Surliyadin, pemuda kelahiran Banda Aceh 19 Agustus 1990 itu, kini menjadi salah satu pebasket andal yang dimiliki Indonesia. Lelaki yang beralamat di Gampong Punge Jurong, Kecamatan Meraxa, Kota Banda Aceh tersebut, bersama timnya mampu membawa Indonesia meraih medali perak di ajang Sea Games XXX yang diselenggarakann di Filipina.
Lelaki dengan tinggi badan 187 cm dengan berat 78 kg tersebut sudah memiliki bakat pebasket sejak ia msih duduk di bangku SMA. Waktu itu, Surliyadin atau yang akrab disapa Iton tergabung dalam klub Panglima Polem Banda Aceh. Kemudian lanjut ke klub Pimnad Aceh sampai menjadi Rookie pemain profesional Liga bBasket Indonesia bersama Garuda Bandung di tahun 2013.
Alumnus Magister Universitas Widyatama Bandung itu memiliki semangat juang tinggi dalam meniti karier sebagai pebasket profesional di tanah air. Olahraga basket sendiri sudah menjadi jiwa bagi dirinya, meskipun awalnya, Iton sempat menyukai olahraga volly.
Perjalanan Iton untuk bisa menjadi salah seorang pebasket 3×3 yang mewakili Indonesia tidaklah mudah. Sebab, ia terlebih dulu harus melewati proses seleksi nasional yang amat panjang, mulai dari salah satu dari 15 pemain yang dipanggil, sisa 8, 6, sampai pada akhrinya terpilih dalam 4 besar yang mewakili Indonesia putra basket 3×3 di Sea Games XXX Filipina.
“Alhamdulillah kita bisa memberikan medali perak untuk Indonesia dari Timnas 3×3 Putra basket. Kita bangga bisa ada dalam sejarah ini, karena pertama kali dalam sejarah basket 3×3 Indonesia mendapatkan medali perak setelah semifinal mengalahkan Vietnam yang pemainnya bermain di Asian Basketball League. Meskipun di final kalah dengan Filipina yang pemainnya naturalisasi US,” ungkap Iton kepada aceHTrend, Selasa (3/12/2019).
Menurut Iton, hadirnya kesuksesan tidak terlepas dari giat belajar, kerja keras, kompetitif, dan tidak pernah ada kata kalah. Tentu, katanya, semua itu memerlukan pengorbanan dan mencintai profesi yang digelutinya.
“Bagi saya perjuangan dan pengorbanan itu saat ninggalin anak dan istri selama berlangsungnya TC seleknas. Jadi kita harus berpisah dalam beberapa waktu,” ujarnya.
Di balik kesuksesan Iton sebagai pebasket, putra berdarah Aceh itu ternyata memiliki perjalanan kisah hidup yang amat pahit kala terjadinya musibah gampa dan tsunami Aceh pada tahun 2004 silam. Saat itu, lelaki berkulit putih tersebut masih duduk di bangku SMP.
“Waktu kejadian itu kan hari Minggu, jadi semua pada kumpul termasuk kakak saya yang lagi hamil dengan suaminya juga ikut ngumpul di rumah. Tidak lama kemudian terjadi gempa, beberapa saat kemudian orang-orang mulai teriak bahwa ada air. Kakak saya kemudian pergi pastiin ada apa, ternyata orang-orang berlarian satu arah sambil teriak air laut sudah naik,” kenangnya.
Saat itu, Iton kecil bersama kakaknya mulai lari menjauhi air laut yang sudah mulai naik ke darat. Dalam pelarian itu, kakak kandungnya harus berhenti di tengah jalan sebab kondisinya yang sedang hamil. Kemudian, kakaknya tersebut harus digendong olah sang ayah dan suaminya.
“Waktu itu kita semaunya lari sampai ke persimpangan, namun kita terpisah di sana, sementara air datang sangat cepat dan langsung memenuhi daerah sekitar, kemudian saya berusaha naik ke pagar, tetapi pagar itu kemudian roboh dan akhirnya tenggelam dan mulai tidak sadarkan diri,” jelas Iton.
Saat itu, kepala pebasket tersebut sempat terbentur dengan tembok hingga membuatnya tidak sadar diri. Setelah itu, ia berusaha menaiki pabrik jamu demi menyelamatkan diri. Sesampai di atas, ia bertemu dengan paman dan kakak lelakinya Andriansyah.
“Waktu itu kami belum tau bagaimana kondisi keluarga yang lain. Setelah itu saya bersama paman dan kakak pergi ke rumah keluarga yang ada di dataran tinggi, mereka bahkan tidak tahu kalau ada tsunami. Kita akhirnya menginap di sana. Besoknya ayah datang bersama kakak saya yang lagi hamil, Kak Tina Julia beserta suaminya, Bang Yusrizal beserta saudara saya yang lainnya,” kisahnya.
Meski semua sudah berkumpul, namun ada sesosok perempuan yang belum terlihat di mata Iton, yaitu ibunda tercinta. Dalam keadaan panik, ia bersama keluarga terus menanti kedatangannya, meski pada akhirnya sosok perempuan hebat tersebut juga tidak kunjung datang.
“Waktu itu kita tunggu mama, ternyata mama tidak datang-datang, kemudian ayah sama yang lainnya melakukan pencarian di semua posko, namun mama juga tidak ditemukan. Saat itu kita juga dapat kabar kalau di lokasi rumah ada ditemukannya delapan mayat, tetapi pas kita ke sana sudah diambil sama petugas. Kita terus berusaha cari mama, namun belum ada hasil. Akhirnya, kita mengiklaskan mama, yang terpenting kami terus mendoakan beliau,” kenang Iton.
Atas keberhasilannya sebagai pebasket, Iton terus berusaha menjadi anak yang baik dan menjadi kebanggaan bagi orang tua, serta menjadi sosok suami serta ayah terhebat bagi anaknya.
“Kalau mama masih ada saya mau tunjukin ke beliau kalau saya sudah seperti ini, sudah main basket. Dari dulu saya bercita-cita pingin kali ngebanggain orang tua, terutama mama. Tapi enggak apa-apa, sekarang jalanin aja yang terpenting doa selalu untuk mama,” pungkas Iton.[]
Editor : Ihan Nurdin