Danil Akbar Taqwadin
Sekuritisasi atau dikenal pula dengan securitization merupakan salah satu konsep dalam kajian Hubungan Internasional. Meskipun KBBI belum mengakomodir istilah ini, jangan terburu mengartikannya sebagai ‘Satpam-isasi.’ Plis jangan!
Pada dasarnya, konsep ini berasal dari ekstraksi dua konsep besar – konstruktivism dan kajian keamanan klasik – yang dipopulerkan oleh Ole Waever dalam tulisannya berjudul “Securitization and De-securitization” (1993). Waever (1993) mendefinisikan sekuritisasi sebagai proses yang mana aktor Negara (termasuk aparatur Negara) mentransformasikan suatu isu atau wacana yang awalnya biasa saja (atau dalam kondisi relatif aman), menjadi sesuatu yang perlu dilindungi dari keterancaman (insecurity) yang dikonstruksi sendiri. Konstruksi ini dilakukan berdasarkan kepentingan, baik itu atas alasan ketahanan nasional (national security) merujuk pada kepentingan nasional (national interest) atau pada level di bawahnya (local) ataupun ke atasnya (global). Atau dapat pula hanya demi kepentingan sekumpulan elit semata (oligarchy interest) yang bersembunyi di balik kesakralan moralitas bahkan ‘Harga Mati’ sekalipun.
Meskipun dalam perkembangannya, konsep ini tidak lagi mengunci aktor Negara saja sebagai securitizing actor, tapi juga termasuk aktor non-Negara.
Singkatnya, securitization ini semacam ketakutan yang sengaja dikonstruksikan atau dengan menggunakan langgam Aceh identik dengan istilah “peu-maop.” Peu-maop secara letterlijk berarti meng-hantu-kan. Tentu ketika berbicara soal hantu, sebagian orang akan bergidik ngeri, berdiri bulu kuduk, atau memilih main PUBG. Tapi hakikatnya, konteks peu-maop tidak berbeda dengan apa yang disampaikan Waever (1993).
Atau di sisi lain, ketika suatu isu atau wacana yang faktanya sangat penting untuk ditanggapi/diselesaikan segera, namun kemudian aktor negara atau elit secara sengaja menanggapinya sebagai wacana yang biasa saja, bagai ‘angin lalu’. Analogi ini merupakan kontradiksi konsep sekuritisasi yang dikenal dengan dengan de-sekuritisasi atau de-securitization. Untuk hal ini, langgam Aceh yang tepat mendiskripsikan konteks tersebut belum ditemukan.
Secara teknis, speech act (narasi) baik berbentuk pernyataan sikap ataupun kebijakan menjadi salah satu mekanisme untuk mengkonstruksikan ‘keterancaman’ ataupun ‘keamanan’ dalam konsep tersebut. Berdasarkan kajian linguistik – atau lebih tepatnya political discourse, speech act merupakan ucapan atau pernyataan yang memiliki ekspresi, nilai dan kepentingan tertentu (Austin, 1962). Selanjutnya, pernyataan ini kemudian disampaikan kepada khalayak (audience) – suatu kelompok, masyarakat, warga negara, dsb. – dengan maksud memberikan pemahaman akan kehadiran “maop” yang telah dikonstruksi sedemikian rupa (securitization). Atau sebaliknya, menghilangkan sosok “maop” yang telah nyata seakan-akan hanyalah “pancaran sinar petromax” (de-securitization).
Nah, pada prosesnya menurut Kasim (2013), speech act dalam konteks securitization setidaknya mencakup 4 langkah utama yaitu: Pertama, ancaman terhadap suatu kepentingan (existential threat). Saking pentingnya, sehingga harus menafikan isu lainnya, dan menempatkan kepentingan tersebut sebagai prioritas utama. Hal ini dilakukan oleh securitizing actor – aktor yang melakukan sekuritisasi. Kedua, hadirnya objek, isu, imajinasi atau kepentingan yang perlu diamankan (referent objects). Ketiga, situasi darurat (emergency situation). Maksudnya, apabila ancaman atas kepentingan tersebut tidak ditanggapi serius atau disepakati oleh khalayak (audience), maka akan melahirkan suatu situasi darurat yang sangat krusial bagi keberadaan khalayak sendiri. Keempat, mekanisme pengamanan (extraordinary measures). Dalam hal ini, ketika situasi genting yang tidak nyata hadir, maka perlu diberlakukan mekanisme-mekanisme spesial untuk mengamankan kepentingan yang telah dikonstruksikan sebelumnya.
Pada konteks yang berbeda, proses de-securitization juga melibatkan aktor yang relatif sama, baik negara ataupun non-negara, dengan atau tidak menggunakan mekanisme speech act.
