Oleh Rahmad, S.Sos, MAP
Tiga bulan sudah covid-19 melanda Indonesia. Telah melumpuhkan banyak hal, khususnya ekonomi rakyat di akar ruput. Tidak terkecuali di Aceh. Hanya saja, di sini respon pemerintahnya lumayan lamban. Pemerintah Aceh sibuk dengan menerbitkan Surat Edaran, yang kemudian akibat pemberlakukannya nyaris menghadirkan horor di tengah-tengah masyarakat non PNS.
Hal ini tentu wajar saja, imbauan stay at home dalam rangka memberatas penyebaran covid-19 tidak konsisten dijalankan. Surat Edaran, imbauan dan sebagainya kerap hanya berlaku kepada rakyat. Pemerintah seperti lazimnya psikologi pemimpin di daerah korup, petantang petenteng atas aturan yang dibuatnya sendiri. Di tengah imbauan larangan ke luar negeri dan keluar daerah, pejabat di Aceh tetap rutin bepergian. Padahal, bila ditelisik, kunjungan-kunjungan itu bila pun tak dihadiri, tidak mengapa.
Seperti kata pepatah, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Kelakukan rakyat kerap merupakan manivestasi dari kelakukan pemimpin. Bila pemimpin tidak mampu memberikan contoh yang baik, rakyat akan membangkang. Ini terlihat di Aceh. Karena teknik penerapan aturan tidak berjalan seperti harapan, maka rakyat justru melihat Pemerintah Aceh sebatas pihak yang menghabiskan anggaran, serta gerakannya sangat lamban.
Dalam tiga hari ini Pemerintah Aceh mengumumkan bahwa semua PDP sembuh. Artinya tren penangangan covid-19 telah menujukkan hasil. Tapi, sembuhnya PDP bukan jaminan corona sudah pergi dari Aceh. Rakyat Aceh yang masuk dalam daftar ODP justru meningkat. Ini semacam fenomena gunung es. Terlihat hanya sebagian kecil dari timbunan sesungguhnya.
Pembagian sembako seperti yang dilakukan tempo hari oleh Pemerintah Aceh, walau harus kita berikan apresiasi, tapi bukanlah pola penangangan masalah yang sesuai dengan kondisi sesungguhnya. Pembagian sembako dari pemerintah justru tidak akan mampu menjawab persoalan rakyat yang tanpa di-lockdown pun sudah ter-lockdown secara ekonomi. Sumber-sumber mata pencaharian mereka sudah hilang. Rata-rata dialami oleh mereka yang bekerja di sektor informal dan pegawai swasta, tak terkecuali awak media.
Jumlah Kepala Keluarga yang mendapatkan bantuan Pemerintah Aceh pun, bagian terkecil dari kelompok masyarakat yang terjerembab ekonominya karena corona. Bila bantuan pemerintah tetap dengan angka itu, maka ke depan, masalah di Aceh akan semakin komplek. Hidup satu mati seribu. Karena corona bukan saja membantai orang miskin, tapi membantai semua kelompok pekerjaan yang bukan PNS. Ketika industri tutup, semua yang berkaitan dengan itu akan terputus rantai ekonominya. Kelompok menengah yang awalnya hidup dari wiraswasta, adalah kelompok yang secara nyata langsung terdampak. Sayangnya, di dalam data pemerintah mereka tidak terdaftar sebagai warga miskin, bahkan tidak juga sebagai warga miskin baru. Apalagi bila rujukan kemiskinan hanyalah pada kondisi tempat tinggal. Rata-rata kelas menengah menyewa rumah di kota, atau yang baru menikah, masih tinggal bersama orangtua. Mereka itu tidak terlihat tak berpunya. Tapi sesungguhnya mereka kelompok yang langsung terimbas.
Saya kira Pemerintah Aceh, dengan berbagai kekhususan dan keistimewaan yang dimiliki, harus berani melakukan gebrakan. Pemerintah Aceh yang dikomandoi oleh seorang gubernur, bukan sekadar pemerintah propinsi, tapi juga pemerintah khusus yang bisa membangun negosiasi dengan Pemerintah Pusat. Bila Papua bisa melakukan yang luar biasa, mengapa pula Pemerintah Aceh tidak bisa?
Aceh berlimpah dana. Kali ini dana otsus yang sangat besar itu mengapa tidak diplot untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) senilai Rp2 juta kepada tiap-tiap KK non PNS. Dua juta Rupiah per KK akan mampu menjadi jaring pengaman sosial paling ampuh untuk segenap lini. Memang pola ini tidak akan mewujudkan keadilan yang sama rata-sama rasa. Tapi setidaknya inilah pola paling mendekati keadilan yang sebenarnya.
Tugas Pemerintah Aceh, bukan lagi membagi sembako yang seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat. Tugas Pemerintah Aceh justru menjamin ketersediaan bahan baku di pasar dan biarkan rakyat menentukan pilihannya sendiri.
Skema penyaluran yang tepat, yaitu dengan cara cashless, baik melalui rekening bank maupun e-money. Penyaluran secara cashless dilakukan untuk menghindari kerumunan warga yang berpotensi terjadinya penyebaran virus dan praktik korupsi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Di Aceh, dalam urusan uang dan pembagian keadilan, manusianya lebih jahat dari covid-19. Manusia-manusia serakah ini ada di berbagai lini.
Saya kira kali ini Pemerintah Aceh yang digawangi oleh Nova Iriansyah, sudah saatnya berhenti melakukan kegiatan seremonial-pencitraan, seakan-akan bahwa ia, Ketua PKK Aceh dan partainya adalah pahlawan bagi Aceh. Mereka memiliki peran lebih vital. Yaitu harus melindungi segenap harkat dan martabat serta keselamatan rakyat.
Untuk itu, Nova harus berani bernegosiasi ke Pusat agar rakyat Aceh dapat alokasi 2 juta per kk tiap bulan selama covid-19 belum mampu ditangani. Saya kira, itu akan lebih berdampak positif bagi rakyat, dan Pemerintah Aceh yang dipimpin oleh Nova Iriansyah, akan terlihat lebih berguna bagi seluruh rakyat. Bukan hanya berguna untuk segelintir pejabat dan pengusaha yang menyusu pada dana rakyat.
Kepada seluruh rakyat Aceh, mari kita perjuangkan ini. Mari dukung Pemerintah Aceh agar memiliki keberanian demi kita semua.
Dosen Fisip Umuslim, Wakil Sekretaris ICMI Orda Bireuen.