Oleh Rahmat Aulia*
Saya rasa tidak ada warga Montasik yang tidak tahu Krueng Doe. Dalam bahasa Aceh, krueng bermakna sungai dan doe di sini merujuk kepada timbunan. Krueng Doe adalah nama sebuah sungai terbesar di Montasik yang airnya tidak lagi mengalir karena sudah ditimbun pada beberapa bagiannya. Jadi, Krueng Doe ini airnya tidak lagi mengalir, hanya tergenang begitu saja. Kalau ditanya sejak kapan sungai ini menjadi seperti ini, saya sendiri tidak tahu persis. Sejak saya kecil, belasan tahun silam, sungai ini memang sudah demikian adanya.
Ada banyak sekali kenangan antara saya dengan Krueng Doe. Waktu masih duduk di sekolah dasar, saya bersama teman-teman rajin menyambangi sungai ini untuk berenang dan mencari ikan. Saat itu airnya masih jernih, belum ada masyarakat yang membuang sampah ke sini. Namun, beberapa tahu belakangan, ada oknum yang tidak bertanggung jawab dengan teganya mencemari Krueng Do dengan sampah. Ada banyak sekali jenis sampah yang dilemparkan ke sini. Melihatnya, saya jadi pilu. Seolah kenangan masa kecil saya dengan Krueng Doe mereka cabik-cabik.
Lebar Krueng Doe kira-kira 10 meter dengan panjang beberapa kilometer saja. Di beberapa titik yang posisinya jauh dari pemukiman warga, airnya masih tergolong jernih dan tentunya bebas sampah. Saya tidak ingat dengan persis sudah berapa tahun tidak pernah lagi menyambangi Krueng Doe. Mungkin sekitar 10 atau 15 tahun lebih. Walau jaraknya cukup dekat dari rumah.
Lalu apa hubungannya antara saya, Krueng Doe, dan Corona?
Semenjak pemerintah memberlakukan masa tanggap darurat corona dengan meliburkan berbagai instansi pendidikan, perkantoran, dan berbagai sektor lainnya. Dayah tempat saya mondok pun turut meliburkan dan memulangkan seluruh santri. Kami pun pulang ke rumah masing-masing. Setelah pulang ke rumah dan menetap beberapa hari, saya dengan beberapa teman memilih untuk mengisolasi diri di dayah kampung. Dayah Tgk Chik Disampang namanya. Dayah ini sudah seperti rumah kedua bagi saya dan beberapa teman. Selama masa tanggap ini, saya hanya pulang ke rumah sesekali untuk makan atau keperluan penting lainnya. Selebihnya hanya di dayah.
Sebenarnya Dayah Tgk Chik Disampang sendiri juga sudah meliburkan aktivitas belajar mengajar. Namun, beberapa memilih untuk tetap menetap di dayah. Tidak ke mana-mana. Ada sekitar 20 orang santri yang mengisolasi diri di sini.
Nah, ketika menetap di sinilah, saya kembali menyambangi Krueng Doe. Bernostalgia setelah sekian purnama. Krueng Doe ini letaknya persis di belakang dayah kami. Untuk ke sana, bisa dengan berjalan kaki. Kami, saban pagi dan sore hari mencari ikan di sini. Menebar jaring pada sore dan mengangkat esok paginya. Ada ikan mujair, bace, sepat cina, dan berbagai ikan lainnya yang berhasil terjaring. Melakukan aktivitas ini, ingatan masa silam muncul silih berganti. Senyum pun sukses mengembang di sudut bibir.
Ikan-ikan yang berhasil terjaring ini selanjutnya kami masak di dapur dayah. Seringnya di masak asam keueung. Kadang-kadang di-tumeh dan tak jarang digoreng. Berhubung disantapnya bersama-sama, nikmatnya jadi berlipat-lipat ganda.
Memanfaatkan masa tanggap ini, beberapa santri berinisiatif membentuk kelompok belajar. Ada yang memperdalam nahwu, sharaf, mantiq, bayan dan lainnya. Lantas ketika malam Jumat tiba, dengan semangat 45 kami menyenandungkan dikee dan dalail khairat. Melangitkan berbagai pujian kepada pemilik semesta agar musibah ini bisa segera berlalu.
Untuk tetap menjaga stamina, setiap sore kami rutin berolahraga. Ada yang main voli, bulu tangkis, dan tenis meja. Saya sendiri menyukai ketiga permainan tersebut. Walau lebih cenderung ke permainan bulu tangkis.
Saya rasa, tetap menjaga stamina selama masa darurat corona ini cukup penting. Di samping berusaha ikut anjuran yang telah ditetapkan pemerintah seperti mencuci tangan, jaga jarak, dan lainnya. Menjaga tubuh tetap bugar juga harus diprioritaskan. Jangan sampai karena terlalu takut dengan corona kita malah abai menjaga stamina.
Semoga musibah corona bisa segera mereda dan kita bisa kembali memulai aktivitas seperti sedia kala. Aamiiin.[]
*Penulis adalah santri di Dayah Ulee Titi dan Tgk Chik Disampang Montasik, Aceh Besar.
Editor : Ihan Nurdin
Program ini terselenggara berkat kerja sama antara aceHTrend dengan KPI UIN Ar-Raniry, Gramedia, dan PT Trans Continent
Komentar