• Tentang kami
  • Redaksi
aceHTrend.com
Tidak Ditemukan Apapun
Lihat Semua Hasil
  • HOME
  • SYARIAH
    • MESJID
  • BERITA
    • POLITIK
    • HUKUM
    • DUNIA
  • WAJAH ACEH
    • WISATA
  • LIFE STYLE
    • HIBURAN
  • SPESIAL
    • BUDAYA
  • OPINI
    • ARTIKEL
    • RESAM
  • EDITORIAL
  • LIPUTAN KHUSUS
  • BUDAYA
  • SOSOK
aceHTrend.com
  • HOME
  • SYARIAH
    • MESJID
  • BERITA
    • POLITIK
    • HUKUM
    • DUNIA
  • WAJAH ACEH
    • WISATA
  • LIFE STYLE
    • HIBURAN
  • SPESIAL
    • BUDAYA
  • OPINI
    • ARTIKEL
    • RESAM
  • EDITORIAL
  • LIPUTAN KHUSUS
  • BUDAYA
  • SOSOK
Tidak Ditemukan Apapun
Lihat Semua Hasil
aceHTrend.com
Tidak Ditemukan Apapun
Lihat Semua Hasil

Aceh Meusumpom

Redaksi aceHTrendRedaksi aceHTrend
Senin, 29/07/2019 - 05:32 WIB
di Artikel, OPINI
A A
Muhajir Al Fairusy. Antropolog Aceh.

Muhajir Al Fairusy. Antropolog Aceh.

Share on FacebookShare on Twitter

Oleh Muhajir Al-Fairusy*

Dari sederet provinsi di Indonesia, Aceh memang salah satu provinsi paling anomali dengan beragam wacananya yang kerap menggempar media di Indonesia. Hampir-hampir wacana sempalan itu menjadi “a state of mind” (keadaan pemikiran), suatu istilah yang pernah digunakan oleh Rosihan Anwar dalam kongres Kebudayaan di Bukittinggi (2003). Mulai dari wacana merdeka dulunya, referendum, dan segudang wacana qanun dengan mengatasnamakan syariat Islam, semuanya menjadi perbincangan luas untuk persoalan kebangsaan Indonesia. Meskipun, seluruh wacana seperti virus influenza yang tiba-tiba datang lalu menghilang begitu saja saat tiba masa pulih.

Orang Aceh sepertinya memang senang dengan wacana-wacana “peukeujot” (mengagetkan) dan “peu-maop” (menakuti) orang lain. Namun, kerap “syooh ujong” (gagal) saat implementasi. Masih terngiang, belum selesai wacana referendum yang justru kemudian terkapar sendiri oleh kondisi politik, perbincangan poligami mencuat, dan tiba-tiba muncul larangan penberbangan di hari raya atas nama syariat menyerupai Nyepi-Hindu. tampaknya wacana-wacana utopis rajin diproduksi di sini dibanding diskursus ke arah peradaban. 

Di balik wacana takasir (mubazir, ed) tersebut, Aceh sebenarnya menghadapi persoalan interen yang akut dan seakan tak pernah selesai. Persoalan infrastruktur vital seperti suplai energi listrik yang masih sering macet, air bersih di beberapa titik, angka kemiskinan yang masih rendah sebagaimana yang dipapar oleh IDeAS Aceh, intoleransi inter-umat beragama, hingga segudang persoalan pelik lainnya yang masih kerap menghantui wajah peradaban Aceh. Bahkan, satu-satunya kabupaten di Aceh (Kabupaten Singkil) justru masih bertengger dalam daftar kabupaten tertinggal di Indonesia di tengah limpahan dana Otsus. Padahal, jeritan dan protes untuk keluar dari status tersebut kerap disuarakan oleh masyarakat Singkil.  

BACAAN LAINNYA

Teuku Hamid Azwar

Pemerintah Aceh Usulkan Teuku Abdul Hamid Azwar sebagai Pahlawan Nasional, Ini Kiprahnya untuk RI

17/04/2021 - 10:02 WIB
Bus JRG. Ilustrasi.

Lempari Bus JRG, Tiga Pemuda Aceh Timur Diringkus Polisi

16/04/2021 - 11:08 WIB
Riki Akbar (kiri) alias Abu Malaya, dan Nova Iriansyah (kanan). Mereka bertemu di ruang virtual sidang Pengadilan Negeri Meureudu, Kamis (15/4/2021) dalam dugaan pencemaran nama baik dan SARA di media sosial. foto:Ist.

Nova Iriansyah Merasa Nama Baiknya Dicemarkan oleh Abu Malaya

15/04/2021 - 14:48 WIB
Abu Rahman

Peran Sekolah Swasta dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan

14/04/2021 - 15:34 WIB

Aceh memang anomali, untuk menutupi cacat di wajah yang penuh persoalan, justru kerap berdalih dengan imajinasi sejarah yang pernah gemilang, terutama saat muncul kritik dari luar terhadap Aceh. Khusus menghadapi kritikan dari Indonesia, dalil sebagai daerah modal dijadikan tameng jasa diri. Kondisi ini, mendorong Aceh hampir meusumpom dalam pandangan dunia luar terhadap provinsi paling ujung Sumatera ini.

