Oleh Dr. Nazamuddin,SE.,MA.
Kendati belum ada kepastian tentang kapan wabah virus korona atau Covid-19 akan berakhir, prediksi tentang kemerosotan ekonomi sudah mulai dilakukan banyak pihak. Tentu sebagian berpendapat bahwa untuk sementara waktu yang lebih utama adalah kesehatan masyarakat ketimbang kesehatan ekonomi. Itu tak dapat dibantah, namun perencanaan darurat (contingency plan) selalu diperlukan bila asumsi-asumsi tentang kondisi ekonomi berubah secara tak terduga. Wabah virus korona tak dapat dipungkiri memporakporandakan ekonomi, baik pada tingkatan makro maupun mikro.
Kondisi makroekonomi
Revisi target pertumbuhan ekonomi secara nasional telah dilakukan. Indonesia diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 2,3 persen pada tahun 2020, kurang dari separuh dari sasaran awal. Bagaimana dengan Aceh? Ekonomi Aceh pada tahun-tahun belakangan ini tumbuh di bawah pertumbuhan nasional. Dengan asumsi belum adanya lompatan berarti akhir-akhir ini, baik dari sudut investasi maupun ekspor, maka saya memperkirakan ekonomi Aceh hanya tumbuh sekitar 2 persen pada 2020. Dengan konsumsi rumah tangga yang juga diperkirakan akan anjlok minimal hingga pertengahan tahun, maka hanya satu harapan yang dapat menahan kejatuhan lebih lanjut. Harapan itu adalah belanja pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Walaupun anggaran tidak dapat dengan mudah diubah, tapi perubahan alokasi dapat dilakukan. Selama ini peran konsumsi rumah dalam total pengeluaran agregat mencapai 56 persen dan belanja pemerintah 23 persen. Maka, dampak penyebaran virus korona terhadap hilangnya stimulus makroekonomi dari sisi pengeluaran paling tidak disumbangkan lebih separuhnya akibat penurunan konsumsi rumahtangga. Akibat rasa takut dan was-was, rumahtangga biasanya melakukan pembelian untuk stok makanan karena panik, tapi cenderung menunda pembelian barang-barang tahan lama (durable goods). Secara tidak langsung, dua dampak negatif besar kemungkinan akan terjadi. Pertama, terganggunya produksi dan distribusi menyebabkan harga-harga bisa naik, ditambah lagi peningkatan konsumsi selama bulan Ramadhan. Kedua, penghasilan riil turun akibat tergerus oleh inflasi dan hilangnya kesempatan memperoleh pendapatan bagi mereka yang menerima upah harian.
Dengan demikian, harapan diletakkan pada belanja pemerintah. Maka, tidaklah tepat jika proyek-proyek ditunda pelelangan dan pelaksanaan. Justru jika perlu dipercepat agar pekerjaan tercipta dan dampak sosial lebih besar dapat dihindari. Selain itu, belanja pemerintah mesti direalokasikan sebagian untuk menolong kaum yang lemah. Siapa mereka? Mereka adalah kelompok yang paling terpukul akibat penyebaran virus korona, yaitu penduduk miskin, usaha sektor informal, UMKM, dan pekerja tidak tetap dengn upah harian. Di negara-negara maju dikenal ada tunjangan pengangguran. Karena skema seperti itu belum ada, maka contingency plan yang dapat dipikirkan adalah sejenis kompensasi kepada mereka dalam bentuk yang sangat sederhana, cash for work (yang pernah dipraktekkan pascabencana tsunami Aceh), bantuan bersyarat sejenis program keluarga harapan (PKH) atau bantuan langsung tunai. Tentu pelaksanaan harus sangat hati-hati dengan akurasi data penerima dan tata cara penyaluran yang dirancang dengan baik.
Intervensi pemerintah daerah ini tentu bukan bermakna penambahan anggaran, hanya peralihan anggaran dari belanja yang sudah terencana dalam APBA dan APBK ke rencana darurat (contingency plan). Menyelamatkan penduduk rentan yang bukan terdampak langsung oleh penyebaran virus korona sama pentingnya. Seraya pencegahan diintensifkan untuk menghambat penyebaran Covid-19 semakin luas, upaya pertolongan ekonomi sudah harus dilakukan. Save life and save livelihood. Kita belum melihat ada langkah atau wacana ke arah sana, yaitu contingency plan untuk menolong yang rentan. Yang kita sering dengar adalah penambahan alokasi anggaran untuk penangangan orang terdampak langsung Covid-19 dan bahkan menyiapkan lahan kuburan. Ini langkah yang sudah bagus, namun kesengsaraan mereka yang terdampak secara tidak langsung perlu juga dipikirkan.
