Oleh Ahmad Humam Hamid*
Ragnar Lomborgh, figur sejarah klasik legenderis Skandinavia adalah seorang petani yang lahir di kawasan terpencil, Kattegat, di pinggiran Laut Baltik. Awalnya ia adalah prajurit kerajaan lokal, kemudian terus berkembang dan berprestasi, dan akhirnya menjadi raja paling digdaya bangsa Viking, utamanya Swedia dan Denmark hari ini. Dari berbagai mitos dan novel sejarah, Justin Polard merangkum sejarah Ragnar dalam bukunya “the World of Vikings” yang menjadi dasar pembuatan mini -seri the Viking di saluran TV History, dan kemudian diteruskan oleh saluran film pendatang baru, Netfilx.
Michel Hirst, sutradara kesohor sejumlah film sejarah kelahiran Warsawa, dengan sangat apik menampilkan Ragnar bersama keluarga dan turunannya salam serial the Viking, terutama ketika Ragnar dan adiknya Polo pada abad ke-13 menyerang Eropa, terutama Inggris dan Perancis. Mereka menyerang, menduduki, dan bahkan memerintah. Publik Swedia, Denmark, dan Norwegia sangat bangga karena film ini telah meningkatkan “marwah” bangsanya, menjadi bukti sejarah tentang kesetaraan peradaban, untuk tidak mengatakan “superioritas” masa lalu bangsa mereka terhadap Eropa daratan, termasuk kepulauan Inggris.
Kali ini kesetaraan itu kembali terulang, tetapi bukan dengan peperangan ataupun persaingan penguasaan sumber daya. Reinkarnasi Ragnar Lamborgh setelah 800 tahun kini tertantang dengan Covid-19, diperankan oleh Nils Anders Tegnell, epidemiologist, dokter, dan ASN Kerajaan Swedia. Di tengah gencarnya lhob mate corona di Eropa dan seantero dunia, Swedia memutuskan untuk tetap membiarkan kafe, restoran, bar, salon, gym, toko terbuka. Pertunjukan musik hanya bisa dihadiri oleh 50 penonton, tidak lebih. Sekolah menengah dan universitas ditutup, sementara SD dan TK tetap berjalan. Secara keseluruhan hidup berjalan normal, kecuali beberapa perubahan kecil. Arsiteknya? Tegnell.
Tidak ada kata padanan Inggris “outlier” dalam bahasa Aceh kecuali kata “ganjé”–ganjil, aneh, yang kini melekat dengan Dr. Tegnell. Bagi mahasiswa yang pernah mengambil mata kuliah statistik regresi linear, outlier itu adalah sebuah gugus yang terpisah jauh dari banyak gugus lain yang cenderung mendekati satu garis lurus dengan keragaman yang tidak sangat kentara. Dengan demikian outlier sendiri adalah “ganjé, hana rôh lam kawan”.
Tegnell , dan bahkan Swedia sendiri menjadi ganjé karena tidak mau menerapkan kebijakan lhob maté, yang umum telah menjadi hukum besi pemberantasan penyakit menular berbahaya di seluruh dunia. Swedia dikritik dan bahkan dikecam oleh publik internasional karena kebijakan itu. Tetangga serumpunnya. Denmark, Norwegia, dan Finlandia adalah pihak yang paling was-was, karena secara geografis mereka sangat dekat.
Tidak hanya dikritik oleh para ahli dan ilmuwaan Swedia sendiri tentang kebijakan hana lhob maté ini, para ilmuwan dari berbagai universitas dan lembaga berkompeten internasional juga meragukan kemanjuran strategi yang diramu oleh sang Epidemeologist negara Swedia itu. Bahkan, seperti diberitakan CNN, WHO sendiri, sembari memuji kecepatan Swedia dalam memperkuat sistem pelayanan kesehatan menghadapi corona, juga meragukan, bahkan skeptis dengan kebijakan hana lhob maté Swedia.
Terhadap semua kritik, kecaman, dan cercaan para ilmuwan, aktivis, dan para pembuat kebijakan, Tegnall tetap bergeming, tidak mau berubah, dan besikukuh untuk terus menjalankan prinsip itu. Pemerintah setuju dan jajak pendapat publik juga menunjukkan sokongan yang kuat untuk Tegnell. Rasa percaya diri Tegnell persis seperti ketegaran Ragnal Lambhrog ketika Inggris menganggap enteng manusia Viking dan tertawaan masyarakatnya tentang keputusannya menyerang Inggris dan Eropa Daratan.
Tegnell bukanlah Epediomologist biasa yang hanya tenggelam dalam bacaan, percobaan, penelitian, dan pekerjaan khusus yang hanya terfokus pada aspek biologi kesehatan penyakit menular. Dia paham betul peran negara dalam konteks konstitusi, dan berbagai aspek sosial budaya masyarakat Swedia. Semua itu menurut anggapannya sangat berkontribusi terhadap penanganan penyakit menular sangat berbahaya semisal Covid-19. Pendek kata, Tegnell bukan hanya spesialis epidemologi, melainkan juga seorang generalis yang mempunyai pengetahuan dan minat besar terhadap berbagai bidang ilmu lain, di luar keahliannya.