Memang, ada harapan besar saat gong Aceh Hebat digemakan dua tahun lalu dengan muatan lima belas program strategis oleh pemerintahan Aceh yang baru. Setidaknya, Aceh memiliki road map menemukan titik masa depan cerah. Namun, frasa peradaban tersebut harus dibaca ulang dengan sederet pertanyaan, apakah Aceh telah menemukan kehebatannya, atau justru tertunda hebat akibat tergelincir dengan segudang wacana “kocak.”  

Aceh Meusumpom dan Tradisi yang Memudar

Aceh sebagai sebuah entitas dan identitas kebudayaan telah mengalami perjalanan panjang hingga berada pada titik landai seperti sekarang. Peristiwa politik (perang) yang berkepanjangan, telah merenggut kultur kehidupan dan budaya Aceh. Kondisi tersebut harus dibayar mahal kemudian hari tentunya, berdampak buruk pada tatanan budaya dan mental. Seperti disebut oleh Pirous, apabila sendi-sendi budaya jumud selama perang dan tidak bergerak selama puluhan tahun, tentu akan menyebabkan masyarakat “lupa” kepada karakteristik budayanya. (Pirous, dkk, 2006 ; 1-6). Karakter budaya dan mental Aceh yang progresif harus terlindas dan tertindas akibat penyempitan dan pengangkangan budaya oleh orang Aceh sendiri. Akibatnya, Aceh tampak semakin menjadi headline objek kocak bagi media luar.

Masih segar dalam ingatan kita, ketika sebuah makalah kritik paling fundamental terhadap memudarnya tradisi besar Aceh yang dipapar oleh guru besar antropologi UGM Prof. Irwan Abdullah dalam seminar PKA  ke-7 di Banda Aceh, mengenai kekalahan Aceh dalam catur peradaban dunia. Di antara sorotan paling tajam adalah Aceh telah lama tenggelam dalam persoalan penguasaan pasar dunia dan terjebak dengan polemik internal yang tak berujung. Tradisi-tradisi peradaban Aceh telah lama tenggelam, kini Aceh hanya sebuah provinsi yang didera segudang persoalan kejumudan.  

“…Aceh hari ini adalah nanggroe yang infrastrukturnya terhambat, strukturnya tersandera, dan kulturnya tergadaikan. Bahkan, rakyat masih miskin (15%), pertumbuhan ekonomi yang masih rendah, dan tata kelola pemerintahan yang buruk (salah satu provinsi yang terkorup).” Demikian data nasional menurut Prof. Irwan. Artinya, Aceh Meusumpom frasa tepat untuk menggambarkan serangkaian kegelisahan dan bacaan tajam kondisi hari ini. Meusumpom (tergelincir) merupakan potret dari ketidakseimbangan berjalan hingga terjatuh akibat lantai yang dipijak licin dan tidak kasat. Frasa Aceh Meusumpom menunjukkan Aceh sedang terjatuh di atas panggung nasional dengan segudang anomalinya.  

Menegakkan Kembali Aceh yang Besar

Aceh memang pernah besar pada abad ke-16 dan 17 M, dengan segudang jejak cerita peradabannya (Suny, 1980.). Cerita yang dinukilkan oleh beberapa pengelana seperti Ibnu Batutah dan Marcopolo menunjukkan Aceh sebagai sebuah negeri berdaulat yang disegani oleh kekuatan luar. Kemampuan diplomasi Aceh ke luar menunjukkan status peradaban Aceh bukan dongeng semata. Terakhir, dari kisah sebuah cuplikan film sejarah Turki Sultan Hamid yang diperankan di negara bekas peradaban Ottoman tersebut, menunjukkan keberadaan Aceh masuk dalam kawasan yang mendapat perhatian luas.

Penting dicatat, sebagai bangsa besar dengan komunitas yang multikultural Aceh tampil sebagai bangsa kuat dulunya. Karena itu, tak perlu memaksakan homogenitas atas kepentingan kelompok seperti peristiwa pincang yang sempat hadir di tengah masyarakat Aceh atas nama kepercayaan dan teologis sepihak. Masih banyak lubang bocor yang harus disumbat oleh elite dan masyarakat Aceh yang dapat mengancam masa depan peradaban Aceh. Selama ini, komponen adat (geuchik, teungku, dan ureung tuha) sebagai pengontrol laju kehidupan sosial seperti tak lagi berjalan beriring dengan agama, akibatnya kearifan Aceh yang multikultural kian terancam oleh hegemoni perilaku premanisme dan sesat pikir. Kondisi ini bukannya mendorong Aceh mencuat ke atas, melainkan membenamkan Aceh ke dasar kejumudan.

