DARI sembilan misi Pemerintah Aceh untuk mencapai visi “terwujudnya Aceh yang damai dan sejahtera melalui pemerintahan yang bersih, adil, dan melayani”, tersebutlah pada poin keenam, yakni menjamin kedaulatan dan ketahanan pangan yang berimplikasi terhadap kesejahteraan petani dan nelayan melalui peningkatan produktivitas dan nilai tambah hasil pertanian dan kelautan.
Untuk mewujudkan cita-cita mulia tersebut, Pemerintah Aceh menerjemahkannya melalui program Aceh Meugoe dan Aceh Meulaot, yang menitikberatkan pada optimalisasi sektor primer, yaitu pertanian, perkebunan, dan kelautan. Di samping program unggulan lainnya, yaitu Aceh Seujahtra; Aceh SIAT; Aceh Carong; Aceh Energi; Aceh Kreatif; Aceh Kaya; Aceh Peumulia; Aceh Dame; Aceh Meuadab; Aceh Teuga; Aceh Green; Aceh Seuniya; dan Aceh Seumeuget.
Jika program Aceh Meugoe dan Aceh Meulaot ini lancar, maka hasilnya adalah Aceh Troe. Di mana kawasan rawan pangan menjadi berkurang, lumbung pangan bertambah, dan stok pangan jadi berlimpah. Bila ini terwujud otomatis tak ada lagi rakyat Aceh yang deuk alias lapar. Harapannya sih begitu!
Namun, dengan adanya kejadian yang menimpa Geuchik Munirwan, membuat publik tergelitik dan timbul pertanyaan: apakah pemerintah serius ingin mewujudkan Aceh Troe? Apakah pemerintah serius ingin meningkatkan kesejahteraan petani yang notabenenya merupakan mayoritas dari rakyat Aceh? Atau, jangan-jangan itu cuma gincu penghias bibir semata?
Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, alih-alih membina petani—dalam hal ini diwakili Geuchik Munirwan—malah “membinasakannya” dengan cara melaporkannya ke Polda Aceh. Dalihnya untuk penertiban, karena Munirwan dinilai telah melakukan komersialisasi benih.
Bila pun pihaknya ingin melakukan langkah antisipatif agar benih tanpa sertifikasi itu tidak beredar luas, bukankah seharusnya itu dilakukan jauh-jauh hari sebelum benih disalurkan ke petani? Sebelum petani merasakan manfaat langsung dari keunggulan benih padi IF-8 yang awalnya ditemukan oleh petani di Karanganyar, Jawa Tengah.
Apalagi, benih padi itu awalnya merupakan bantuan dari program Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Aceh (LPMA). Lembaga ini pada 2016 melakukan penelitian dengan mengambil sampel tanah di Nisam untuk mengetahui komoditas apa yang cocok dikembangkan di sana.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui di daerah itu cocok dikembangkan benih padi IF-8. LPMA lantas membagikan benih padi tersebut untuk sembilan gampong di Nisam pada pengujung tahun 2017 atas nama program pemerintah. Salah satunya adalah Gampong Meunasah Rayeuk, di mana Munirwan tercatat sebagai geuchik.
Saat panen raya perdana, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, A. Hanan, bahkan hadir menggantikan Presiden Jokowi yang semula sudah dijadwalkan, tetapi gagal hadir karena bentrok dengan tugas ke Papua. Sampai di sini, apakah pihak dinas pertanian tidak “ngeh” kalau benih itu belum tersertifikasi? Bila alasannya komersialisasi benih, IF-8 yang berasal dari Pulau Jawa itu hingga sampai ke Aceh tentunya tidak didapatkan secara gratis.
Lalu, dengan potensi hasil panen yang mencapai angka 11,6 ton per hektare, apakah pihak dinas pertanian tidak bisa “menerawang” bila kelak benih padi ini akan jadi primadona petani? Dalam hal ini bukankah seharusnya insting mereka harus bergerak lebih cepat melampaui insting petani?