Menurut Hansen (2011), proses de-securitization dapat melalui stabilisasi, pengalihan isu, re-artikulasi, ataupun pendiaman (silencing). Stabilisasi bermaksud memahami realita ancaman yang ada namun mentransformasikan keterancaman tersebut kepada narasi keamanan secara gradual. Pengalihan isu bermaksud mengalihkan suatu isu yang pada faktanya mengancam suatu aktor, kepada isu lainnya sehingga menggiring narasi dan memori aktor tersebut ke arah yang berbeda. Re-artikulasi bermaksud de-securitizing actor memahami realita keterancaman terhadap khalayak, namun kemudian menggiring narasi atas realita keterancaman tersebut keluar dari koridor ketidakamanan (insecurity) dan coba menawarkan solusi alternatif. Terakhir adalah pendiaman yang bermaksud de-securitizing actor secara sengaja menafikan atau mendiamkan suatu ancaman sehingga tidak menjadi prioritas dalam diskursus keamanan, sehingga khalayak atau target yang dituju melupakan keberadaan ancaman yang berada di sekitar mereka.
Selain itu yang paling krusial sejalan dengan perkembangan teknologi dan komunikasi saat ini, media massa ataupun media sosial menjadi instrumen dalam menyebarkan speech act secara konstruktif, massif dan efisien.
Lantas pertanyaannya, bagaimana konsep ini bekerja atau dapat digunakan untuk melihat fenomena politik nasional selama ini?
Secara sederhana, tampaknya begitu banyak fenomena politik di sekitar kita yang dapat ditelaah dengan ‘lensa’ ini. Sebagai contoh, fenomena politik jelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden – Joko Widodo dan KH. Ma’aruf Amin – cukup memberikan gambaran bagaimana proses securitization hadir. Konstruksi keterancaman ‘dibangun’ ketika gerakan sosial a.k.a gerakan mahasiswa turun di jalanan ibukota dan berbagai kota lainnya untuk menuntut dibatalkannya pengesahan UU KPK serta mengrevisi RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Minerba dan beberapa RUU lainnya. Narasi motif gerakan sipil terus digiring oleh pihak simpatisan presiden terpilih sebagai gerakan yang selayaknya perlu mendapatkan penolakan, kalau perlu dianggap terpapar radikalisme. Salah satu alasan yang dikonstruksikan adalah apabila Presiden Joko Widodo mengintervensi UU KPK dan Rancangan Undang-Undang lainnya seperti pihak DPR akan menggagalkan prosesi pelantikan Presiden dan Wakil Presiden. Saking daruratnya prosesi pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, beberapa pertandingan sepakbola Liga 1 dan Liga 2 harus dipindahkan dengan alasan “lokasi pertandingan harus berada – setidaknya – 5 hari dari ibukota.” Bahkan, beberapa orang melihat prosesi ini layaknya sebuah momentum jelang pendeklarasian perang oleh ‘maop,’ yang tak kelihatan. Lucunya, Prabowo Subianto yang merupakan lawan politik Joko Widodo ternyata diamanatkan untuk menjadi menteri Pertahanan dalam kabinetnya. Hingga saat ini, ‘maop’ yang dikonstruksikan juga tak tampak batang hidungnya sedikitpun.
Di sisi lain, proses de-securitization juga hadir bersamaan. Undang-Undang dan Rancangan Undang-Undang yang jelas menjadi ancaman yang nyata akan iklim demokrasi dan keadilan sosial terus digodok oleh Pemerintah (Eksekutif dan Legislatif) dengan menafikan suara-suara alternatif dari gerakan sipil. Ironisnya lagi, perhatian terhadap beberapa mahasiswa dan pelajar yang menjadi korban dalam upaya menggagalkan tindakan korupsi akan agenda tersebut semakin digiring keluar dari memori masyarakat yang punya kapasitas terbatas. Tidak ada yang dihukum atas tindakan tersebut, miris! Atau dengan kata lain, demokrasi, keadilan sosial bahkan nyawa sekalipun terbukti bukan sesuatu yang krusial, yang perlu dilindungi oleh Negara.
Catatan Akhir
Dengan menggunakan lensa security studies terutama berkaitan dengan konsep securitization dan de-securitization, fenomena politik yang berlaku belakangan ini menyiratkan Indonesia masih menempatkan konteks ketahanan negara (state security) pada posisi high politics, sedangkan ketahanan manusia (human security) pada level low politics. Bahkan tidak berlebihan pula, menyebutkan bahwa masyarakat – sebagai warga negara – merupakan objek atas narasi sekuritisasi dan de-sekuritisasi yang dikonstruksikan oleh Negara, elit ataupun berbagai invisible hands. Anehnya pula, sebagian masyarakat merasa sadar, tapi bahagia!
Danil Akbar Taqwadin, MSc.
Manajer Publikasi Aceh Institute & Dosen Ilmu Politik, FISIP UINAR.
Email: [email protected]