh juga tidak ada.
Hal itu disampaikan Muhammad Nur dalam konferensi pers Catatan Akhir Tahun 2018 WALHI Aceh pada Kamis (27/12/2018).
Bila pemerintah serius ingin mengurangi risiko bencana, khususnya bencana ekologi, ia menyarankan agar pemerintah harus berhenti memberikan izin baru kepada pengusaha dalam kawasan hutan.
“Dalam tata ruang yang dibicarakan itu hanya tiga hal, yaitu pemanfaatan ruang, perlindungan, dan pelestarian. Ketiga hal ini masih belum sinkron,” ujarnya.
Ia mencontohkan dalam hal penanganan bencana alam akibat banjir, yang sering jadi fokus adalah wilayah pesisir yang terdampak banjir. Sementara kerusakan di hulunya yang menjadi sumber pangkal masalah tidak pernah diatasi.
Berbagai aktivitas yang dilakukan dalam rangka pelestarian lingkungan dinilai hanya sebatas seremoni belaka. Misalnya menanam pohon di Hari Lingkungan Hidup dan lainnya.
“Jadi dana untuk biaya reboisasi yang ada di pemerintah itu justru digunakan untuk momen instansi. Bukan real menjawab masalah yang basisnya mengevaluasi seluruh bisnis di Aceh. Sinkronisasi untuk program reboisasi belum ada,” katanya.
Selama 2018 WALHI Aceh mencatat ada 127 kali bencana ekologi di Aceh yang berdampak pada kerugian ekonomi hingga Rp969 miliar.
Akibat dari ratusan bencana ekologi tersebut adalah rusaknya hutan dan lahan mencapai 24.910 ha. Sedangkan jumlah manusia terdampak mencapai 50.270 jiwa, termasuk 1.728 jiwa yang mengalami krisis air akibat bencana kekeringan.
“Laju investasi SDA berbasis kawasan hutan, illegal logging, perambahan hutan, pertambangan illegal, dan pembangunan infrastruktur menjadi faktor penyebab kerusakan dan hilang fungsi kawasan hutan di Aceh,” ujar Muhammad Nur.[]