ACEHTREND.COM, Banda Aceh – Kepala Bidang Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, Abdus Syakur, mengatakan pengelolaan kawasan konservasi perairan dilakukan untuk melestarikan keanekaragaman hayati laut dan pemanfaatan sumber daya ikan yang berkelanjutan.
Hal itu disampaikan Syakur dalam talkshow Melindungi Keanekaragaman Hayati Laut, Menjaga Penghidupan Masyarakat Pesisir Aceh yang dibuat oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh didukung oleh Wildlife Conservation Society – Indonesia Program (WCS-IP) di Taman Sari 36 Coffe Banda Aceh, Rabu (22/5/2019).
“Hal ini juga sejalan dengan cita-cita nelayan di seluruh Indonesia, tak terkecuali Aceh, bahwa apa yang dicanangkan pemerintah akan menjamin keberlangsungan mata pencaharian mereka,” kata Syakur melalui siaran pers yang diterima redaksi aceHTrend.
Namun kata dia, dengan potensi perikanan yang luar biasa, tak berarti pengelolaan perikanan di Aceh minim tantangan. Program-program pemerintah yang sejatinya dicanangkan untuk menyejahterakan para nelayan, menemukan berbagai hambatan dalam implementasinya. Hambatan antara pemerintah dengan masyarakat kerap terjadi karena adanya perbedaan pemahaman, kepentingan, dan aturan antara masyarakat dan pemerintah.
Ia mencontohkan, di satu sisi pemerintah mengeluarkan kebijakan dan aturan untuk konservasi dan pengelolaan perikanan, pada sisi yang sama masyarakat nelayan juga mempunyai kebijakan adat yang berlaku secara turun temurun.
“Ini merupakan kasus yang paling banyak terjadi,” katanya.
Sementara itu, Ketua Pelaksana Yayasan Rumpun Bambu dan penulis buku Riwang u Laot, Sanusi M. Syarif, mengatakan sebagai daerah yang memiliki sejarah panjang dunia kemaritiman, Aceh memiliki aturan adat kelautannya sendiri. Keberadaan pemangku adat yang secara khusus membidangi masalah kelautan–Panglima Laot, adalah contoh bagaimana tatanan pengelolaan laut di masyarakat nelayan telah ada sejak lama. Panglima Laot memiliki Hukum Adat Laot-nya yang mengatur aspek sosial dan operasional pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir Aceh.
“Penyelenggaraan dan penegakan hukum adat laot antara lain meliputi: adat pengaturan penangkapan ikan, adat pantang melaut, hubungan kemasyarakatan, adat perlindungan kawasan pasang surut, hutan pesisir, pantai, kuala dan satwa yang dilindungi,” kata Sanusi.
Selanjutnya, peran dan fungsi lembaga Panglima Laot sangat penting untuk melindungi dan memelihara nilai-nilai adat, terutama dalam melakukan pengelolaan dan pengaturan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, sehingga dapat mewujudkan keadilan hak atas sumber daya kelautan.
“Untuk itu penting sekali memastikan adanya pengakuan dan perlindungan hak-hak adat masyarakat mukim setempat atas kawasan pesisir dan sumber daya kelautan,” katanya.
Melihat pentingnya peran kelembagaan Panglima Laot dalam mengelola sumber daya pesisir, WCS-IP menyatakan dukungannya dalam penguatan kelembagaan Panglima Laot.
“Sebagai bentuk komitmen dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang berkelanjutan, WCS-IP mendukung pemerintah dalam pengelolaan kawasan konservasi dan perikanan berkelanjutan,” kata ujar Ina Nisrina, Koordinator Marine Aceh, WCS-IP.
Di antaranya melalui dukungan dan kontribusi WCS-IP dalam proses pengembangan wilayah konservasi Aceh dan pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) untuk penyusunan Rencana Pengelolaan Zonasi (RPZ) Aceh. Selain itu, WCS-IP juga memfasilitasi dan mendampingi penguatan kelembagaan Panglima Laot di wilayah Aceh Jaya, Aceh Besar dan Sabang.
“Misalnya yang sedang berjalan saat ini, pendampingan di tiga Lhok (wilayah kelola Panglima Laot) di Taman Pesisir Aceh Jaya meliputi Lhok Panga, Lhok Lambeusoi dan Lhok Keluang Daya dalam menjalankan tugas dan fungsinya mengelola kawasan konservasi perairan di Aceh,” ujar Ina Nisrina.
Provinsi Aceh memiliki potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang tinggi dengan total sumber daya ikan laut sebesar ± 423.410 ton. Untuk mengelola kekayaan sumber daya laut Aceh secara berkelanjutan, Pemerintah Republik Indonesia menyusun rencana pencadangan kawasan perairan yang dilindungi dan dikelola dengan sistem zonasi, yang dikenal dengan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Aceh. Pemerintah Aceh telah menargetkan pengembangan 280.000 hektar KKPD yang akan dikelola secara efektif pada tahun 2022.[]
Komentar