Kondisi mikroekonomi
Yang jelas rantai persediaan barang terganggu karena mobilitas tidak normal, baik karena kebijakan pembatasan sosial oleh pemerintah maupun karena memang masyarakat sendiri dilingkupi rasa takut. Paling tidak ada dua karakteristik wabah Covid-19 yang membuat begitu banyak ketidakpastian kapan disrupsi ini akan berakhir. Pertama, wabah ini sulit diprediksi kapan mencapai puncak penyebaran dan kapan berakhir. Kedua, seberapa banyak korban (langsung dan tidak langsung) dan di wilayah mana saja. Maka tidak mengherankan jika Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah terkesan gamang dalam penanganan wabah ini.
Bagi pebisnis, khususnya produsen, adalah sangat sulit merencanakan skala produksi karena ketidakpastian permintaan. Bagi pedagang sulit sekali mengelola inventori barang karena kemungkinan risiko kerugian jika menambah stok. Pemutusan hubungan kerja sektor formal agak sulit dan karenanya mempertahankan tenaga kerja berarti mengeluarkan biaya tenaga kerja tanpa produksi atau produksi di bawah normal.
Transportasi dan distribusi barang antar wilayah tidak lancar. Akibatnya masing-masing wilayah sampai batas tertentu terisolasi dan perekonomian wilayah seolah menjadi enklaf-enklaf perekonomian tertutup. Kendatipun ada hikmah di mana produk lokal menjadi substitusi bagi produk dari luar wilayah atau daerah, namun jumlahnya tidak seberapa. Jika wabah Covid-19 berlangsung lama, apalagi penyebaran semakin luas, maka skenario terburuk adalah kelumpuhan ekonomi wilayah. Jika penanganan wabah ini berhasil dan angka-angka temuan penderita baru menurun, maka skenario alternatif adalah produksi dan distribusi secara bertahap akan lancar kembali. Ekspektasi positif memegang peran penting dalam hal ini. Rasa takut berlebihan bahkan membuat kondisi semakin runyam. Adalah tugas aparat pemerintah menimbulkan optimisme bahwa “badai” pasti berlalu. Kegiatan ekonomi rakyat tetap bisa berlangsung apabila anjuran pemerintah tentang menjaga kebersihan dan jaga jarak (physical distancing) dipatuhi. Perilaku masyarakat yang patuh dapat membantu cepatnya wabah berakhir.
Bangkitkan optimisme
Rasanya tidak banyak yang dapat dilakukan untuk membantu kegiatan ekonomi rakyat tetap hidup, selain menimbulkan optimisme dan harapan. Yang penting wabah segera berakhir dan kegiatan ekonomi rakyat berjalan normal. Seringkali tindakan reaktif dibuat, berupa keringanan bunga pinjaman atau relaksasi kredit. Padahal kebijakan reaktif seperti itu sering ada risiko gagal. Ada moral hazard di mana seringkali yang justru perlu dibantu tidak terbantu. Barangkali cukup dengan penjadwalan ulang dengan syarat-syarat tertentu. Kebijakan yang mengutamakan sisi penawaran (supply-side) sering kurang efektif dalam penanganan krisis ekonomi. Yang lebih utama adalah bangkitkan sisi permintaan (demand-side) dengan memberi insentif melalui kompensasi terhadap hilangnya penghasilan bagi penduduk yang terdampak di lapisan bawah, penduduk miskin, pekerja dengan upah harian dan mereka yang kena PHK dan menganggur sementara karena wabah. Bangkitnya permintaan akan secara otomatis menimbulkan ekspektasi dan akhirnya mendorong kebangkitan ekonomi. Tentu ini dengan asumsi wabah segera berada pada garis grafik menurun. Kita mesti menyiapkan suatu kondisi perekonomian pascawabah di mana produksi, distribusi dan konsumsi terhadap barang dan jasa kembali seperti sedia kala. Kita tidak ingin terus memproduksi barang dalam skala besar, tapi barangnya adalah masker, hand-sanitizer, alat pelindung diri dan sejenisnya. Kebijakan atau tindakan yang bersifat myopik (tidak dapat melihat jauh ke depan) hanya untuk jangka pendek. Kita perlu kebijakan dan tindakan untuk menghadapi ekonomi Aceh yang hanya tumbuh 2 persen dan angka kemiskinan semakin parah. Ini akan berdampak besar bagi kesejahteraan ekonomi dan sosial jangka panjang. Selamatkan kehidupan (life) dan juga jangan lupa selamatkan penghidupan (livelihood).
Penulis adalah pengajar di Fakultas Ekonomi, Universitas Syiah Kuala.