Oleh: Hesphynosa Risfa, S.H., M.H.
Pinjam meminjam atau utang piutang lazim dilakukan oleh masyarakat kita dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini umumnya dilakukan oleh dua orang atau lebih, satu pihak memberikan pinjaman dan pihak lainnya sebagai penerima pinjaman. Dalam konteks yang lebih modern, jika memerlukan uang biasanya masyarakat mengambilnya pada lembaga perbankan atau lembaga keuangan lainnya.
Selain lembaga perbankan juga dikenal lembaga pembiayaan yang menyediakan jasa untuk debitur yang ingin memiliki kendaraan bermotor. Khususnya bagi debitur atau masyarakat yang belum mampu membelinya secara tunai (cash). Di sini lembaga pembiayaan akan memberikan kemudahan bagi debitur dengan memberikan fasilitas tersebut. Dalam hubungan hukum ini umumnya lembaga pembiayaan mewajibkan adanya agunan sebagai jaminan apabila ke depannya debitur gagal memenuhi kewajibannya. Dalam hukum positif kita dikenal dengan nama jaminan fidusia yang diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Jaminan fidusia merupakan hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai jaminan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.
Pemberi fidusia biasanya dikenal sebagai orang yang berutang (debitur) pada suatu lembaga pembiayaan, seperti perbankan, leasing kendaraan bermotor dan sebagainya baik dalam sistem konvensional maupun syariah. Fidusia dipakai sebagai instrumen jaminan untuk mengurangi risiko yang mungkin timbul di kemudian hari jika debitur tidak dapat melunasi kewajibannya sesuai dengan kesepakatan. Apabila hal ini terjadi maka lembaga pembiayaan (kreditur) dapat menjual jaminan tersebut untuk melunasi utang atau kewajiban yang belum dilunasi.
Jaminan fidusia memiliki keunikan tersendiri di mana secara yuridis jaminan tersebut dikuasai oleh lembaga pembiayaan (kreditur), akan tetapi secara fisik jaminan tersebut tetap dikuasai dan dapat dimanfaatkan oleh debitur. Dalam ketentuan hukum perdata hal ini dikenal dengan istilah constitutum posseisorium.
Sebagai ilustrasi, A mengambil pinjaman pada sebuah lembaga perbankan, lalu bank meminta agar A menjaminkan mobil miliknya kepada bank. Walaupun mobil tersebut merupakan jaminan pada bank akan tetapi A tetap bisa menikmati manfaat dari mobil tersebut untuk kegiatan sehari-harinya, bank hanya mengusai dokumen yuridis mobilnya saja, akan tetapi A tetap bisa memakai mobil tersebut karena secara fisik tetap berada pada penguasaan A.
UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memberikan keistimewaan kepada kreditur dalam pemenuhan kewajiban debitur apabila debitur wanprestasi. Penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditur yang diutamakan dari kreditur lainnya berdasarkan asas droit de preference. Selain itu juga melekat asas bahwa jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapa pun benda tersebut berada (droit de suite), karena pada dasarnya jaminan fidusia hanyalah sebagai perjanjian ikutan dari perjanjian pokoknya. Perjanjian pokok adalah perjanjian utama antara lembaga pembiayaan dengan nasabah debitur (yaitu perjanjian hutang piutangnya). Maka untuk menjamin pelunasan jika debitur gagal membayar diperlukan perjanjian ikutan yang dikenal dengan jaminan fidusia.
Di televisi maupun surat kabar kita sering mendengar lembaga pembiayaan menggunakan jasa debt collector (juru tagih) untuk menagih pelunasan kewajiban kepada debitur atau nasabah yang terlambat membayar cicilan. Bahkan tidak jarang dilakukan tanpa melalui prosedur hukum yang benar. Dalam banyak kasus juga dilakukan dengan kekerasan, paksaan, dan ancaman. Tindakan seperti ini sangat meresahkan masyarakat kita, khususnya masyarakat yang memiliki kredit kendaraan bermotor pada suatu lembaga pembiayaan atau perbankan.
Masalah seperti ini timbul karena umumnya kreditur atau lembaga pembiayaan memegang ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Bahwa kreditur memiliki hak untuk langsung mengeksekusi kendaraan bermotor debitur jika debitur terlambat untuk menunaikan kewajibannya. Karena memang apabila kita membaca ketentuan UU Fidusia memberikan kedudukan yang lebih kuat kepada kreditur dibandingkan dengan debitur.
