• Tentang kami
  • Redaksi
aceHTrend.com
Tidak Ditemukan Apapun
Lihat Semua Hasil
  • HOME
  • SYARIAH
    • MESJID
  • BERITA
    • POLITIK
    • HUKUM
    • DUNIA
  • WAJAH ACEH
    • WISATA
  • LIFE STYLE
    • HIBURAN
  • SPESIAL
    • BUDAYA
  • OPINI
    • ARTIKEL
    • RESAM
  • EDITORIAL
  • LIPUTAN KHUSUS
  • BUDAYA
  • SOSOK
aceHTrend.com
  • HOME
  • SYARIAH
    • MESJID
  • BERITA
    • POLITIK
    • HUKUM
    • DUNIA
  • WAJAH ACEH
    • WISATA
  • LIFE STYLE
    • HIBURAN
  • SPESIAL
    • BUDAYA
  • OPINI
    • ARTIKEL
    • RESAM
  • EDITORIAL
  • LIPUTAN KHUSUS
  • BUDAYA
  • SOSOK
Tidak Ditemukan Apapun
Lihat Semua Hasil
aceHTrend.com
Tidak Ditemukan Apapun
Lihat Semua Hasil

Membedah Narasi “Curang Terstruktur, Sistematis dan Massif”

Redaksi aceHTrendRedaksi aceHTrend
Sabtu, 25/05/2019 - 05:40 WIB
di Artikel, OPINI
A A
aceHTrend.com
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh Abdul Gaffar Karim*)

Salah satu istilah yang ramai muncul dalam perbincangan seputar pemilu 2019 (wa bil khusus urusan pemilihan presiden) adalah adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM) yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Tentu saja yang menuduhkan adanya kecurangan TSM ini adalah pihak yang menengarai akan kalah. Yang gejalanya mau menang, buat apa menyebarkan isu TSM ini. Di mana-mana memang begitu keadaannya. Kesebelasan yang memprotes wasit kebanyakan adalah kesebelasan yang kalah karena gagal membobol gawang lawan. Yang sering berhasil membobol gawang lawan biasanya diam.

Tapi lepas dari hal itu, setelah kini pemilu selesai dan hasilnya diumumkan (tetap dengan tudingan adanya kecurangan TSM oleh KPU), pertanyaannya: apakah ada kecurangan dalam pemilu kita?

BACAAN LAINNYA

Ilustrasi Foto Teroris (iStockphoto)

ASN yang Diamankan oleh Densus 88 Merupakan Bendahara MAA Aceh Timur

23/01/2021 - 12:07 WIB
Ilustrasi Foto Teroris (iStockphoto)

Humas Polda Aceh Benarkan Penangkapan Dua Terduga Teroris di Langsa

22/01/2021 - 20:35 WIB
Kajati Aceh Dr Drs Muhammad Yusuf SH MH didampingi oleh Kajari Pidie Jaya Mukhzan SH MH menerima Dr. M. Gaussyah, SH MH.

Fakultas Hukum USK Apresiasi Kinerja Kejati Aceh Dalam Mengusut Kasus Korupsi

22/01/2021 - 19:36 WIB
Ilustrasi Foto Teroris (iStockphoto)

Diduga Teroris, Satu PNS Diringkus Densus 88 di Langsa

22/01/2021 - 19:17 WIB

Saya jamin bahwa jawabannya: ADA. Tapi apakah kecurangan itu TSM? Saya juga jamin bahwa jawabannya adalah TIDAK.

Sebenarnya kalau Anda membaca tulisan ini untuk sekadar mendapat jawaban ada atau tidaknya kecurangan, sampai paragraf di atas saja sudah cukup. Tapi kalau mau membedah lebih jauh, mari kita lanjut ke paragraf berikutnya.

Pertama-tama, penting kita ingat bahwa pemilu di Indonesia itu sangatlah kompleks. Biar saya tak perlu mengurai bagaimana detailnya komplektitas pemilu kita, coba Anda buka saja link ini: https://interactives.lowyinstitute.org/features/indonesia-votes-2019/.

