Banda Aceh – Sebuah pesan singkat lewat aplikasi WhatsApp masuk ke ponsel saya, Jumat malam (9/3/2019). Pesan yang kemudian kuketahui berasal dari Muchtar Hanafiah alias Ableh.
Isinya adalah “loen kana di Pacific Cafe di Lamteh, keunoe neujak laju (saya sudah di Pacific Cafe di Lamteh, silakan kemari)”.
Selang beberapa menit kemudian, saya tiba di lokasi yang dimaksud dan dilangsung disambut hangat oleh Ableh. Sosok berpostur jangkung ini merupakan mantan komandan Pasukan Komando Pusat Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Selama konflik berkecamuk di Aceh, ia bersama pasukan yang dipimpinnya sering menjadi incaran TNI. Maka tak heran, perang terbuka antara TNI dan GAM dipastikan terjadi. Ini dikarenakan pasukan Ableh merupakan pengawal pribadi Muzakir Manaf alias Mualem.
Saat perjanjian damai diteken, Ableh kembali ke kehidupan masyarakat. Sikap murah senyum dan kerendahan hatinya kini menjadi panutan mantan kombatan lainnya, sehingga dirinya kian disegani oleh rekan seperjuangannya.
“Sudah saatnya kita kembali satu komando, yaitu memenangkan Partai Aceh pada pemilihan legislatif 2019 nanti,” ujar Ableh kepada aceHTrend.
Menurutnya, jajaran pengurus KPA/PA Kuta Pase menargetkan 15 kursi untuk diisi oleh kader-kader Partai Aceh di tingkat DPRK. Begitu juga untuk tingkat DPR Aceh, pihaknya menargetkan sebanyak 51 persen wajib diraih oleh kader-kader terbaik Partai Aceh ban sigom Pase.
Dalam hal ini, kata Ableh lagi, ia meminta kader dan simpatisan KPA/PA agar bekerja ekstra memenangkan kader-kader yang diusung Partai Aceh tersebut. Mantan komandan pasukan Piranha ini sangat yakin jika masyarakat Aceh masih menaruh harapan besar kepada Partai Aceh. Hal ini tidak lepas dari peran dan kiprah Partai Aceh yang terus memperjuangkan segala bentuk kewenangan dan kekhususan Aceh secara utuh.
Ia juga berharap kepada seluruh eks-kombatan maupun kader Partai Aceh agar terus saling bahu-membahu memenangkan kader-kader terbaik Partai Aceh. Hal ini sesuai arahan Mualem selaku Ketua KPA/PA agar saling merangkul dan tidak saling menghasut, benci membenci antarsesama kader Partai Aceh.
“Kita masih haqqul yaqin kalau masyarakat Aceh masih mencintai Partai Aceh karena masih konsisten terhadap perjuangan butir-butir MoU Helsinki dan turunan UUPA. Meski pada hakikatnya, hasil yang telah diperjuangkan nantinya bukan semata-mata demi Partai Aceh atau golongan tertentu, tapi untuk seluruh masyarakat Aceh,” ujar Ableh.
Menjadi Pengawal Pribadi Mualem
Nama lengkapnya Muchtar Hanafiah. Di kalangan eks-kombatan, ia kerap disapa Ableh. Pria yang kini menjabat sebagai Ketua KPA Kuta Pase ini lahir di Kandang, Kota Lhokseumawe. Almanak saat itu berada pada 23 Mei 1978 berdasarkan perhitungan Masehi. Ia adalah buah cinta pasangan almarhum Tgk Hanafiah dan Siti Rawiyah.
Masa muda banyak dihabiskan di kampung halamannya di Lhokseumawe. Semasa remaja, sulung dari empat bersaudara ini sering mendengar ceramah-ceramah ideologi perjuangan GAM di setiap gampong. Kala itu, tanah kelahirannya sangat berdekatan dengan kompleks PT Arun, sebuah perusahaan gas alam terbesar sehingga Kota Lhokseumawe disematkan sebagai kota petrodolar. Akhirnya, di awal tahun 1996, Ableh resmi menyatakan diri bergabung menjadi anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“Di sinilah mula-mula ideologi ini muncul di hati saya, seolah-olah saya terpanggil untuk menuntut sebuah ketidakadilan dari pemerintah. Di sana-sini kita lihat banyak sekali perbedaan antara pekerja PT. Arun dengan masyarakat sekitar di mana ketimpangan ekonomi yang begitu jauh berbeda. Akhirnya pada tahun 1996, dengan restu almarhum ayah,” ujar Ableh.
