Oleh Fauzan Hidayat, S.STP., MPA
“Apakah desa adalah udara permai daun-daun yang hijau, dan kota adalah tiang-tiang listrik yang kering, kebisingan suara serta kehidupan yang pengap? Apakah desa adalah perlambang dari sejuk damai kehidupan, dan kota adalah ekspresi dari kekerasan, kekejaman, dan kekeringan kebudayaan?”
(Emha Ainun Nadjib dalam bukunya yang berjudul: Indonesia Bagian dari Desa Saya)
Cuplikan kalimat Cak Nun tersebut menunjukkan betapa desa adalah tempat kembali sesungguhnya, di mana pembangunan pun harus dimulai dari sana.
Kebijakan membangun dari pinggiran yang digadang-gadangkan pemerintah sejak 2014 lalu dapat dinilai telah memberikan dampak positif pada peningkatan perhatian pemerintah terhadap masyarakat desa. Pelimpahan kewenangan kepada desa untuk berotonomi dengan miliaran dana yang digelontorkan pemerintah merupakan salah satu inti dari amanat UU 6/2014 tentang Desa. Namun bersamaan dengan itu pula, kasus demi kasus menimpa penyelenggara pemerintahan desa terkait dengan tanggungjawab dalam mengelola dana desa. Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat, sepanjang 2015-2018 terdapat 252 kasus korupsi anggaran desa (Kompas, Edisi 16/11/2019).
Sayangnya, kebijakan dana desa yang begitu besar tidak dibarengi dengan kesiapan pemerintah desa dari sisi sumber daya manusianya (SDM). Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat beberapa kelemahan dalam substansi regulasi desa yang ada seperti kualifikasi kepala desa yang secara pendidikan masih mengakomodir minimal pada jenjang SLTP (Pasal 21 Permendagri 112/2014). Demikian pula dengan kualifikasi perangkat desa yang dibatasi minimal berijazah SLTA (Pasal 2 Ayat (2) huruf a Permendagri 83/2015).
Meskipun ada ketentuan yang mengatur pembentukan pendamping desa dalam penyelenggaraan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa (Permendes PDTT 3/2015), tetap saja akan lebih mudah ketika kualifikasi pendidikan kepala desa dan perangkat desa paling tidak berada di level sarjana. Ini akan berimbas pada banyak hal. Seperti program-progam inovatif yang dicanangkan pemerintah akan sulit terlaksana dengan baik ketika kualitas SDM penyelenggara pemerintahan desa terbatas khususnya dari aspek kualifikasi pendidikannya.
SDM Desa Menyambut Inovasi
Santoso dkk (2019) dalam bukunya yang berjudul “Desa Cerdas: Transformasi Kebijakan dan Pembangunan Desa merespon Era Revolusi Industri 4.0” menggambarkan kisah sukses desa-desa maju dalam meningkatkan perekonomian masyarakat setempat melalui berbagai program yang secara umum diistilahkan dengan smart village.
Di antaranya adalah program desa cerdas dengan slogan belabeli.com yang menjadi unggulan di Kabupaten Kulon Progo. Bergerak di sektor produksi air kemasan, penggunaan beras daerah dan UMKM (toko milik rakyat) yang semuanya berbasis aplikasi. Program ini mendapat sambutan baik dari masyarakat setempat khususnya penyelenggara pemerintahan desa yang menjadi garda terdepan penggerak inovasi kebijakan ekonomi ini sehingga program belabeli.com tersebut secara perlahan difokuskan dapat menjadi platform start-up layaknya T*k*p*d*a, B*k*l*p*k, Bl*bl* dan lainnya namun tetap berskala desa.
Begitu juga program smart governance di Desa Dlingo Kabupaten Bantul dalam upaya memaksimalkan potensi-potensi desa untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat desa. Pengembangan layanan publik berbasis Teknologi Informasi dan komunikasi (TIK) memberikan keuntungan bagi desa dalam memberikan informasi terkait dengan data kependudukan dan kondisi desa sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pemetaan potensi desa. Dari hasil pemetaan inilah yang kemudian digunakan oleh pemerintah Desa Dlingo untuk mengembangkan perekonomian desa berdasarkan pengembangan produk lokal dan potensi wisata.
