ACEHTREND.COM,Banda Aceh- Sabtu (4/4/2020) Pemerintah Aceh mencabut penerapan jam malam yang sudah diterapkan nyaris sepekan sebelumnya. Pencabutan ini menurut pemerintah buah dari penolakan publik, karena dinilai sebagai keputusan yang keliru, karena diterapkan mendadak dan tanpa aksi pengaman sosial.
Benar, sejak pemberlakukan jam malam sejak Minggu (29/3/2020) mulai pukul 20.30 hingga 05.30 WIB, banyak pihak yang mengeluh. Termasuk pedagang kaki lima yang berdampak langsung atas pemberlakukan jam malam yang menurut mereka serba mendadak. “Tanpa sosialiasi, tiba-tiba aparat datang dan meminta kami menutup dagangan,” kata salah seorang pedagang beberapa waktu lalu.
Pencabutan jam malam disambut gempita oleh rakyat Aceh di 23 kabupaten dan kota. Jalanan segera penuh dengan kendaraan. Warung kopi dan pusat jajajan ramai dijejali warga. Seruan agar tetap menjaga jarak (social distancing) dianggap angin lalu. Bahkan, para pemilik warung, menyediakan meja dan kursi seperti sebelum covid-19 hadir si Aceh. Para pedagang juga tidak menggunakan masker, konon lagi menyemprot meja dan kursi dengan disinfektan secara rutin. Cairan pencuci tangan saja tidak disediakan. Pencabutan jam malam seakan-akan diterjemahkan sebagai pamitnya corona dari Aceh.
Dewi (32) ibu rumah tangga di Banda Aceh mengatakan sejauh apa yang ia saksikan, pembatasan sosial sepertinya belum menjadi kesadaran publik secara keseluruhan. Pasar rakyat di Peunayong masih tetap seperti biasa. Padat dan kumuh. Sangat jarang pedagang menggunakan masker. Demikian juga di tempat lain.
Di warung kopi, warung bakso dan pusat jajanan lainnya, perilaku pedagang dan pembeli sama saja. Setali tiga uang. Abai akan ancaman covid-19. “Seharusnya jumlah meja dan kursi dikurangi hingga 50%. Agar secara alamiah social distancing terjadi. Tapi, itu tidak dilakukan. Pemerintah pun terkesan tidak tegas dengan perilaku pedagang besar yang demikian,” ujar Dewi kepada aceHTrend, dua hari lalu.
Adalah dokter Razak, seorang tenaga medis di RS Muyang Kute, Bener Meriah, yang ngeri melihat kondisi Aceh saat ini. Dia menilai bahwa rakyat Aceh benar-benar abai pada ancaman covid-19. Padahal wabah tersebut sudah sangat banyak merenggut nyawa manusia dalam waktu yang begitu cepat.
“Saya lama belajar tentang virus. Sejak kemunculan di Wuhan saya sudah sampaikan bila ini [corona] akan menjadi pandemic. Tapi saya tidak membayangkan separah ini,” ujar Razak kepada aceHTrend, Kamis (9/4/2020).
Kepada aceHTrend, Razak mengatakan rakyat Aceh harus memahami bahwa covid-19 adalah virus yang ganas. Fasilitas kesehatan di Aceh dan tenaga kesehatan, tidak memadai bila pandemic ini menyerang secara brutal.
Razak termasuk orang yang menyesalkan mengapa Pemerintah Aceh mencabut pemberlakukan jam malam. Sebagai tenaga kesehatan ia menilai jam malam merupakan salah satu alternatif penting untuk memangkas penularan covid-19. Pun demikian, dia tidak membantah bila penerapan jam malam harus diikuti oleh pelaksanaan tanggung jawab lainnya oleh pemerintah.
“Tapi kan nasi sudah jadi bubur. Semuanya sudah terjadi. Saya hanya berharap Pemerintah Aceh segera menerapkan social distancing yang lebih ketat. Ini satu-satunya cara sebelum semuanya terlambat.”
Razak juga menyarankan agar jalur transportasi dari dan ke Sumatera Utara, ditutup untuk umum. Hanya transportasi logistik yang diperbolehkan masuk dan keluar. Itupun dengan pemeriksaan yang ketat. “Medan sudah masuk red zone. Pemerintah Aceh harus melihat itu sebagai shelter berbahaya dan harus diisolasi. Warga Aceh atas alasan apapun, sementara waktu jangan ke Medan. Di sana wabah itu sedang mengganas,” kata Razak.
