Oleh Umar Faruq
Dalam sejarah panjang Indonesia telah memilki beberapa mekanisme pemakzulan presiden atau biasa disebut dengan impeachment dari presiden ke Presiden lainnya dengan beberapa tuduhan yang dituduhkan kepada Presiden.
Tentu Adanya Covid-19 yang hampir menimpa seluruh negara di dunia termasuk Indonesia mengalami kesulitan dalam melakukan penangan, bahkan sejauh ini belum ada negara dikatakan berhasil dalam penangan Covid 19 termasuk Indonesia, yang cenderung tidak konsisten dalam mengambil kebijakan untuk memberantas penyebaran Covid-19.
Kebijakan yang diambil pemerintah yang tidak konsisten ini membuat para akademisi mengadakan diskusi terkait dengan tema “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemik Ditinjau Dari Sistem Ketatanegaraan”. Ada beberapa oknum yang memanfaatkan mementum diskusi tersebut untuk kepentingan lainnya sehingga muncul isu bila diskusi tersebut makar.
Di sini saya mencoba mengulas mengenai mekanisme impeachment atau pemakzulan dalam hukum ketatanegaraan, apa ketidakberhasilan penangan Covid-19 Presiden RI–Joko Widodo– bisa di-impeachment?
Proses pemberhentian presiden dikenal dalam praktik ketatanegaraan di berbagai negara. Secara istilah proses ketatanegaraan ini disebut sebagai pemakzulan, namun banyak nomenklatur dan pemberitaan yang menyebutnya sebagai impeachment. Impeachment adalah kata yang biasa ditujukan kepada seorang kepala negara, dalam hal ini presiden.
Kata impeachment sendiri dalam bahasa Indonesia dapat kita alih bahasakan sebagai pemakzulan, dakwaan atau tuduhan impeachment, berasal dari kata aktif “to impeach” yang artinya adalah meminta pertanggungjawaban.
Jika tuntutannya terbukti maka konsekuensinya adalah “removal from office” atau pemberhentian dari jabatan. Dalam artian bahwa impeachment sendiri bukanlah hukumannya namun bagian atau tahapan dari sebuah proses yang bersifat penuntutan atas dasar pelanggaran hukum yang dilakukan oleh presiden.
Amandemen ketiga telah memberikan mekanisme dalam UUD 1945 yaitu memasukkan pasal-pasal mengenai proses pemberhentian presiden yaitu pasal 7A dan 7B. Proses impeachment terhadap presiden di republik ini dimulai ketika DPR menggunakan hak bertanya yang merupakan fungsi pengawasan seperti diatur di pasal 20A ayat (1), yang berkorelasi dengan pasal 7B ayat (2) Undang-Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian usulan pemberhentian tersebut diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diproses dan diputuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti bersalah atau tidak bersalah dengan dasar Pasal 7B ayat (4) dan ayat (5). Putusan MK itu diteruskan ke DPR untuk diusulkan sidang kepada MPR dan dalam rapat paripurna MPR dinyatakan presiden dan/atau wakil presiden berhenti atau tidak berhenti dari jabatannya.
Jika dilihat dari politik presiden sangat tidak mungkin dapat di- impeachment, karena setiap kebijakan hukum yang diambil oleh Presiden terkait pengan Covid 19 selalu mendapatkan angin segar dari sebut saja Perpu Nomor 1 Tahun 2020 Terkait keuangan dalam penangan Covid 19 yang menurut beberapa akademisi ada beberapa pasal yang dinilai Kontroversial terbukti ada beberapa Uji Materil ke Mahkamah konstitusi.
Begitu pula denagan alasan yang terdapat dalam Dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan Pasal 7A, impeachment dapat dilakukan terhadap presiden dan/atau wakil presiden berdasarkan alasan-alasan, yaitu:
a) Telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara; b) Telah melakukan korupsi; c) Telah melakukan penyuapan; d) Telah melakukan tindak pidana berat lainnya; e) Telah melakukan perbuatan tercela; dan f) Telah terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
Dari beberapa hal di atas, belum ada satu normapun yang dilanggar oleh Presiden Joko Widodo.
Alasan impeachment tersebut di Indonesia dijabarkan dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Yang disebut “tindak pidana berat lainnya” adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Alasan alasan pidana dalam proses pemberhentian presiden menurut ketentuan UUD 1945 sesuai pula dengan apa yang pernah dikatakan Sri Soemantri mengenai impeachment, yaitu suatu pertanggungan jawab menurut hukum pidana yang dapat mengakibatkan pertanggungan jawab politik. Sedangkan “perbuatan tercela” adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kegagalan pemerintah dalam menangani covid-19 tidak bisa dijadikan alasan untuk memakzulkan
Pemakzulan presiden saat pandemik tidak mungkin dilakukan. Karena secara politik kebijakan hukum dalam penangan covid-19 selalu mendapatkan dukungan dari DPR. Secara hukum Presiden tidak melanggar pasal sebagaimana diatur dalam Undang-undang Dasar 1945.
Penulis adalah mahasiswa Hukum Tata Negara. Tulisan ini dikutip dari situs Kompasiana.com.