Oleh Maria Karsia, MA
Membaca artikel Tempo.com berjudul https://nasional.tempo.co/read/1328220/bnpb-blak-blakan-data-kasus-positif-covid-19-tidak-sesuai, membuat saya mengingat satu contoh, apa yang diakui oleh jubir BNPB di artikel tersebut yang berkaitan dengan ketidaksesuaian data yang terjadi antara nasional dan provinsi beberapa waktu lalu. Saya hanya menyoroti 1 provinsi saja, yaitu data covid Provinsi Aceh. Per tanggal 5 April 2020 data sudah sesuai antara provinsi dan nasional, tapi adalah sebuah fakta bahwa data sempat lebih dari 1 minggu, dengan 3 kali konferensi pers media oleh jubir nasional covid berturut-turut sejak antara tanggal 26 sampai 1 April, data antara provinsi Aceh dan nasional tidak sesuai. Propinsi sudah melaporkan di website-nya ada yang meninggal positif Covid19, tapi di Nasional masih tertulis nol, sampai tanggal 1 April. Setidaknya itu yang saya perhatikan.
Di Aceh Pasien Dalam Pengawasan (PDP) kumulatif sudah berjumlah 7 pasien sampai tanggal 5 April 2020. 3 pasien di antaranya sudah meninggal dunia (berdasarkan kutipan dari sumber media online lokal yang mengutip jubir propinsi COVID19 Aceh) per tanggal 29 maret. Dari 3 PDP tersebut PDP yang pertama hasil lab dari litbangkes keluar pada 26 Maret (yang bersangkutan meninggal di 23 Maret) . Perlu diketahui, hasil swab-nya harus dibawa ke Jakarta, ditest di salah satu lab, dan perlu waktu 3 hari, hasil baru diperoleh.Lalu yang meninggal PDP ke 2, diperoleh hasil negatif beberapa hari kemudian. Namun, angka kematian PDP di provinsi yang sudah diumumkan resmi karena covid 19, korban dari Provinsi Aceh setidaknya sampai tgl 1 April tertulis nol di Nasional . Ini membuktikan kebenaran keluhan dari pihak BNPB. Jadi dapat dikatakan data nasional tersebut tidak sesuai dengan realitas di lapangan.
Saya mencoba titip pertanyaan ke wartawan di Aceh, dan menurut teman tersebut data provinsi sudah benar, di-update setiap real time. Persoalannya, mengapa di nasional tidak di-update? Itulah yang jadi pertanyaan . Bisa jadi, kasus seperti di Provinsi Aceh terjadi di provinsi lain juga. Walaupun orang awam, saya pikir ini masalah mendasar dan bisa jadi masalah besar.
Dulu teman diplomat saya pernah mengeluh soal angka kematian TKI di Arab Saudi. Katanya, 1 nyawa itu sangatlah berharga, tapi ketika sudah jadi 20,30, 100, dan seterusnya, maka saat itulah empati banyak orang kadang hilang, bahkan media sering kali menganggap itu hanyalah deretan angka statistik dan itu membuat melorot spirit orang di garda depan seperti dia untuk selalu ingat, 1 atau 20 atau berapapun, mereka adalah warga negara yang harus diperjuangkan nasibnya.
Saya pikir, itulah kurang lebih yang terjadi dengan kasus covid di Indonesia. Kebanyakan dari kita hanya menghitung setiap hari, sudah berapa yang korban, berapa PDP, berapa ODP dan jumlah kematian positif Covid19. Wabil khusus untuk Aceh seperti yang saya contohkan, bahkan 1 nyawapun bisa tidak dihitung, tidak dianggap sementara waktu. Dibutuhkan waktu lebih dari seminggu untuk menyelaraskan data tersebut seperti yang terlihat sekarang. Kenapa bisa hal ini terjadi? Apakah ini kelalaian dari pihak terkait yang mengurus soal data, di mana salahnya? Provinsi yang lalai melaporkan? Apakah ada maksud tertentu menyembunyikan kematian positif karena covid dari Aceh, sampai begitu lambatnya data tersebut di-update?
Mengapa saya risau dengan hal ini? Karena data dari PDP yang meninggal dan positif ini teramat penting. Menurut pengalaman di negara – negara lain yang telah terpapar virus ini, data itu dapat menentukan asal cluster penularan atau fungsi trace ( penelusuran), untuk menentukan tindakan yang harus dilakukan berikutnya. Lalu apa yang ditelusuri jika datanya tak di-update? Bagaimana aparat di tingkat nasional bisa memberikan arahan secara akurat tentang tindakan yang harus diprioritaskan kepada dinas provinsi, jika mereka tak tahu bahwa data itu ada. Bisa diasumsikan juga kemungkinan tak ada pengawasan terhadap progress dari kasus cluster PDP ke 1 tersebut dari nasional kepada pihak terkait di propinsi.
