ACEHTREND.COM, Banda Aceh – Elemen sipil Aceh yang terdiri atas 15 lembaga swadaya masyarakat mendesak Plt. Gubernur Aceh untuk membuka ruang dialog yang kondusif dengan mahasiswa. Dengan begitu, aspirasi mahasiswa yang sudah tiga hari melakukan aksi unjuk rasa bisa mendapat solusi konkret terhadap persoalan yang mereka suarakan.
Direktur Katahati Institute, Raihal Fajri, mewakili elemen sipil Aceh mengatakan, unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa untuk menuntut pencabutan izin tambang oleh PT Emas Mineral Murni (PT EMM) merupakan aksi terbesar yang dilakukan mahasiswa dalam kurun 14 tahun setelah Aceh damai.
Melalui aksi ini, mahasiswa menyuarakan penolakan masyarakat di sekitar area tambang PT. EMM karena berpotensi merusak lingkungan dan mengancam keselamatan masyarakat. Sebagian dari wilayah konsesi tambang juga termasuk di dalam area hutan lindung.
“Jika dilihat lagi pada kronologis pemberian izin pada PT EMM merupakan pelecehan terhadap UU Pemerintahan Aceh. Karenanya, Pemerintah Aceh harus menyatakan secara tegas dan percaya diri posisinya kepada publik Aceh terkait hal ini,” kata Raihal melalui siaran pers yang diterima aceHTrend, Kamis (11/4/2019).
Selain itu kata Raihal, keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPR Aceh) Nomor 29/DPRA/2018 pada 6 November 2018 menyatakan bahwa izin usaha pertambangan operasi produksi Nomor 66/1/IUP/PMA/2017 yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal RI (BKPM RI) pada 19 Desember 2017 bertentangan dengan kewenangan Aceh sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.
UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pada pasal 156 menyatakan bahwa Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota mengelola sumber daya alam di Aceh, termasuk pertambangan mineral, sesuai dengan kewenangannya serta menerapkan prinsip transparansi dan pembangunan berkelanjutan.
“Sepertinya pasal ini belum sepenuhnya dipahami secara baik oleh Pemerintahan Aceh yang dibuktikan dengan berlarutnya penuntasan persoalan izin PT. EMM. Karenanya, DPR Aceh merekomendasikan BKPM RI untuk mencabut izin tersebut dan meminta Gubernur Aceh untuk membentuk tim khusus yang melibatkan DPR Aceh untuk melakukan upaya hukum terhadap izin tersebut.”
Empat bulan setelah Keputusan DPR Aceh, Pemerintah Aceh dinilai terus membiarkan persoalan ini berlarut dan tidak memperlihatkan ketegasan. Karena itu, selain membuka ruang dialog, pihaknya juga meminta ketegasan kepala daerah Aceh yang memenuhi hak dasar masyarakat melalui kebijakan yang menjamin perlindungan lingkungan, keseimbangan ekosistem berkelanjutan, serta keselamatan dan kesejahteraan rakyat Aceh.
Sikap tegas tersebut dinilai penting agar kewenangan Aceh tidak terberangus dalam hal pengelolaan SDA sesuai UUPA dan menjalankan rekomendasi DPR Aceh tentang perlawanan hukum terhadap izin usaha produksi PT. EMM.
“Selain itu kami juga meminta Kapolda mengusut aparat yang melakukan kekerasan terhadap mahasiswa yang melakukan aksi pada Selasa, 9 April 2019, serta meminta pimpinan perguruan tinggi untuk tidak mengintervensi mahasiswa yang melakukan aksi menyuarakan tuntutan masyarakat dalam menjamin kehidupan yang layak dan lestari.”
Sementara itu, Plt. Gubernur Aceh, Nova Iriansyah mengatakan tetap menghargai aspirasi yang disuarakan mahasiswa melalui unjuk rasa yang berlangsung sejak Selasa (9/4/2019). Cuma, kewenangan untuk mencabut izin itu tidak berada pada Gubernur Aceh.
Izin operasional PT EMM justru dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang berkedudukan di Jakarta.
“Jadi, bukan kewenangan seorang Gubernur Aceh mencabut izin atau membatalkannya,” kata Nova sebagaimana diberitakan Serambinews.com Rabu (11/4/2019).
Nova menerangkan bahwa jauh sebelum dia jadi Wakil Gubernur dan kemudian jadi Plt Gubernur Aceh, pengurusan izin PT EMM sudah berproses di Jakarta. Ada 14 tahapan yang dilalui PT EMM untuk mendapatkan izin tambang di Aceh.
Dari 14 tahapan itu, hanya satu tahapan yang ada kaitannya dengan Pemerintah Aceh, yakni tahapan ketiga, berupa rekomendasi dari Gubernur Aceh yang saat itu ditandatangani oleh Irwandi Yusuf.
“Jadi, kalaulah saat ini saya didesak untuk mencabut izin tersebut itu jelas di luar kewenangan saya. Dan kalaupun rekomendasi Gubernur Aceh itu saya cabut, tidaklah serta-merta membatalkan izin PT EMM karena mereka telah memenuhi 13 persyaratan lainnya sehingga mendapat izin dari BKPM untuk melakukan usaha pertambangan di Aceh,” kata Nova.
Satu hal lagi yang bakal menjadi ganjalan adalah kalaulah rekomendasi itu dicabut Plt Gubernur Aceh, maka sangat mungkin Pemerintah Aceh disomasi atau digugat.
“Nah, kalau pengadilan mengalahkan kita atas gugatan PT EMM, kita jadinya kehilangan muka kan? Jadi percuma saja kan apa yang kita lakukan,” ujar Nova.
Atas dasar konsideran itu, Nova mengajak semua pihak mencari cara yang paling efektif untuk membatalkan izin PT EMM dan pemikiran untuk itu sangat dibutuhkan dari para pihak, para rektor, termasuk DPR, mahasiswa, dan elemen lainnya.
“Saya mohon bantuan dan pengertian semua pihak untuk menahan diri dan mohon aksi-aksi lainnya tidak dilanjutkan. Ketahuilah saya berada pada posisi mahasiswa dan rakyat. Aspirasi ini kita tampung, tapi kita butuh waktu untuk merealisasikannya,” kata Nova.
Adapun ke-15 elemen sipil di atas merupakan gabungan lembaga swadaya masyarakat, yaitu: Walhi Aceh, Katahati Institute, Aceh Institute, ACSTF, Balai Syura Ureung Inong Aceh, Flower Aceh, Forum LSM Aceh, HISOMA, JATAM, JMSPS, Kontras Aceh, LBH Banda Aceh, MaTA, Prodeelat, Serikat Inong Aceh.[]
Editor : Ihan Nurdin