ACEHTREND.COM, Tapaktuan – Bagi para pengantin, pelaminan merupakan sesuatu hal yang wajib ada saat melangsungkan acara pernikahan. Pelaminan ini dijadikan sebagai tempat bersanding pengantin dan menjamu para undangan yang hadir ke acara tersebut. Bentuknya pun beragam, sesuai dengan budaya dan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat setempat.
Di Aceh Selatan misalnya, khususnya etnis Aneuk Jamee yang mendiami daerah Tapaktuan, Samadua, Labuhanhaji, dan Kandang. Bagi masyarakat yang melangsungkan acara pernikahan harus menggunakan pelaminan kasab benang emas dengan motif dan bentuk yang sudah ditetapkan. Pelaminan kasab ini wajib ada bagi setiap masyarakat yang melangsungkan acara pernikahan.
Menurut Teuku Laksamana bin Teuku Fitahroeddin, salah satu pemuka adat Aneuk Jamee yang juga salah satu keturunan Raja Tapaktuan ini mengatakan, ada dua jenis pelaminan kasab Aneuk Jamee Aceh Selatan. Pertama pelaminan kasab maracu tunggang baliak yang menggunakan adat penuh dan kedua pelaminan kasab maracu dua yang memakai adat biasa.
“Pelaminan kasab maracu tunggang baliak digunakan bila acara pernikahan tersebut kendurinya memotong minimal satu ekor kerbau yang disaksikan oleh masyarakat dan perangkat gampong. Sedangkan pelaminan kasab maracu dua dipakai untuk mereka yang melaksanakan acara pernikahan dengan adat biasa dengan memotong kambing, ayam, atau membeli daging kiloan. Kedua pelaminan ini sarat akan makna dan filosofi yang bernapaskan Islam,” ujar Teuku Laksamana kepada aceHTrend saat diwawancarai pada Jumat (27/9/2019).
Pelaminan kasab Aneuk Jamee ini terdiri atas berbagai motif ragam kasab yang disusun sedemikian rupa membentuk sebuah pelaminan. Pada pelaminan kasab maracu tunggang baliak terdapat sembilan buah maracu yang disusun tunggang baliak (bolak-balik) membentuk segitiga (lhee sagoe). Sembilan buah maracu ini dimaknai sebagai sembilan orang raja atau sultan pada kerajaan Aceh sebagaimana yang tertera pada stempel kerajaan Aceh (cap sikureung).
Motif yang terdapat di dalam maracu yaitu bunga situnjung yang dimaknai sebagai keagungan budi nurani masyarakat Aneuk Jamee Aceh Selatan. Di bawah maracu tersebut terdapat tapak yang berbentuk persegi dan dimaknai sebagai empat golongan masyarakat Aneuk Jamee, yaitu golongan raja atau bangsawan, cendikiawan, ulama, dan rakyat biasa. Tapak tersebut disusun berbanjar sebanyak lima buah yang dimaknai sebagai salat lima waktu.
Di samping kiri dan kanan maracu terdapat 17 buah kipas yang dimaknai sebagai jumlah rakaat salat dalam lima waktu. Tamsilan dari kipas tersebut agar pengantin yang bersanding di pelaminan tersebut senantiasa mengerjakan salat lima waktu, sebagaimana fungsi kipas yang dapat dijadikan penyejuk begitu pula salat dapat berfungsi sebagai penyejuk hati saat berumah tangga.
“Pemasangan pelaminan kasab maracu tunggang baliak ini juga tidak boleh asal-asal karena semua bagian-bagian kasab yang membentuk pelaminan ini mempunyai makna. Oleh karena itu, saat pemasangan pelaminan kasab harus hadir perangkat gampong seperti istri keuchik, tuha peut, dan niniak mamak.” sambung laki-laki yang berusia 71 tahun itu.

Untuk pelaminan kasab maracu dua yang menggunakan adat biasa juga mempunyai makna dan filosofi tersendiri. Di pelaminan ini maracu dan tapak hanya terdapat dua buah yang dimaknai sebagai dua kalimat syahadat dalam rukun Islam. Sedangkan di samping kanan dan kiri maracu terdapat masing-masing tiga buah kipas yang bila digabungkan berjumlah enam yang dimaknai sebagai rukun iman.
Pelaminan ini biasanya digunakan untuk mereka yang membuat kenduri secara sederhana dan tidak terlalu mewah seperti yang memotong kerbau. Ukurannya pun juga tidak sebesar pelaminan kasab maracu tunggang baliak yang sering digunakan saat pameran adat. Namun, keberadaan pelaminan ini dapat menunjukkan tanda bahwa di rumah tersebut sedang berlangsungnya acara pernikahan.
Kebiasaan penggunaan pelaminan kasab ini sudah menjadi ketentuan adat yang berlaku pada masyarakat Aneuk Jamee Tapaktuan. Bagi masyarakat yang tidak menggunakan pelaminan kasab Aneuk Jamee saat acara kenduri pernikahan, maka akan dikenakan sanksi adat. Oleh karena itu pula keaslian dan keunikan dari pelaminan kasab Aneuk Jamee di Aceh Selatan tetap lestari, meskipun di tengah maraknya tren pelaminan modern seperti yang ada di kota-kota besar.[]
Editor : Ihan Nurdin
Komentar