ACEHTREND.COM, Banda Aceh- Teungku M. Nur Djuli, salah seorang negosiator GAM di Helsinki yang melahirkan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005, telah diminta oleh Aceh Trend untuk memberi pandangannya terkait pernyataan Ketua DPP Partai Aceh Muzakir Manaf yang mewacanakan kembali referendum untuk Aceh.
Nur Djuli, dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan AcehTrend menegaskan bahwa ia bicara atas nama pribadi dan tidak mewakili sesuatu badan atau organisasi.
Kepada aceHTrend, Kamis (30/5/2019) Nur Djuli mengatakan wacana referendum merupakan hal yang lumrah dalam demokrasi.
Menurut penulis buku The Long and Winding Road to Helsinki (Aceh Dalam Perang dan Damai) terbitan Kawat Publishing, referendum adalah bentuk praktik demokrasi paling nyata karena bersifat langsung, tidak diwakili oleh lembaga-lembaga legislatif, dan biasanya digunakan untuk masalah-masalah kenegaraan yang besar.
Dalam praktik referendum, rakyat dimintai memilih salah satu dari dua pilihan dengan simple dan tegas: YA atau TIDAK.
Terkait dengan pernyataan Muzakir Manaf yang mewacanakan referendum untuk Aceh, karena menilai bahwa Pemerintah Pusat tidak serius menyelesaikan poin-poin MoU Helsinki, Nur Djuli menyatakan, bahwa itu termasuk dalam hak setiap warga dalam negara yang mempraktekkan sistim demokrasi untuk bebas menyatakan pendapat.
Apalagi sebagai seorang panglima, Muzakir Manaf telah mengambil sebuah sikap yang sangat luar biasa kala dalam rangka pelaksanaan MoU Helsinki, yaitu memerintahkan seluruh pasukannya turun gunung dan seluruh senapan tempur diserahkan ke Aceh Monitoring Mission (AMM) untuk kemudian dipotong-potong, sesuai dengan instruksi pimpinan sipil Gerakan Aceh Merdeka, sebagai salah satu syarat perdamaian yang harus dilaksanakan oleh pihak GAM.
Menurut Nur Djuli, para pemimpin sipil Gerakan Aceh Merdeka tidak akan bisa berbuat apa-apa dalam melaksanakan keputusan untuk menyelesaikan Konflik Aceh yang sudah berlangsung selala 30 tahun, secara damai, sekiranya Muzakir Manaf tidak berani mengambil risiko yang sangat berat bagi seorang Panglima Perang untuk memerintahkan seluruh pasukan bersenjatanya bukan saja untuk turun gunung tetapi juga menyerahkan senjata mereka untuk dihancurkan.
Mualem telah mengambil keputusan sulit sebagai seorang panglima perang. Tapi karena ia mematuhi perintah petinggi sipil GAM demi mencapai perdamaian, maka ia menempuh segala resiko itu.
“Bayangkanlah kekecewaannya ketika begitu banyak janji yang tertera dalam MoU itu tidak direalisasikan. Saya tidak mau mempersoalkan motif Mualem membuat pernyataan tersebut.” lanjut Nur Djuli,”apapun motifnya, itulah haknya mengeluarkan pendapat dengan bebas dalam sistem demokrasi.”
Bahwa ada yang mendukung dan ada yang tidak terhadap pendapatnya itu, juga merupakan bagian integral hak-hak demokratis warga negara.
“Semua orang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya. Apakah tetap mau bersama Indonesia ataukah berpisah, asalkan tidak ada yang dipaksa untuk memilih salah satu,” katanya lagi.
Nur Djuli melihat bahwa wacana yang dimunculkan oleh Muzakir Manaf, telah melahirkan diskusi di ruang publik. Menurutnya hal ini merupakan sesuatu yang positif. Setidaknya masyarakat kembali membicarakan capaian MoU Helsinki dan UUPA, yang selama ini kelihatannya sudah diketepikan oleh Pemerintah Pusat, bahkan sudah banyak pernyataan tokoh-tokoh politik di Jakarta, yang mulai mempersoalkan kekhususan Aceh.