Selama bergerilya di hutan, Ableh bergabung dengan pasukan Piranha, sebuah pasukan elite GAM yang dibentuk oleh almarhum Ahmad Kandang pada tahun 2000. Di sana, Ableh dikenal sebagai sosok yang pemberani dan tegas. Bahkan, sebagian rekannya dianggap sebagai rekan yang tegas dan taat komando. Sejak Ahmad Kandang syahid, Ableh kemudian dipercaya memimpin komandan pasukan Piranha GAM.
Selama konflik melanda Aceh, pasukan Piranha GAM dikenal sebagai pasukan pemberani dan tegas. Pasukan ini dikenal sebagai pasukan yang setia mengawal dan berada di ring satu dalam lingkaran Mualem. Maka tak heran, pasukan Pinranha sering terlibat perang terbuka dengan pasukan TNI.
“Secara filosofis, piranha itu meski dikenal buas dan brutal, namun ia tidak pernah memakan rekannya sendiri. Meskipun lawan yang dihadapinya sangat besar, mereka saling bahu membahu menyerang lawan dengan ganas,” ujar Ableh.
Ableh berkisah, selama Darurat Militer diterapkan, ia menolak untuk bersembunyi di hutan rimba. Ia memilih untuk bergerilya dari daerah yang dekat dengan pemukiman penduduk. Hal ini dikarenakan kesukaan dirinya bertempur meski dirinya hanya terlibat sendirian.
“Selama setahun, saya pernah bergerilya sendirian. Sore atau malam hari, saya sering bermalam dari satu rumah ke rumah warga lainnya. Itulah sebabnya jasa masyarakat Aceh terhadap perjuangan GAM ini sangatlah besar dan tak terhilang harganya,” kenang Ableh sambil berkata terbata-bata.
Selama bergerilya di pedalaman Nisam, Ableh kemudikan dihubungi langsung oleh Mualem. Panglima perang tertinggi GAM ini memintanya untuk ikut dan menjadi pengawal pribadinya. Awalnya, Ableh sempat menolak dengan alasan jika masih banyak pasukan GAM lainnya yang lebih layak dari dirinya. Tapi Mualem terus mendesak dan membujuk Ableh agar bersedia menjadi pengawalnya.
“Watee nyan Mualem geukheun sigoe bak lon. Peu han kadeungoe le perintah lon? Disinan keuh lon hana jeut kujaweueb sapeu. Akhe jih lon seutot gobnyan (Waktu itu Mualem sempat berkata kepada saya. Apa kamu tidak mau mendengar lagi perintah saya? Dari situlah saya tidak bisa menjawab sepatah kata pun. Akhirnya saya ikut bersamanya),” kenang Ableh.
Selama menjadi pengawal setia Mualem, ia melihat sosok panglima GAM ini sebagai sosok yang sangat tegas dan disiplin. Meski kondisi tubuhnya sakit, Mualem tidak pernah memperlihatkan raut matanya yang sedih dan putus asa. Bahkan, Mualem rela membagi jatah makannya bersama Ableh meski tubuhnya masih memerlukan banyak stamina agar segar bugar seperti sedia kala. Enam bulan kemudian pasca darurat militer diterapkan, Mualem kembali menarik dua orang lagi sebagai pengawal dirinya dari Peureulak, Aceh Timur. Keduanya syahid pada sebuah pertempuran di wilayah pedalaman Aceh Utara. Mualem kemudian kembali merekrut sejumlah anggotanya dari pasukan Piranha. Mereka adalah pasukan GAM yang nama sandinya dipanggil Labu, Adi Gondrong, Ayah Ija krong dan Wan supir.
“Kadang-kadang, saya jadi agak malu dengan diri sendiri dan sedih melihat kondisi Mualem saat itu. Tapi raut wajahnya terlihat santai dan biasa saja. Tidak terlihat seperti seorang penakut dan putus asa meskipun saat itu hampir tiap hari dibombardir pasukan TNI, baik dari darat maupun udara. Inilah yang menjadi semangat perjuangan kami meski berbagai rintangan yang dihadapi,” ujar Ableh seraya mengakhir pembicaraan.[]