Untuk pemilu sekompleks itu, sebenarnya Indonesia menunjukkan prestasi yang bagus. Penyelenggaraan pemilu di negara kita cenderung lebih baik daripada beberapa negara lain di Asia Tenggara, dalam hal sistem dan logistiknya.

Tentu saja banyak kekuarangan di sana-sini. Ada banyak kelemahan yang masih harus terus dibenahi. Data pemilih kita, misalnya, sampai sekarang kerap menyandang masalah. Akurasi data masih perlu ditingkatkan.

Distribusi logistik dalam pemilu juga masih banyak persoalan. Beban kerja petugas pemilu di lapangan masih sangat perlu dibenahi. Riset lintas disiplin yang dilakukan di UGM (melibatkan ilmu sosial-politik, ilmu kedokteran, psikologi dan geografi) saat ini sedang memetakan permasalahan di balik sakit dan wafatnya sejumlah petugas pemilu di lapangan.

Proses pemberian suara dan penghitungannya juga tak jarang bermasalah. Orang-orang yang berada di luar tempat tinggalnya (karena sekolah, bekerja, atau dirawat di rumah sakit) tak semuanya bisa menggunakan hak pilih. Sistem dan pelaksanaannya masih sangat perlu dibenahi.

Dan yang paling terasa namun sulit dibuktikan: jual beli suara juga masih kerap terjadi. Vote buying (membeli suara langsung kepada pemilih) atau vote trading (membeli suara gelondongan lewat penyelenggara pemilu) masih terdeteksi. Banyak malah.

Tapi apakah itu semua itu berarti terjadi kecurangan yang TSM untuk memenangkan satu kandidat capres? Saya rasa tidak. Anda pikir mudah merancang kecurangan yang TSM di jaman ini? Sama sekali bukan perkara mudah. Mari lihat apa saja masalahnya.

KPU (dari pusat sampai kabupaten/kota) serta Bawaslu dan Panwaslu itu diisi oleh orang-orang dengan orientasi politik beragam. Rata-rata komposisi para komisioner KPU dan pimpinan Bawaslu/Panwaslu mencakup kekuatan nasionalis (merah), Islam tradisionalis (hijau) dan Islam modernis (biru).

Mengajak seluruh jajaran penyelenggara pemilu untuk melakukan kecurangan TSM itu memerlukan rembugan politik yang sangat lama.

Tak satupun dari Jokowi atau Prabowo yang akan sanggup memperoleh kesepakatan politik di semua tempat dan semua level. Merah setuju, biru belum tentu. Biru oke, hijau bisa nolak. Hijau sepakat, merah melengos. Apa tidak pusing antum?

Negosiasinya memerlukan urat leher yang kuat — dan fulus yang sejabal Uhud.

Untuk apa mereka capek-capek melakukan hal itu? Tenaga dan dananya mending mereka pakai untuk membangun pencitraan publik, serta membayar akademisi dan aktivis untuk menjadi pendukung, buzzer atau endorser. Itu lebih jelas juntrungannya.

Tentu saja akan ada yang membantah: banyaknya masalah di TPS-TPS, termasuk pemungutan suara lanjutan (PSL) bahkan pemungutan suara ulang (PSU) itu adalah bukti adanya kecurangan yang TSM.

Betul memang banyak PSL dan PSU. Tapi berapa banyak? Dari lebih 809 ribu TPS di seluruh Indonesia, ada sekitar 2700 TPS yang melakukan PSL dan PSU. Itu berarti cuma 0,3%. Apanya yang masif?

Yang juga lebih penting, kesalahan-kesalahan dalam pemilu tak semuanya adalah kecurangan, apalagi kecurangan yang TSM. Ilmu politik sudah membuat kategori jenis-jenis kesalahan yang mungkin terjadi dalam pemilu. Salah satu ilmuwan yang paling banyak dirujuk tentang kesalahan-kesalagan dalam pemilu adalah Sarah Birch, penulis buku berjudul Electoral Malpractice dan tulisan jurnal berjudul Electoral system and Electoral Misconduct.