Dalam buku Horison Esai Indonesia (Taufik Ismail, dkk, ed, 2004) sebuah tulisan menukik, bagaimana masyarakat Minangkabau merawat kewarasan negerinya yang besar menyinggung ciri kesukaan orang yang suka memajukan bangsanya; sayang tanah air, duduk memikirkan bak mana bertambah keuntungan dan perlabaan bangsanya supaya terlepas dari bahaya kemiskinan, dan kepapaan, paling penting bagaimana bangsanya mulia di mata bangsa lain, tak lantas meusumpom akibat wacana dan konsep pikir yang sesat. Sudahkan elite Aceh beserta seperangkat qanunnya berpikir sesuai horizon peradaban ke depan?[]

Penulis adalah mahasiswa Doktoral Antropologi UGM & Peminat Studi Perbatasan Aceh

Editor : Ihan Nurdin

Tag: #HeadlineAceh hebatopini acehtrend
ShareTweetPinKirim
Sebelumnya

Dewan Tunggu Plt Gubernur Kembali dari Amerika untuk Bicarakan Silpa

Selanjutnya

Rokok Ilegal: Akibat Begesernya Gengsi “Ureueng Aceh”

BACAAN LAINNYA

Sikat gigi. Ilustrasi.

Hati – hati, Menggosok Gigi Bisa Batalkan Puasa

Jumat, 16/04/2021 - 12:17 WIB
Mawar. Ilustrasi.

Bukan Hanya Batalkan Puasa, Senggama di Siang Ramadan Dendanya Sangat Berat

Kamis, 15/04/2021 - 16:23 WIB
M. Ikhwan. Dosen STAIN Meulaboh.
Artikel

Puasa dan Aktualisasi Ketakwaan

Kamis, 15/04/2021 - 06:03 WIB
Foto:Instagram/eoktorina)
Artikel

Sie Reubôh Simbol Diplomasi Budaya dan Agama

Selasa, 13/04/2021 - 13:34 WIB
aceHTrend.com
OPINI

Menjadikan Ramadan Momentum Muhasabah Diri

Selasa, 13/04/2021 - 12:10 WIB
dr. Syarifah Nurakmal.
Artikel

Aceh Butuh Banyak Darah, Ayo Kita Donasikan

Selasa, 13/04/2021 - 00:44 WIB
Tu Sudan.
Kolom

Kolom: Suka Pamer

Sabtu, 10/04/2021 - 16:48 WIB
Kolomnis - Ahmad Humam Hamid
OPINI

LMC (79): Islam Klasik: Wabah dan Peradaban (IV)

Sabtu, 10/04/2021 - 13:54 WIB
Verolika Gustini.
Artikel

Memahami AKM sebagai Pengganti UN

Rabu, 07/04/2021 - 18:40 WIB
Lihat Lainnya
Selanjutnya
Ilustrasi rokok ilegal @AP/Pat Wellenbach

Rokok Ilegal: Akibat Begesernya Gengsi “Ureueng Aceh”

Kolomnis - Ahmad Humam Hamid
Koni Ramadhan 2021
  • Ilustrasi

    Tertipu Investasi Bodong, Seorang Warga Langsa Melapor ke Polisi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kapolda Didesak Pimpin Langsung Operasi Penertiban Tambang Emas Ilegal di Aceh Barat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kemendikbud Tunjuk Banda Aceh sebagai Tempat Pelaksanaan OJT Kepala Sekolah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Seorang Anak di Bawah Umur di Aceh Timur Jadi Korban Rudapaksa Ayah Kandung

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bolehkah Memasak untuk Suami yang Tidak Berpuasa?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Ikatan Guru Indonesia

UPDATE TERBARU

aceHTrend.com
BERITA

Istri Anggota Dewan Abdya Santuni Warga Kurang Mampu 

Masrian Mizani
18/04/2021

Alya Amira
BUDAYA

[Puisi] Bertualang di Bulan Ramadan

Redaksi aceHTrend
18/04/2021

aceHTrend.com
LIFE STYLE

Guru MAN 1 Kutacane Terbitkan Buku Budaya Alas

Sadri Ondang Jaya
18/04/2021

Ketua Tim Safari Ramadan, Ir Cut Huzaimah MP, saat menyerahkan bantuan untuk sejumlah anak yatim di Langsa, Sabtu malam (17/4/2021).
BERITA

Tim Safari Ramadan Pemerintah Aceh Santuni Anak Yatim di Langsa

Syafrizal
18/04/2021

  • Tentang kami
  • Redaksi
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Pedoman Media Siber
  • Kontak kami
  • Kebijakan Privasi
  • Sitemap
Aplikasi Android aceHTrend

© 2015 - 2020 - PT. Aceh Trend Mediana.

Tidak Ditemukan Apapun
Lihat Semua Hasil
  • HOME
  • BERITA
  • BUDAYA
  • EDITORIAL
  • LIFE STYLE
  • LIPUTAN KHUSUS
  • MAHASISWA MENULIS
  • OPINI
  • SPECIAL
  • SYARIAH
  • WISATA

© 2015 - 2020 - PT. Aceh Trend Mediana.