Oleh Jamaluddin, SE, MM
Rakyat Aceh memulai perlawanan terhadap negara pada 4 Desember 1976-2019. Adalah hari bersejarah bagi kami mantan kombatan Gerakan Aceh Mardeka (GAM). Kami taat dan patuh kepada pimpinan kami, sertasetia dengan keputusan pimpinan. Saat kami dididik untuk berperang, kami juga diperintahkan untuk berdamai. Kami menjalankan dan menaruh harapan untuk masa depan dalam kesepakatan damai menuju Aceh yang berdaulat dalam budaya, agama, ekonomi, dan lain-lain demi tercapainya cita-cita bangsa.
Dalam kesepakatan damai itu lahir satu kesepakatan, di dalamnya terdapat poin kedaulatan dan kekhususan Aceh. Sekarang Aceh menyandang gelar istimewa dan menjadi wilayah otonomi khusus dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam hal keistimewaan, Aceh memiliki gelar yang berbeda dengan daerah lain yang ada di Indonesia. Aceh mendapat gelar Pemerintah Aceh, dengan keistimewaan adanya Lembaga Wali Nanggroe, ada pula Badan Reintegrasi Aceh yang menjadi tumpuan harapan mantan kombatan, tahanan politik, narapidana politik, dan korban konflik.
Badan tersebut sudah berumur 14 tahun. Ibarat manusia, dia sudah beranjak dewasa. Kami sebagai kombatan belum mendapat sepenuhnya hak-hak kami yang tertuang dalam nota kesepahaman tersebut.
Di hari yang bersejarah ini, kami banyak berharap kepada Badan Reintegrasi Aceh untuk menuntaskan perintah MoU Helsinki khususnya terkait pemenuhan hak-hak mantan kombatan.
Negara pada 15 Agustus 2005 hanya memusnahkan peralatan perang (senjata) para kombatan gerilyawan GAM. Sama-sama kita pahami, bahwa pemusnahan itu bukanlah akhir perlawanan terhadap sebuah negara tetapi hanya jeda.
Dengan ini saya meminta kepada pimpinan GAM dan Pemerintah Republik Indonesia yang terlibat dalam kesepakatan damai tersebut, sesegera mungkin poin-poin kesepakatan itu dituangkan dalam amandemen UU Negara Republik Indonesia, agar rakyat dan mantan kombatan melihat keseriusan para pihak dalam bertanggung jawab hingga implementasinya.[]
Mantan kombatan Gerakan Aceh Mardeka Wilayah Aceh Rayeuk dan dosen tetap Univ Teknologi Nusantara
Editor : Ihan Nurdin