Oleh Tgk. Helmi Abu Bakar El-Langkawi*
Lembu atau sapi merupakan salah satu hewan yang namanya diabadikan dalam Alquran dengan nama Albaqarah yang bermakna sapi betina. Meskipun nun di negeri syariat Islam di ujung nusantara keberadaan leumo (sapi/lembu) mendapat tempat yang istimewa, malah leumo bisa tidur dan bermalam di mana saja termasuk di jalan. Wajar di era 1980-an salah satu kabupaten “blahdeh” Seulawah dijuluki sebagai daerah dengan kandang sapi terpanjang di dunia, asbabul wurud (indikator)-nya hewan tersebut seenaknya tanpa dihirau pemilik sehingga tidur dan “qadha hajat” di jalan-jalan dan tempat umum.
Hewan yang dianggap suci oleh salah satu komunitas agama di dunia ini, kini namanya menjadi viral di salah satu daerah di nusantara. Entah apa yang melatarbelakangi dan itu bukan persoalan yang hendak dibahas di sini, bahkan dalam politik kerap digunakan kata leumo seperti sapi perahan politisi atau politik dagang sapi. Namun, dalam kitab suci Alquran, sapi menjadi nama salah satu surah, yakni surah Albaqarah (sapi betina).
Nama ini diambil karena di dalam surah ini tepatnya pada ayat 67-73 berisi tentang perintah Allah Swt. kepada Bani Israil agar menyembelih sapi betina untuk mengungkap misteri pembunuhan.
Pembahasan sapi juga menjadi kisah menarik dalam Alquran. Di antaranya kisah dalam surah Yusuf ayat 43-49 sangat menarik. Dalam surah Yusuf, mimpi raja Mesir mengenai tujuh sapi kurus memakan tujuh sapi gemuk. Membuat raja bingung tentang takwil mimpinya, termasuk ahli mimpi menyebut itu: atgasu ahlam –mimpi yang tak bertakwil. Namun, raja tidak merasa puas, belum menghilangkan kebimbangannya. Sampai kemudian, seseorang memberi tahu ada yang dapat menakwilkan mimpi, tapi masih berada di penjara, ternyata Nabi Yusuf as.
Mimpi raja Mesir itu adalah bagian dari takdir Allah sebagai sebab yang mengeluarkan Yusuf dari penjara secara terhormat, karena sang raja setelah bermimpi seperti itu sangat terperanjat ketakutan serta keheranan dan menanyakan apa takbirnya. Maka ia mengumpulkan para juru nujum, cendikiawan, dan pembesar pemerintahannya, serta pejabat di negara. Lalu sang raja menceritakan mimpinya kepada mereka, kemudian menanyakan apa takbirnya. Namun, mereka tidak mengetahuinya, dan beralasan bahwa “Itu hanyalah mimpi yang kosong” yaitu, mimpi yang bercampur aduk yang telah terjadi pada mimpi paduka ini, kami tidak tahu tentang ta’bir mimpi itu,” maksudnya, kalaupun mimpi itu benar, bukan dari pikiran yang kacau, kami pun tidak mengetahui penafsirannya.
Pada saat itulah orang yang selamat dan keluar dari penjara baru teringat kepada Yusuf setelah beberapa waktu lamanya, karena syaitan membuatnya lupa kepada pesan Yusuf untuk menyebutkan perkaranya kepada raja, maka ia berkata kepada raja dan orang-orang yang diundangnya untuk keperluan ini: Ana unabbi-ukum bita’wiilihi (Aku akan memberitakan kepadamu tentang [orang yang pandai] mena’birkannya).” yakni penafsiran tentang mimpi itu; fa arsiluun (Maka utuslah aku kepadanya), maksudnya utuslah aku kepada Yusuf as yang terpercaya itu yang sekarang berada di penjara.
Maka mereka pun mengutusnya ke penjara, dan sesampainya di sana, ia berkata: Yuusufu ayyuhash shiddiiqu aftinaa (Yusuf, hai orang yang sangat dipercaya, terangkanlah kepada kami). Selanjutnya ia menyebutkan mimpi raja, dan pada saat itu Yusuf segera menyebutkan takbirnya, tanpa menyalahkan pemuda itu atas kelalaiannya menyampaikan pesan yang pernah dikatakan kepadanya, dan tanpa meminta dikeluarkan dari penjara sebagai syarat untuk menakbirkan mimpi raja itu.
Tetapi Yusuf berkata: Hendaknya kalian bercocok tanam selama tujuh tahun sebagaimana biasa. Maksudnya, akan datang pada kalian kesuburan dan hujan selama tujuh tahun berturut-turut. Yusuf menafsirkan tujuh ekor sapi itu dengan tujuh tahun karena sapi itulah yang digunakan untuk mengolah tanah agar dapat mengeluarkan hasil tanaman yang berupa bulir-bulir gandum yang hijau.
Kemudian, ia memberikan petunjuk kepada mereka apa yang harus mereka siapkan pada tahun-tahun itu seraya berkata: Apa yang kalian tuai [petik] biarkan tetap pada bulirnya kecuali sedikit yang kalian perlukan untuk makan.
