Oleh Nurlis E. Meuko
Penyair sufi, Jalaluddin Rumi, menggambarkan cinta dengan luar biasa. Simaklah: melalui cinta duri menjadi mawar, melalui cinta kemalangan nampak seperti keberuntungan, melalui cinta setan menjadi Houri, melalui cinta hantu pemakan mayat berubah menjadi malaikat, melalui cinta sumpah serapah adalah seperti balas kasih.
Sekarang mari terjemahkan objek cinta itu adalah Aceh. Maka segala perasaan dan harapan berwujud pada keindahan cinta yang tercurahkan untuk Aceh. Agar Aceh sejahtera dan damai. Pecinta Aceh murka pada segala tindakan yang merusak. Bagaimana jika cinta buta kepada pejabat yang merugikan Aceh, maka narasi yang cocok adalah: melalui cinta, kedunguan akan tampak seperti kecerdasan.
Benar, narasi ini menjadi dua alenia pembuka dinamika kritik masyarakat Aceh pada kasus peternakan lembu yang tinggal tulang berbalut kulit di Saree, Aceh Besar, di bawah tanggungjawab Pemerintah Aceh. Namun ditingkahi berbagai argumen emosional untuk pembenaran pada sesuatu yang keliru.
Di antaranya dengan memotret lembu gendut sebagai lawan lembu kurus, atau klarifikasi lembu kurus sebab sedang adaptasi. Bahkan ada yang memaparkan kekacauan data untuk menyebutkan lembu itu program Pemerintah Aceh sebelum periode ini. Bahkan berbekal data akurat pun logikanya kusut, sebab seolah-olah program pemerintah terputus setelah berganti kepemimpinan.
Para penerbit politik yang cari makan sebagai “dayang-dayang” penguasa, membangun narasi laksana logika kentut lembu lapar. Sebab kentutnya itu bukan pertanda normal, masalahnya adalah perut kembung lantaran kebanyakan makan angin.
Artinya, masalah lembu di Saree itu tak bisa dijawab dengan narasi-narasi pembenaran palsu, sebab penggunaan anggaran negara itu harus dipertanggungjawabkan secara konkrit. Maka semakin tinggi dan masifnya logika kentut lembu lapar dibangun, maka sama saja mempertontonkan kedunguan tingkat tinggi.
***
Mari beralih dari logika kentut lembu ke logika akal sehat. Ini bisa kita lihat dari gerak Ketua Ombudsman Aceh, Dr Takwaddin Husen, yang langsung berkunjung ke lokasi, Jumat (5 Juni 2020). Ia melihat sendiri kondisi lembu-lembu limosin yang harusnya berat badan satu ton jika tidak kelaparan.
Namun banyak lembu limosin seperti tengkorak berkulit yang tulang rusuknya bisa dihitung dari jauh. Ia hanya melihat 12 ekor lembu montok. Dari data yang beredar di lokasi ada lembu sekitar 400 ekor. Sementara anggaran yang dikucurkan untuk peternakan lembu ini menurut Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), mencapai Rp 158 miliar yang dialokasikan pada 2019-2020.
Selain meminta penegak hukum segera mengusut tutas persoalan lembu yang tak terurus itu, Takwaddin memberi saran agar Pemerintah Aceh –dalam hal ini termasuk DPR Aceh—untuk menerbitkan aturan yang membolehkan lembu-lembu itu dijual kepada masyarakat. Tentu dengan tujuan agar terurus dengan baik.
Sebaiknya pun, Pemerintah Aceh menghentikan kegiatan beternak lembu. Pemerintah fokus melayani rakyat, bukan malah menjadi peternak lembu yang gagal. Rakyat Aceh sangat paham mengelola peternakan. Jika serius membangun ekonomi masyarakat Aceh dengan jalur peternakan lembu –salah satunya—maka Pemerintah Aceh perlu merancang roadmap yang terarah dan tepat.
Dimulai dengan merancang qanun sebagai landasan hukumnya. Misalnya dengan menciptakan qanun mawah seperti yang pernah disampaikan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh pada Juli 2016. MPU sudah menerbitkan fatwa Nomor 4 tahun 2016 tentang Mawah. Pada intinya, mawah tak melanggar syariat Islam. Bahkan dalam fatwa ini MPU sudah meminta Pemerintah Aceh menqanunkan sistem mawah.
Menurut fatwa MPU, mawah adalah aqad antara pemilik harta dengen pengelola yang hasilnya dibagi berdasarkan kesepakatan. Mawah sudah menjadi tradisi di dalam masyarakat Aceh terutama dalam bidang pertanian, peternakan, dan perikanan. Ini adalah bentuk hukum yang tumbuh dari jiwa masyarakat Aceh yang sudah hidup sejak abad 16.