Padahal dengan mengetahui riwayat pasien PDP yang telah wafat positif corona, daerah dan nasional bisa bersinergi menetapkan tindakan apa yang selanjutnya yang harus dilakukan oleh tim di lapangan. Seberapa cepat penularan terjadi karena cluster tersebut. Berapa orang yang kemungkinan dapat terkena karena cluster tersebut. Semua bisa dimonitor dan dikomunikasikan antara provinsi dan nasional, khususnya informasi ini sampai kepada pihak yang berkepentingan seperti BNPB yang ditunjuk mengkomandoi gugus tugas tersebut.
Satu pertanyaan lain, apakah tidak adanya data tersebut sekedar masalah kelalaian pencatatan belaka? Jika ya, harus segera diperbaiki. Provinsi harus aktif mengingatkan.
Semoga kelalaian data dalam kasus Covid19 ini hanya terjadi di 1 provinsi seperti yang saya contohkan. Dengan diperbaikinya data itu sekarang, pusat dan daerah sudah bisa bekerjasama bahu-membahu bertindak. Data itu bukan untuk sekedar menghitung angka kematian, karena tugas yang teramat penting ke depan adalah bagaimana gugus tugas covid19 di provinsi dan nasional dapat menyelamatkan sebanyak-banyaknya nyawa dengan menggunakan data yang akurat dari PDP yang telah wafat dan positif karena covid19. Kita tak ingin membuat kerja para dokter, para nakes yang berjuang menyelamatkan nyawa di RS sebagai garda terdepan menjadi sia-sia.
Potensi kemungkinan wilayah-wilayah yang akan tertular datanya bisa di-assest dari asal PDP dan juga ODP tentunya, juga bisa memikirkan tindakan pencegahan dengan lebih menggiatkan, penegakan kepatuhan masyarakat untuk menjaga social distancing. Menggenggam data yang akurat, bisa dilanjutkan dengan persiapan untuk antisipasi potensi rawan penularan di wilayah tertentu. Di wilayah tempat tinggal PDP yang sudah meninggal dan persiapan melakukan rapid test, lewat penelusuran dan tes, bisa dilanjutkan dengan treat (tindakan) yang tepat untuk mengatasi di lapangan. Upaya itu tentu saja harus terintegrasi sejak dari aparat kampung seperti keuchik-keuchik di Aceh, aparat di kecamatan, di Kabupaten, di kota dengan aparat di tingkat nasional.
Perlakuan data secara detail akan sangat berpengaruh terhadap kecepatan, kesiapan dan kesigapan aparat di lapangan. Skala prioritaspun dapat dikerjakan jika datanya akurat. Contoh yang baik, sebetulnya bisa dilihat dari Provinsi Jawa Barat, dengan penelusuran cluster penyebaran Covid19, provinsi tersebut dapat menyegerakan rapid test. Dari situ terdeteksi, bahwa cluster Sukabumi adalah terbesar yang berpotensi penularannya.
Untuk negara, kita bisa lihat cara Korea Selatan yang dapat melakukan pencegahan dan pengobatan disebabkan tracing movement dari orang-orang PDP dilakukan dengan teliti. Berdasarkan itu juga rapid test dapat dimulai diprioritaskan mulai di wilayah yang terkena paling parah. Dengan data yang akurat itu juga maka mereka bisa melakukan tindakan-tindakan treatment yang diperlukan secara tepat dan efisien. Mungkin itu salah satu sebabnya Korea Selatan tidak perlu melakukan lock down negaranya.
Saya masih berharap Indonesia bisa terus meningkatkan kerja bersinergi antara daerah dan pusat, terutama dalam hal perlakuan data. Semoga ke depan, tidak terjadi lagi ketidakselarasan data antara provinsi dan nasional. Memang masih banyak faktor kendala di lapangan, seperti masih banyaknya masyarakat bahkan aparat yang melanggar penerapan social distancing, namun dengan melakukan kerja berdasarkan data terukur, dan keterlibatan semua pihak dari mulai aparat desa sampai pejabat di tingkatan nasional, serta masyarakat, bisa membuat kerja gugus nasional lebih terbantu. Suksesnya ikhtiar melawan Covid19 ini juga terletak di situ.
Penulis adalah WNI yang peduli pada isu-isu keadilan sosial.