Dua contoh desa cerdas di atas adalah sebagian dari empat desa lainnya yang dipaparkan dalam buku tersebut. Pada intinya, SDM penggerak organisasi desa merupakan unsur yang sangat penting dalam mengimplementasikan kebijakan baik yang bersumber dari Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah. Menyiapkan SDM yang unggul tentu memerlukan proses yang lama. Namun, dengan sedikit menaikkan level kualifikasi pendidikan melalui rekrutmen dan seleksi kepala desa dan perangkat desa serta Badan Permusyawaratan Desa (BPD) paling tidak telah menyentuh upaya penyiapan SDM unggul tersebut.
Sarjana Aceh & Urbanisasi
Data Statistik Potensi Desa di Aceh 2018 menggambarkan bahwa dari 6.419 desa sebanyak 4.316 jabatan kepala desa diisi oleh lulusan SLTA sederajat. Sedangkan, lulusan sarjana (S1) hanya menempati 696 jabatan kepala desa disusul magister (35) dan doktoral (1). Sisanya adalah para Kades dengan kualifikasi SLTP (1.127), SD (59), tidak tamat SD (28) bahkan juga diisi oleh yang tidak pernah sekolah (6).
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah anggaran sebesar itu dapat dikelola dengan baik oleh SDM yang secara kualitas sangat terbatas?
Sementara di sisi lain, jumlah pengangguran yang semakin banyak diisi oleh para sarjana. Tercatat di Provinsi Aceh sebanyak 31.694 sarjana angkatan kerja yang termasuk dalam kategori pengangguran (BPS, 2019).
Stigma urbanisasi yang sejak dulu menjadi penghambat para sarjana untuk berkiprah di desa memang tidak mudah terhapus. Alasan seperti sulitnya memperoleh lapangan pekerjaan dan terbatasnya upah minimum regional serta alasan mempertahankan gengsi bergelar sarjana kerja di desa; menjadi faktor pendorong utama terbangunnya persepsi mereka bahwa kehidupan di kota adalah lebih baik sehingga pilihan urbanisasi menjadi primadona sebagian besar para sarjana.
Padahal, tidak jarang kita melihat para sarjana ini merupakan aktifis-aktifis hebat di almamaternya. Segudang ilmu dan pengalaman berorganisasi hingga penguasaan terkait teori-terori organisasi yang telah matang seharusnya menjadi modal bagi mereka untuk dapat berkiprah dalam pembangunan kesejahteraan masyarakat skala desa.
Menjadi seorang kepala desa atau perangkat desa di era ini bagi seorang sarjana bukanlah aib. Kiprah para sarjana di belahan Nusantara telah berpengaruh dan berdampak positif terhadap kemajuan desa hingga daerahnya sebagaimana contoh dua desa di atas yang terus bergerak maju dengan support para sarjananya.
Peran Pemda dalam Penguatan SDM Desa
Tentunya upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas SDM handal yang memiliki kemampuan adaptif dalam menyambut berbagai kebijakan inovatif skala desa; adalah melalui pendidikan dan pelatihan. Maka, akan menjadi sulit ketika masing-masing individu dari SDM yang dididik dan dilatih tersebut tidak memenuhi standar kualifikasi pendidikan dan usia yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Oleh karenanya, dibutuhkan setidaknya unsur perangkat Desa dari mereka yang berpendidikan sarjana. Upaya penjaringan dan penyaringan perangkat desa ini kiranya dapat dilakukan melalui pembentukan peraturan daerah (qanun) kabupaten/kota sebagaimana yang diamanatkan dalam ketentuan Pasal 65 Ayat (2) PP 43/2014 mengenai syarat lain yang dapat ditetapkan oleh pemda dan mengarah pada rekrutmen perangkat desa dengan kualifikasi pendidikan tinggi.
Atensi Pemda yang besar terhadap hal ini tentu sangat berarti. Mengingat peran pemda dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa begitu besar dengan segenap kewenangan yang ada sesuai dengan kearifan lokal setempat (Pasal 112 UU 6/2014).
Akhirnya, optimisme akan terwujudnya cita-cita pembangunan masyarakat desa yang lebih baik dan sejahtera akan semakin tinggi seiring dengan adanya itikad baik dari semua stakeholder yang ada khususnya mereka yang memiliki kewenangan berkaitan dengan penguatan kualitas SDM penyelenggara roda pemerintahan desa. SDM yang berisikan para sarjana dengan bekal ilmu yang matang dan pengalaman yang baik untuk kemudian dapat melakukan inovasi dan terobosan konstruktif bagi kemajuan desa.
Penulis adalah Kasi Pembinaan dan Pengawasan Adm Pemerintahan Mukim dan Kampung Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Aceh Singkil.