Mengenai hukum yang tumbuh dari jiwa masyarakat, maka meninjaunya dari sudut pandang mana pun akan tetap dipandang sangat baik. Montesquieu dalam bukunya The Spirit of Laws, Dasar-dasar Ilmu Hukum dan Ilmu Politik, menuliskan pelestarian adat-istiadat kuno adalah hal yang penting terkait dengan perilaku kebajikan.
Karena orang yang melakukan penyelewengan jarang melakukan tindakan yang pantas dikenang, jarang menegakkan masyarakat, membangun kota, atau menjalankan hukum, dan sebaliknya banyak lembaga yang malah berasal dari orang-orang bermoral kasar; maka menyeru orang-orang untuk berpegang pada kaedah masa lalu secara umum berarti menyeru mereka untuk kembali kepada kebajikan.
Sedangkan Friedrich Carl von Savigny penggagas mazhab sejarah hukum, menyebutkan jiwa bangsa (volkgeist) itulah yang menjadi sumber hukum. Adapun Roscoe Pound, pelopor mazhab sosiologi hukum, berpandangan bahwa tugas utama hukum adalah rekayasa sosial. Teori ini dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja di Indonesia dengan teori hukum sebagai sarana pembangunan masyarakat.
Beralih ke konstitusi negara Indonesia, yaitu UUD 1945, juga mengamanahkan penggalian kearifan lokal untuk membangun kesejahteraan masyarakat, yaitu hukum adat. Pesan konstitusi itulah yang dijabarkan dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) yang memuat kewajiban Pemerintah Aceh membangun kesejahteraan rakyat Aceh. Bahkan sebagai konsekuensinya, Pemerintah Pusat mengucurkan dana otonomi khusus yang sudah puluhan triliun ke Aceh, namun pengelolaannya tak meninggalkan jejak yang bermakna bagi kesejahteraan Aceh.
Usulan Qanun Mawah dari ulama Aceh itu menjadi satu poin penting untuk melahirkan qanun yang sifatnya mendidik dan membangun kesejahteraan bagi rakyat Aceh. Selama ini, Pemerintah Aceh lebih banyak berkutat dengan qanun-qanun yang sifatnya simbolik, namun bukan berarti tidak penting.
Jika Mawah ini sudah dipositifkan atau sudah diqanunkan, Pemerintah Aceh juga dapat membangun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang bergerak di bidang peternakan, pertanian, dan perikanan. Tentu saja jika BUMD ini secara tersurat diatur dalam qanun itu.
Sebab, lembaga usaha seperti itulah yang mampu membangun kemitraan dengan rakyat Aceh dengan sistem mawah. Bermodalkan Rp158 miliar, maka sangat besar peluang BUMD membangkitkan ekonomi rakyat Aceh melalui sektor pertanian, peternakan, dan perikanan.
***
Namun apa yang bisa diharapkan dari Pemerintah Aceh sekarang yang dikelilingi pekerja dan penerbit politik yang genit dan mentel?
Meminjam kalimat Max Weber dalam bukunya yang berjudul Sosiologi, maka penerbit politis –yang mirip jenis itu—termasuk spesies demagogis yang menjadi penyokong pemimpin demagog, yaitu kelompok yang berada dalam golongan penghasut. Spesies damagogis itu berada dalam kasta paria yang selalu dipandang oleh masyarakat berkenaan dengan representasi etisnya yang paling rendah.
Bahkan, Weber menuliskan, bahwa sering ruang tamu-ruang tamu orang kuat di dunia terlihat sama ramai dan kerap disanjung semua orang karena takut, meski tahu betul bahwa dengan nyaris tak pernah menutup pintu sang tuan rumah harus menjustifikasikan keterkaitannya dengan “para pemakan bangkai dari dunia pers” di hadapan para tamunya.
Lalu bagaimana dengan para wakil rakyat Aceh yang ada di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh? Bungkam seribu bahasa. Padahal mereka mengemban fungsi legislasi, pengawasan, anggaran. Apakah mereka ini adalah tipe orang-orang yang hidup untuk politik atau hidup dari politik. Dalam arti kata berpolitik menjadi sumber cari makan, menjadi wakil rakyat karena terpeleset dari pengangguran yang sedang mencari kerja.
Jika demikian, perilaku seperti itu bisa direfleksikan dari ciri-ciri malangnya nasib sebuah republik dalam pendapat Montesquieu. Jadi, sangat malang nasib suatu bangsa, jika wakil rakyatnya hanya terpikat oleh kemilau uang, mereka menjadi tidak peduli dalam urusan-urusan umum dan sangat berhasrat pada kekayaan. Tanpa mempedulikan pemerintahan dan segala sesuatu yang terkait denganya mereka berdiam diri menunggu bayaran.
Penulis adalah kolumnis aceHTrend.