Kelompok penangkar benih padi Kabupaten Aceh Utara malah resah begitu tahu banyak petani di daerah itu mulai beralih ke IF-8. Tak hanya resah, para penangkar itu juga mengaku rugi karena tentunya telah mengeluarkan biaya untuk proses sertifikasi benih yang mereka tangkar. Alhasil mereka melapor ke Pengawas Benih Tanaman Aceh Utara, diteruskan ke UPTD Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih TPHP Aceh. Ujung-ujungnya terjadi drama seperti yang sedang kita saksikan saat ini. Sebanyak 11,8 ton benih disita sebagai barang bukti.
Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh harusnya tak perlu segegabah itu. Apalagi modal yang digunakan Munirwan untuk mengembangkan benih itu milik BUMG. Otomatis kas yang didapat dari penjualan benih akan menjadi penghasilan desa. Hal ini sejalan dengan semangat Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong yang menginginkan agar BUMG bisa dikelola secara produktif.
Agaknya dalam hal ini, pemerintah perlu belajar pada bagaimana cara Dahlan Iskan menyikapi Yusuf Mansur. Pada 2013 lalu ustaz kondang itu tersandung kasus investasi bodong yang dananya dihimpun secara terbuka dari publik melalui program Patungan Usaha.
Selaku menteri BUMN saat itu, Dahlan Iskan menyarankan agar Yusuf Mansur membuat lembaga khusus untuk mengelola dana investasi tersebut. Semata-mata agar investasi itu bisa legal. Agar tak muncul persoalan belakangan nanti. Yang namanya investasi, haruslah memiliki risiko rendah, memberi manfaat bagi penyumbang modal, dan return-nya tinggi. Inilah yang dilakukan Dahlan Iskan. Ia bahkan mengapresiasi ide Yusuf Mansur dalam mengelola dana sedekah untuk diinvestasikan di sektor produktif untuk membangun hotel. (Detik: 2013)
Bagaimana dengan Munirwan? Katakanlah yang ia lakukan “nasi telah jadi bubur”. Namun, dengan menambahkan santan, gula, dan sedikit garam, “bubur” itu justru menjadi santapan yang lebih nikmat. Porsinya malah bisa bertambah lebih banyak sehingga bisa dikonsumsi banyak orang. Santan, gula, dan garam inilah yang seharusnya ditambahkan oleh instansi terkait.
Meminjam istilah judul sebuah film, Alangkah Lucunya (Negeri Ini). Memang banyak yang lucu-lucu di negeri ini. Kelucuan yang sama juga pernah dialami Warsito Purwo Taruno. Lelaki kelahiran Solo tersebut merupakan penemu rompi dan helm antikanker. Banyak penyintas kanker mendapatkan harapan baru setelah inovasi itu dikembangkan Warsito sejak 2011.
Masalahnya, Warsito bukanlah seorang dokter. Ia hanya pemilik sejumlah paten di bidang kimia dan fisika. Barangkali, karena tak memiliki riwayat pendidikan dari dunia medis, temuan pria yang pernah ditawarkan jadi menristek pada 2004 itu jadi kontroversi. Pada 2015, Kementerian Kesehatan meminta Warsito menutup kliniknya yang telah melayani 3.200 pasien.
Kabar baiknya, Warsito justru telah ditunggu-tunggu oleh rumah sakit dan klinik di luar negeri untuk transfer pengetahuan mengenai terapi kanker. Pelatihan pertamanya di jagat internasional untuk penanganan kanker dimulai Warsito dari Warsawa, Polandia pada 8 Februari 2019. (Detik: 2017)
Bila pola-pola “penertiban” seperti ini yang menjadi pendekatan Pemerintah Aceh, bukan tidak mungkin, visi misi yang digaung-gaungkan itu jauh panggang dari api. Masyarakat jadi takut berinovasi. Uang yang digelontorkan pemerintah habis untuk sektor-sektor nonproduktif. Kita khawatir cita-cita luhur mewujudkan Aceh Troe hanya jadi mimpi di siang bolong.[]
*Penulis adalah Pemimpin Redaksi aceHTrend