Setidaknya ada beberapa alasan mengapa kedudukan kreditur lebih kuat dibandingkan dengan debitur. Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 15 UU Fidusia yang menyebutkan dalam sertifikat jaminan fidusia dicantumkan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” atau yang lebih dikenal dengan irah-rah putusan pengadilan. Irah-irah ini memiliki makna yang sangat mendalam yang merujuk pada dasar negara kita yaitu Pancasila, yang pada sila pertama berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Irah-irah ini memiliki makna yang begitu luas dan sangat esensial, karena tidak saja berhubungan dengan para pencari keadilan, tetapi juga lekat hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa sang pencipta alam semesta. Irah-irah juga tidak saja melingkupi tanggung jawab hakim kepada pencari keadilan dan masyarakat, namun secara spiritual juga melingkupi tanggung jawab hakim kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di sinilah letak kekhususan UU Fidusia yang kekuatannnya begitu luar biasa disamakan dengan putusan pengadilan yang langsung memiliki kekuatan eksekutorial apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya. Lebih dahsyatnya lagi sertifikat jaminan fidusia disamakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Pasal 15 UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Dalam sertifikat Jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (1) dicantumkan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Sertifikat Jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Apabila debitur cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri. |
Tafsir Baru Jaminan Fidusia Pascaputusan MK
Dalam praktik di lapangan selama ini penerapan UU Fidusia sering menimbulkan kegelisahan di masyarakat, karena seringnya debt collector langsung mengambil paksa jaminan seperti kendaraan bermotor milik debitur. Padahal hal ini tidak dibenarkan oleh ketentuan perundang-undangan, karena jaminan fidusia ini nilai ekonomisnya belum tentu milik kreditur atau lembaga pembiayaan sepenuhnya.
Ilustrasi sederhananya begini, misalnya A memiliki kredit atau pembiayaan pada bank dengan jaminan satu unit sepeda motor. Harga sepeda motor debitur adalah 15 juta, sedangkan sisa kewajiban yang harus dilunasi oleh debitur adalah 8 juta lagi. Ternyata dengan menggunakan jasa debt collector bank langsung mengambil sepeda motor milik debitur. Maka kesimpulannya bank dianggap telah mengambil uang debitur sebesar 7 juta (15 juta dikurangi 8 juta). Hal ini dapat dikatagorikan sebagai tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) yang dapat diancam dengan ketentuan pidana.
Berdasarkan ilustrasi di atas tidak jarang ada pihak yang melaporkan permasalahan ini kepada pihak kepolisian. Padahal sebagaimana kita ketahui pada dasarnya hubungan hukum ini adalah hubungan keperdataan (hukum perjanjian). Namun, tidak jarang pihak yang merasa dirugikan menempuh upaya hukum pidana untuk menyelesaikannya sesuai ketentuan Pasal 368 KUHP.
Pasal 368 KUHP selengkapnya berbunyi: Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.
Melihat kenyataan di lapangan Mahakamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu menangkap sinyal ini dengan mengeluarkan putusan sekaligus mengubah tafsir Pasal 15 UU Fidusia. MK melihat tidak ada kepastian hukum tentang tata cara eksekusi dan kapan sebenarnya waktu debitur dinyatakan wanprestasi atau gagal memenuhi kewajibannya. Karena pada kenyataannya terkadang debitur tidak memiliki kesempatan untuk membela diri karena adanya paksaan atau kekerasan dari debt collector. Dampak dari ketidakpastian pasal ini menimbulkan persoalan konstitusionalitas dalam penerapannya.
MK meluruskan pemaknaan pasal ini, bahwa harus ada kepastian waktu kapan debitur tersebut dapat dinyatakan telah wanprestasi (gagal membayar). Kemudian kerelaan dan pengakuan debitur menjadi kunci utama dalam kasus ini. Debitur harus secara sukarela menyerahkan jaminan tersebut untuk dilakukan penjualan. Makna yang terkandung dalam putusan ini adalah wanprestasi harus disepakati oleh kedua belah pihak, bukan ditentukan sepihak oleh lembaga pembiayaan (kreditur).
Pastinya hal ini juga akan menimbulkan pertanyaan, bagaimana jika debitur tidak mengakui dirinya telah melakukan wanprestasi? Maka kreditur atau lembaga pembiayaan harus mengajukan gugatan ke pengadilan, lalu pengadilanlah yang akan menentukan apakah debitur memang benar telah melakukan wanprestasi. Apabila pengadilan memutuskan debitur telah melakukan wanprestasi maka debitur tidak dapat mengelak lagi dan wajib untuk memenuhi putusan tersebut dengan melunasi kewajibannya secara keseluruhan.[]
Penulis adalah advokat dan praktisi hukum, E-mail: hesphy_nosa@yahoo.co.id
Editor : Ihan Nurdin
Komentar