Oleh H. Nazaruddin Ibrahim.SH.,MIPS.
Alhamdulillah, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Aceh menyatakan “Pasien Dalam Pengawasan (PDP) terdampak virus corona terakhir yang dirawat di Rumah Sakit Zainal Abidin dinyatakan negatif (sembuh) dari Covid-19”. Berita baik tersebut membuat Aceh merupakan daerah pertama di Indonesia yang berhasil keluar dari corona attack menjadi zero Covid-19 Pasien.
Dapatkah berita baik ini menjadi momentum yang menyatukan energi keacehan? Bukan hanya melawan virus corona, tapi juga kemiskinan, korupsi, narkotika dan menjadikan Aceh sebagai pemimpin di gerbang Selat Malaka dan Samudera Pasifik?
Pandemi corona, yang pertama sekali bermula dari Wuhan dan dengan cepat menyebar ke seluruh dunia sampai saat ini berdasarkan data dari World Health Organisation (WHO) jumlah penderita mencapai 1.856.800 pasien, kematian 114.312 dan yang sembuh 428.275 orang telah menyebabkan bukan hanya krisis kesehatan, tapi juga kemanusian dan menuju krisis ekonomi global.
Ilmu pengetahuan telah menyediakan berbagai fakta dan rekomendasi apa itu corona, bagaimana mencegah penularannya, membuat obat untuk penyembuhannya. Sedangkan agama telah memberi kita keyakinan, kepercayaan diri, pedoman dan menyiapkan bahan-bahan dan opsi-opsi bagi pemimpin dunia dan Aceh [untuk] mengambil kebijakan-kebijakan strategis, komprehensif, integral, inklusif, fokus dan berkelanjutan dalam melawan dan mengakhiri corona.
Aceh, secara geografis letaknya sangat strategis secara ekonomi dan geo-politik global, karena berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik dan Selat Malaka. Namun merupakan daerah yang sangat rentan terhadap penularan corona dari luar negeri baik dari Malaysia, Thailand, Singapura maupun India, dan dari red zone dalam negeri, Medan (Sumatera Utara) dan Jakarta.
Sampai saat ini tidak ada satu orangpun yang dapat memastikan kapan akan berakhirnya wabah ini dan bagaimana tatanan dunia setelah wabah ini berakhir. Pemimpin di berbagai belahan dunia telah membuat berbagai kebijakan terbaik bagi negerinya berdasarkan ilmu pengetahuan dan agama (keyakinan) bukan hanya untuk menemukan solusi dan mengakhiri wabah corona secepatnya tapi juga meletakkan dasar untuk berperan dalam tatanan dunia baru setelah wabah corona berlalu.
Momentum sembuhnya pasien covid-19 terakhir di Rumah Sakit Zainal Abidin dapat dijadikan momentum oleh Pemerintah Aceh untuk membangun trust building dan togetherness rakyat kepada Pemerintah Aceh (Pemerintah) antara lain: Mengelorakan semangat keacehan, kegotong-royongan dan sinergi dengan melibatkan kelompok-kelompok masyarakat, tokoh adat, seniman, perempuan, perguruan tinggi dan ulama untuk memastikan pencegahan dan pembatasan penularan Covid-19 melalui social distancing dan physical distancing dapat berjalan secara efektif, efisien dan penuh kegembiraan.
Sudah saatnya, berlimpahnya dana Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) Rp.17 trilyun lebih menjadi rahmat dan kemashlahatan bagi seluruh Rakyat Aceh. Refocusing anggaran untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp. 2.347.927.821.098 Rupiah yang difokuskan untuk sektor jaring pengaman sosial, kesehatan, dukungan industri dan UMKM dan pemulihan ekonomi. Penggunaanya tepat sasaran, tepat waktu, tepat guna yang dikelola secara transparan dan akuntabel dengan melibatkan partisipasi publik sehingga membangun kepercayaan bersama dan meminimalisir bertambahnya kemiskinan serta para koruptor.
Menyiapkan imunitas masyarakat tinggi, dengan membagi paket sembako gratis dan sembako murah berisikan makanan sehat terutama dari unsur tetumbuhan seperti beras, ubi, jagung, kentang, wortel, sayur dan buah tahan lama, kacang hijau dan kacang-kacangan, juga telur, daging dan ikan. Aceh butuh masyarakat imunitas tinggi bukan masyarakat Kaleng-Kaleng untuk menghadapi corona, paket sembako dari makanan kaleng dan mie instan akan menjadikan nasyarakat imunitas rendah.
Saatnya, dana Aceh yang berlimpah beredar di Aceh dan dinikmati oleh Rakyat Aceh dengan melibatkan UMKM, BUMG, BUMD, Koperasi dan pengusaha Aceh dalam rantai produksi, distribusi dan pasar dimulai pada masa penanganan wabah yang merupakan bagian road map dari strategi melahirkan borjuasi-borjuasi Aceh pasca wabah untuk berkriprah di regional, nasional dan internasional.
Menyiapkan infrastruktur gedung untuk penampungan baik tenaga kesehatan dan pendukung maupun orang Dalam Pengawasan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang bersifat revitalisasi, mix-used dan berkelanjutan. Gedung-gedung tersebut tidak terbengkalai dan dapat dipergunakan setelah wabah berakhir untuk kegunaan yang lain.
Sudah saatnya Aceh membangun laboratorium dan pabrik farmasi sendiri untuk memproduksi berbagai macam obat dengan berbagai macam bahan yang telah disediakan oleh alam secara berlimpah, sehingga ke depan Aceh bukan hanya menjadi penonton dan konsumen, tapi juga produsen utama obat-obatan dan alat-alat kesehatan untuk kebutuhan dunia.
Mendayagunakan anak-anak muda dan tenaga kerja yang berlimpah termasuk tenaga kerja Indonesia (TKI) dan tenaga kerja wanita (TKW) yang harus kembali ke Aceh karena wabah corona dengan program-program yang menantang, kreatif dan revolusioner seperti industri pariwisata, bisnis digital, agri bisnis dll. Sehingga mereka tidak pergi keluar negeri lagi atau jatuh dalam pelukan bandar-bandar narkotika baik sebagai pemakai, kurir atau re-seller.
Menjadikan Aceh sebagai lumbung pangan Nasional dengan lokomotifnya, dayah, organisasi petani, nelayan dan desa, serta memastikan produk yang dikeluarkan dari hasil pertanian bukan dalam bentuk raw material tetapi dalam berbagai macam barang olahan seperti padi hanya boleh keluar dari Aceh setidak-tidaknya dalam bentuk beras, tepung, demikian juga dengan komoditas lainnya seperti kentang, jagung, kedelai dll.
Terakhir, ulama, akademisi, pengusaha, umara dan seluruh kelompok masyarakat harus duduk bersama, merumuskan kesepakatan bersama wajah dan masa depan Aceh pasca corona yang humanis, sejahtera, toleran, zero korupsi, kemiskinan dan bebas narkotika.
Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik, alumni Michigan State University.
Komentar