Menurut Razak, Pemerintah Aceh harus tegas menerapkan aturan. Menutup akses masuk, penyediaan pusat karantina serta pembatasan sosial besar-besaran harus dilakukan dengan sangat serius. Semua pihak dia imbau bersatu padu. Jadikan covid-19 sebagai persoalan bersama. Bukan kepentingan satu dua orang saja.
“Ini memang tidak mudah. Tapi kita semua harus menyadari bila covid-19 ini, bila tidak ditangani dengan serius, akan berdampak jangka panjang. Kerusakannya bukan hanya pada sektor kesehatan, tapi juga ekonomi, SDM dan ujungnya stabilitas politik dan keamanan,” kata dokter yang gemar membaca ragam genre buku.
“Sebelum kita menangis atas duka yang sebenarnya bisa kita cegah, marilah secara bersama-sama kita cegah ancaman petaka. Covid-19 sudah memporak-porandakan Italia dan kini Amerika. Kurang apa mereka dari segi fasilitas kesehatan? Tapi apa yang terjadi hari ini? Mereka hancur. Itu karena awalnya menganggap remeh,” katanya.
Di ujung wawancaranya, dr. Razak mengimbau agar siapapun tetap pakai masker setiap keluar rumah.
Kemudian, keluar rumah seperlunya, seperti beli sembako, berobat, dan keperluan mendesak lainnya. Belanja pada warung yang tidak terlalu ramai pembeli.
Selalu cuci tangan pakai sabun.
“Juga hindari nongkrong di warkop, sebaiknya beli kopi atau makanan lain untuk take away. Para pedagang pun wajib pakai masker.”
Amanat Wali Nanggroe
Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Aceh, Teungku Malik Mahmud Al-Haythar, dalam rilis Lembaga Wali Nanggroe yang diterima aceHTrend, Jumat (10/4/2020) memgimbau semua pihak bersatu padu dalam upaya membantu Aceh keluar dari serangan wabah covid-19. Salah satu yang dipesankan Wali Nanggroe adalah, agar dalam tiap penyelenggaraan sosialiasi pencegahan covid-19, Pemerintah Aceh melibatkan ulama dan tokoh masyarakat.
Malik Mahmud berharap re-alokasi APBA yang akan digunakan untuk penanganan dampak dari kebijakan yang telah dan akan diambil oleh Pemerintah Aceh, digunakan untuk penanganan kebutuhan pokok bagi masyarakat kurang mampu di seluruh gampong yang ada dalam di Aceh. Tujuannya agar kebutuhan utama pangan masyarakat dapat terpenuhi secara baik. Tidak terdengar di Aceh ada rakyat yang kelaparan akibat dari kebijakan Pemerintah dalam penanganan Covid-19.
“Dalam hal ini memastikan agar setiap gampong dapat memenuhi kebutuhan warganya yang kurang mampu, baik karena keterbatasan mata pencahariannya, maupun keterbatasan secara fisiknya,” imbau Paduka.
Kepada pimpinan partai politik yang telah menempatkan perwakilannya di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Wali meminta agar mencari solusi yang menguntungkan bagi semua pihak dalam penyusunan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) DPRA, supaya dapat segera bekerja guna memastikan Hak-hak Rakyat dapat terpenuhi.
“Saya percaya Plt Gubernur Aceh sebagai pembina politik di daerah maupun sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah, dapat menyelesaikan permasalahan ini secara baik dan berkomitmen. Situasi dan kondisi menghadapi musibah ini, distrus (ketidak saling percayaan) di masa lalu di antara partai politik yang ada, agar dapat dikesampingkan guna secara kompak dan bahu membahu melindungi dan menolong rakyat Aceh yang sama kita cintai ini.
Kekuasaan dan otoritas politik maupun sosial hendaknya tidak digunakan menafikan kehendak Allah SWT dalam suasana musibah saat ini,” kata Paduka.
Wali melanjutkan, komitmen-komitmen baru perlu segera dihadirkan guna penyelesaian permasalahan ini. Aturan-aturan baru yang menguntungkan semua pihak harus dapat dicarikan mekanismenya, jangan sampai aturan yang dibuat malah berpotensi mengekang kebebasan/kemampuan manusia itu sendiri, karena rakyat membutuhkan kemampuan wakilnya untuk berkerja dan berkarya demi kesejahteraan bersama.[]