Dalam karya-karyanya itu, Birch menggunakan beberapa istilah dengan makna yang berbeda tapi beririsan, yakni electoral misconduct dan electoral malpractice, serta kadang juga electoral malfeasance. Ketiganya merujuk pada kejadian atau tindakan yang membuat pemilu melenceng dari prinsip dasar integritas, kebebasan dan kejujuran.

Electoral malpractice adalah tindakan yang secara langsung atau tidak langsung membuat pemilu berjalan di luar prinsip yang ideal. Malpraktik ini bisa sengaja, bisa pula hanya karena kelalaian dan kecerobohan. Misalnya, tidak hati-hati dalam urusan pengisian C1; atau terlambat mengirimkan logistik pemilu.

Electoral misconduct dan malfeasance adalah pelanggaran terhadap norma dan aturan pemilu pemilu demokratis. Misalnya, ada orang yang dihalang-halangi untuk menggunakan hak pilihnya. Jika pelanggaran itu dilakukan berulang-kali, jatuhnya malah bisa menjadi electoral crime.

Pelanggaran itu sendiri bisa mengambil banyak bentuk. Bentuk pertama adalah electoral fraud, yakni pelanggaran yang dilakukan dengan melakukan kecurangan. Kadangkala kecurangan itu mempengaruhi hasil akhir pemilu, kadangkala tidak. Kecurangan yang mempengaruhi hasil akhir pemilu disebut outcome determinative fraud; yang tidak mempengaruhi hasil akhir disebut non-outcome determinative fraud.

Saya yakin dalam pilpres 2019 ada kecurangan yang dilakukan oleh kedua kubu paslon, namun kecurangan itu masuk dalam kategori non-outcome determinative fraud. Kecurangan yang terjadi mungkin menggeser suara Jokowi atau Prabowo di sejumlah TPS, tapi pergeseran itu tak signifikan untuk mengubah hasil akhir secara nasional.

Bentuk lain kecurangan adalah voter fraud, yakni kecurangan dengan membuat pemilih tidak bisa mengunakan hak pilihnya, atau seseorang menggunakan hak pilih orang lain. Ada juga bentuk vote fraud, yakni kecurangan dengan cara menambah/mengurangi suara partai atau kandidat.

Yang paling gawat adalah kecurangan dalam bentuk systematic manipulation, yakni manipulasi hukum penyelenggaraan pemilu untuk kepentingan partai atau peserta pemilu. Sebenarnya ini terjadi di Indonesia hampir setiap lima tahun. Partai-partai politik selalu merancang sistem pemilu untuk kepentingan mereka.

Akhirul-kalam, kecurangan yang TSM dalam pemilu di Indonesia itu sebenarnya mustahil terjadi di Zaman ini. Fakta dan teorinya tak mendukung tuduhan itu. Meski hasil pemilu 2019 itu tak bisa dijamin suci-bersih (karena memang ada kecurangan dan penyimpangan di sana-sini), namun hasil itu juga tak sepenuhnya najis.

Hasil pemilu 2019 harus kita terima dengan lapang dada. Kotoran dalam hasil pemilu ini bisa kita bersihkan dengan cara mengawasi jalannya pemerintahan yang dipimpin oleh Jokowi.

*)Dr. Abdul Gaffar Karim. Dosen FISIPOL UGM dengan minat riset utama tentang politik dan agama. Lahir di kota santri Sumenep, Madura, menyelesaikan pendidikan di Indonesia dan Australia. Opini ini dikutip dari website Alif.id

Tag: #Headlinejokowipemilu curangPrabowotsm
ShareTweetPinKirim
Sebelumnya

Alumni Kader ABN NasDem, Pimpin Ketua YARA Aceh Utara

Selanjutnya

Petani Abdya Keluhkan Murahnya Harga Gabah

BACAAN LAINNYA

Ahmadi M. Isa.
Celoteh

Generasi Muda Aceh Harus ‘Divaksin’

Kamis, 21/01/2021 - 09:40 WIB
Mukhlis Puna
OPINI

Asal Mula Siswa Berkarakter Berawal dari Guru

Rabu, 20/01/2021 - 11:46 WIB
Ahmad Humam Hamid, Guru Besar Unsyiah.
OPINI

LMC (76): Orang Tua dan Covid-19: Kenapa Harus Serius?