Maksudnya adalah berapa pun hasil dari tanaman kalian pada tujuh tahun yang subur itu, simpanlah dalam bulir-bulirnya agar lebih awet dan tidak cepat rusak, kecuali sekadar yang kalian perlukan untuk makan, dan makan itu pun harus dengan hemat, sedikit-sedikit saja, jangan berlebihan, agar dapat kalian gunakan untuk memenuhi kebutuhan kalian selama tujuh tahun masa paceklik yang akan datang setelah musim subur selama tujuh tahun itu, yang dalam mimpi itu berupa tujuh ekor sapi betina kurus makan tujuh ekor sapi yang gemuk, karena tahun-tahun paceklik itu akan menghabiskan semua yang mereka kumpulkan pada tahun-tahun musim subur, yang dalam mimpi berupa bulir-bulir gandum yang kering.
Yusuf berkata: Mesir akan mengalami tujuh tahun yang subur, maka pada tahun-tahun itu hendaklah kamu menanami tanahmu dengan gandum dan sya’ir. Kemudian hasil panennya kamu simpan dalam batang-batang gandumnya (tidak digiling) dan jangan boros dalam pemakaiannya kecuali sekdar yang dibutuhkan saja. Karena setelah itu akan datang tujuh tahun yang kering di mana kamu akan memakan persediaan gandum yang kamu simpan, dan janganlah pula dihabiskan untuk digunakan sebagai bibit bagi tanaman berikutnya.
Tentunya takwil Yusuf tentang mimpi raja ini akhirnya menjadi kenyataan. Penduduk negeri Mesir diperintahkan untuk bercocok tanam demi menghadapi masa paceklik. Ketika musim itu tiba, negeri Mesir dan sekitarnya mengalami masa-masa sulit selama kurang lebih tujuh tahun.
Beruntung, negeri Mesir memiliki persediaan gandum cukup banyak karena mereka menyimpan gandum sewaktu musim subur. Sementara itu, daerah lainnya mengalami kesulitan, termasuk negeri Ya’kub, hingga Nabi Ya’kub mengutus anak-anaknya untuk membeli persediaan gandum di negeri Mesir.
Salah seorang ulama bernama Prof Dr Abdul Majib Balabid dari Universitas Wajdah di Maroko, sebagaimana ditulis Sami bin Abdullah Al-Maghluts dalam bukunya Atlas Sejarah Nabi dan Rasul, melakukan eksperimen (percobaan) untuk memastikan pernyataan Nabi Yusuf AS tentang cara menyimpan gandum yang baik. Yakni, menyimpan sebagian gandum tetap dengan tangkainya dan sebagian lagi tanpa tangkai selama dua tahun.
Hasilnya, biji-biji gandum yang disimpan bersama tangkainya tidak mengalami perubahan sedikit pun, baik isi, unsur kandungan, maupun kemampuannya untuk tumbuh, kecuali hanya mengalami kehilangan sedikit kandungan air.
Sementara itu, gandum yang disimpan tanpa tangkainya mengalami kehilangan 20 persen kandungannya dari unsur-unsur protein selama setahun masa penyimpanan dan 32 persen selama dua tahun. Di samping itu, bulir gandum itu juga mengalami kehilangan kemampuan untuk tumbuh, berkembang, dan berbuah.
Apa yang diperintahkan Nabi Yusuf ini menyalahi kebiasaan orang Mesir yang terbiasa menyimpan gandum dengan melepaskannya dari tangkainya. Karena itu, ketika mereka melakukan perintah Nabi Yusuf dan mendapatkan hasil yang lebih baik, mereka pun kemudian mengikuti cara-cara ini.
Fakta ini menunjukkan sebuah negara agar bisa berhemat dengan cara hidup sederhana. Sebab, ada masa-masa tertentu yang sangat sulit dan pasti akan dihadapi.
Dari kisah ini, kita bisa mengambil beberapa hikmah, di antaranya ialah tentang kejujuran, hormat pada orang tua, dan bagaimana Nabi Yusuf selalu mengemban amanah dengan sebaik-baiknya. Melalui sosok Nabi Yusuf, kita juga bisa belajar bahwa terkadang jalan sulit dan pedih akan lebih membawa kebaikan bagi kita.
Kita saat in hidup di era 4.0 atau lebih dikenal dengan era milenial, kita seringkali menawarkan diri dengan kesenangan maya nan menipu. Sosok “kesenangan” duniawi justru bisa membuat kita semakin tidak dekat Sang Ilahi.
Namun, Nabi Yusuf juga membuktikan bahwa dirinya adalah pemimpin yang amanah, tangguh, visioner, sekaligus welas asih pada rakyatnya. Kualitas pemimpin yang mumpuni seperti inilah yang semakin langka di zaman sekarang. Pemimpin yang kita idam-idamkan dan masih sulit dicari.
Terakhir, kita bisa mencontoh sifat sabar dan pemaaf Nabi Yusuf. Sabar dalam menghadapi ujian seberat apa pun. Sebagai muslim kita wajib meyakini bahwa Allah tidak akan memberi ujian kecuali sesuai dengan kadar kemampuan hamba-Nya. Dan bahwa bersama setiap kesulitan, insyaallah akan ada kemudahan dan kebaikan yang lebih besar dan mari kita saling berbagi dalam kebaikan dan pahala. Jangan ego dengan surga, ingin masuk sendiri melupakan orang lain. Bukankah Allah menyuruh kita untuk mengajak diri, keluarga, dan orang lain menuju kampung halaman abadi bernama surga?[]
Penulis adalah guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga, Bireuen
Editor : Ihan Nurdin