Dalam wawancara dengan jurnal penelitian bergengsi, Nature, pada bulan April lalu Tegnell beralasan bahwa prinsip utama penerapan kebijakan hana lhob maté adalah UU Swedia yang menyebutkan tentang penyakit menular sebagai tanggung jawab individu dengan sepenuhnya berbasis kesukarelaan. Pada pasal yang sama juga disebutkan bahwa setiap warga negara bertanggung jawab untuk tidak menjadi penyebar penyakit menular. Hukum Swedia yang ada menurut Tegnell kurang memberi ruang kepada pemerintah untuk mengunci lokasi geografi besar seperti kota, akan tetapi membolehkan diberlakukan karantina untuk unit kecil semisal sekolah, hotel, atau bangunan tertentu.
Tegnell berkeyakinan bahwa model penanganan corona yang ia ajukan barbasis pada kondisi objektif Swedia yang kemudian dipadukan dengan prinsip-prinsip penanganan corona secara ilmu pengetahuan. Dia berkeyakinan, tidak ada satu model tunggal penanganan pandemi ini yang berlaku universal, apalagi corona ini adalah jenis baru SARS yang masih menyimpan berbagai misteri dan teka-teki ketidaktahuan yang besar, bahkan di kalangan ahli virus dan pandemi itu sendiri.
Masyarakat Swedia adalah masyarakat yang memiliki “high trust”, tingginya kepercayaan publik kepada pemerintah dan sebaliknya pemerintah juga mempunyai kepercayaan kepada publik. Dengan demikian , pemerintah cukup hanya memberikan informasi dan rekomendasi kepada publik, ditambah dengan sangat sedikit intervensi yang dapat kehidupan normal. Prinsip strategi corona Swedia adalah sebuah kombinasi yang unik antara kepercayaan timbal balik dua pihak dan sejumlah langkah pengendalian strategis.
Ada satu kata kunci yang secara sosiologis memberikan gambaran utuh tentang kehebatan “keadaban publik” Swedia yang telah berkontribusi besar terhadap kemajuan Swedia hari ini. Kata kunci itu adalah “folkvett” yang nyaris menjadi “agama alternatif” dalam konteks kehidupan sehari hari. Kata ini berhubungan erat dengan kesadaran individu yang tinggi terhadap tangung jawab moral dalam menjaga kehidupan kolektif.
Menjadi pribadi yang bertanggung jawab baik untuk diri, keluarga, dan masyarakat bukanlah sesuatu yang hanya terucap atau tertulis, akan tetapi menjadi “darah daging” kehidupan sehari-hari masyarakat Swedia. Rasa “moral” yang dimiliki adalah sesuatu yang tidak perlu diajarkan atau diperintahkan, dan segera akan dipahami secara instink tentang apa yang baik dan tidak baik untuk diri dan kehidupan publik. Hal ini bukanlah sesuatu yang tidak nyata, karena terkonfirmasi oleh survei indeks kehidupan Islami global di mana Swedia selalu menduduki posisi teratas , bahkan meninggalkan jauh negara-negara Islam, termasuk Indonesia. (Islmicity Index 2019).
Dalam hal corona, pemerintah hanya menyampaikan informasi yang diperlukan dan kemudian direkomendasikan kepada publik untuk dilaksanakan. Selebihnya diserahkan kepada individu untuk membuat pilihan. Rekomendasi pemerintah untuk publik bukanlah instruksi yang menjadi kewajiban, tetapi karena Swedia adalah masyarakat yang ”high trust” angota masyarakat melakukan rekomendasi seolah kewajiban yang mesti dilakukan. Selain edukasi publik via media, sejauh ini rekomendasi keras yang dilakukan -bukan instruksi- adalah social distancing, jarak fisik/sosial. Selebihnya publik tahu sendiri informasi apa yang perlu dicari tentang corona.
Data terakhir corona Swedia beberapa hari yang versi Universitari Jhon Hopkins menunjukkan korban corona mencapai 27,272 kasus, dengan angka kematian 3,313 . Angka ini relatif lebih baik dari negara-negara Eropa, dengan tingkat kematian perkapita lebih rendah dari Belgia, Perancis, Italia, dan Belanda Spanyol, dan Inggris. Namun, dibandingkan dengan tiga tetangganya, Norwegia, Denmark, dan Finlandia. Angka kematian di Swedia lebih tinggi, dengan konsentrasi 50 persen kematian terpapar pada kelompok orang tua. Kalaulah ada pelajaran besar dari strategi itu menurut Tegnell, perhatian terhadap kelompok manula yang kurang tertangani dengan baik.
Apakah mengikuti Swedia atau bukan, kini Denmark dan Finlandia segera akan kembali ke kehidupan biasa, yang juga akan diikuti oleh Italia, Perancis, dan Jerman. Walaupun otoritas Swedia tidak mengakui strategi itu ditujukan untuk membangun “herd immunity” kekebalan kelompok yang besar di Swedia, banyak kalangan menduga bahwa negeri itu ke depan berpeluang untuk memposisikan Corona sama dengan “flu biasa” jika gelombang kedua corona kembali lagi di masa depan.
Pergumulan global manusia dengan corona belum selesai, terlalu dini untuk membuat kesimpulan final. Akan terapi kebijakan publik tentang penanganan corona tetap harus berlandaskan ilmu pengetahuan yang bertanggung jawab, walaupun untuk kebijakan hana lhob maté. Apa ukuran landasan pengetahuan yang terukur, “ jelas pemetaan masalah, jelas peta jalan penyelesaiannya.[]
Penulis adalah sosiolog. Guru Besar Universitas Syiah Kuala