Selasa, 19/01/2021 - 18:48 WIB
Bendera Pemerintah Otonomi Bangsamoro. Foto?ist.
Jambo Muhajir

Jalan Tengah untuk Bendera Aceh

Selasa, 19/01/2021 - 16:03 WIB
aceHTrend.com
OPINI

Digitalisasi di Sekolah, Burukkah?

Senin, 18/01/2021 - 10:52 WIB
Sadri Ondang Jaya. Foto/Ist.

Sadri Ondang Jaya dan Singkel

Sabtu, 16/01/2021 - 23:47 WIB
Ilustrasdi dikutip dari website seni.co.id.
Jambo Muhajir

Kolom: Pelacur

Kamis, 14/01/2021 - 18:47 WIB
Fitriadi.
Artikel

Sekolah Butuh Pemimpin atau Pimpinan?

Rabu, 13/01/2021 - 09:26 WIB
Ilustrasi tewasnya Abrahah dan pasukan gajahnya saat akan menghancurkan Ka'bah / kicknews.today
Pandemi, Sejarah, dan Kebijakan

LMC (75): Era Islam Klasik, Wabah, dan Peradaban

Selasa, 12/01/2021 - 11:16 WIB
Lihat Lainnya
Selanjutnya
Petani Abdya sedang melakukan proses pemotongan padi dengan menggunakan combine harvester. @Ist

Petani Abdya Keluhkan Murahnya Harga Gabah

Kolomnis - Ahmad Humam Hamid
  • Ilustrasi Foto Teroris (iStockphoto)

    ASN yang Diamankan oleh Densus 88 Merupakan Bendahara MAA Aceh Timur

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Siswa dari Pesantren Tradisional yang Tidak Memiliki NISN Terancam Dikeluarkan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Seorang Ayah di Aceh Utara Dilaporkan ke Polisi karena Memukul Anaknya dengan Sapu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Diduga Teroris, Satu PNS Diringkus Densus 88 di Langsa

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Prof. Dr. Afridar Akan Dikukuhkan Sebagai Rektor UNIKI Bireuen

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Ikatan Guru Indonesia

UPDATE TERBARU

aceHTrend.com
BERITA

Cabdin Pendidikan Subulussalam-Aceh Singkil Adakan Lomba BEREH

Sadri Ondang Jaya
23/01/2021

Nasya Febrila
BUDAYA

Puisi-Puisi Nasya Febrila

Redaksi aceHTrend
23/01/2021

Prof. Afridar. Foto:aceHTrend/Muhajir Juli
Pendidikan

Prof. Afridar Akan Wujudkan UNIKI Kampus Merdeka Berbasis Penguatan Karakter

Muhajir Juli
23/01/2021

Zulma Amalia
BUDAYA

[Puisi]: Sekolah yang Bersih

Redaksi aceHTrend
23/01/2021

  • Tentang kami
  • Redaksi
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak kami
  • Kebijakan Privasi
  • Sitemap
Aplikasi Android aceHTrend

© 2015 - 2020 - PT. Aceh Trend Mediana.

Tidak Ditemukan Apapun
Lihat Semua Hasil
  • HOME
  • BERITA
  • BUDAYA
  • EDITORIAL
  • LIFE STYLE
  • LIPUTAN KHUSUS
  • MAHASISWA MENULIS
  • OPINI
  • SPECIAL
  • SYARIAH
  • WISATA

© 2015 - 2020 - PT. Aceh Trend Mediana.