Oleh Nurlis E. Meuko
Sebetulnya Aceh merupakan salah satu wilayah keberuntungan, namun rakyatnya menerima warisan kemurungan dari kemegahannya. Kalbunya disesaki kepiluan bangkai situs kejayaan dan kemuliaan yang berkelindan dengan rapalan mantra fiksi kesejahteraan.
Sementara, sejumlah elitnya berwujud pemburu nafsu purba. Perilaku yang bertolak belakang dengan intrinsik peradaban Aceh yang bermartabat, bijaksana, dan anggun. Prinsip pemerintahan al-qadhi malikul ‘adil menjadi pengantar tidur.
Memutar kisah lama, maka Aceh memiliki reputasi yang luar biasa. Selain memiliki sejumlah ulama karismatik yang kehebatannya menembus Asia seperti Hamzah Fansuri, juga umara yang mampu mendorong Aceh dalam pergaulan internasional.
Menurut catatan sejarah, jejak kebesaran Aceh itu bisa dilihat pada kiprahnya menembus rantai perdagangan negeri China, India, Gujarat, Timur Tengah sampai ke Turki. Bahkan, laman kompas.com, dalam artikel berjudul Faktor Kerajaan Aceh Berkembang Pesat dan Kemunduran, disebutkan Aceh mampu menerobos jalur perdagangan Portugis mulai dari Selat Malaka sampai ke Teluk Persia.
Sebetulnya, reputasi Sultan Iskandar Muda yang mampu masuk “jalur sutra”, sudah cukup menunjukkan Aceh berada dalam pergaulan dunia kelas tinggi pada abad 17. Di masa itu China sudah berwujud negara maju. Melihat melalui buku Filsafat Sejarah karya filsuf GWF Hegel, maka terbentang sebuah negara kerajaan tertua di dunia yang sudah ada sejak 3000 tahun sebelum Masehi. Di masa itu saja, China sudah memiliki dokumen kenegaraan, politik, hukum, sains, bahkan karya sastra dan peradaban yang tinggi.
Jadi sangat wajar jika Hasan Tiro bercita-cita mengembalikan kejayaan kerajaan Aceh, hingga muncullah jargon Aceh bansa teuleubeeh ateuh rhung donya. Pencapaiannya sampai pada batas meletakkan Aceh menjadi sebuah provinsi berstatus otonomi khusus dan tetap menjadi bagian dari Indonesia.
Namun, perjuangannya tetap saja bernilai tinggi, dan menjadi penyebab Pemerintah Pusat mengucurkan uang puluhan triliun tiap tahun untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh. Sayangnya, terjadi gap phenomenon pada penerapannya di Aceh, ketimpangan antara harapan kesejahteraan Aceh dan kemampuan personal pemimpin di Aceh.
Bagaimana berharap sejahtera, bahkan beternak lembu yang cuma makan rumput pun bisa kelaparan. Kini muncul ilusi baru, menyebarkan harapan mengelola blok. Dari sini sudah terlihat pola pikir pemangku kepentingan di Aceh, mirip kontraktor yang orientasinya dari proyek ke proyek. Jadi pantas saja kekeringan ide jika berkaitan dengan kesejahteraan rakyat Aceh.
Kemurungan Aceh makin lengkap, tatkala berpaling ke arah para wakilnya di gedung DPR Aceh pun ternyata tak bisa diharap. Jangankan mengimbangi ketimpangan kemampuan pada kepemimpinan di Pemerintah Aceh, malah menjadi pelengkap yang percuma.
Membahas perilaku anggota DPR Aceh yang bertaburan di mesin pencari Google pun seperti menyampahi narasi diskusi. Tapi apa boleh buat, terpaksa mengambil contoh sebagai pelengkap, misalnya satu anggota dewan yang sibuk dengan perkara berebut lelaki.
Anggota dewan lain, asyik memamerkan foto makan bersama pejabat di Pemerintah Aceh. Selebihnya, jika pun ada pernyataan, tak menyentuh substantif memihak rakyat Aceh. Artinya, jabatan wakil rakyat terlampau mewah untuk ukuran pemikiran semacam itu. Juga terlalu berat bagi mereka yang diam.
Lalu, apakah para anggota DPR Aceh sekarang ini adalah sebuah kesia-siaan dari proses demokrasi yang melelahkan dan mengabaikan amanah rakyat Aceh? Hanya ada ada tiga kemungkinan, yaitu malas dan menikmati jabatan dan menunggu bayaran, ikut bersyubhat dalam kesalahan, atau rakyat Aceh terperdaya hingga salah memilih.
Tentang kemungkinan rakyat Aceh terperdaya, kesimpulan ini sangat meragukan. Sebab, jika itu yang terjadi, maka rakyat Aceh telah salah menempatkan orang sebagai wakilnya. Ini sangat tragis, telah terlempar sampai ke problematik politik zaman klasik. Seperti kondisi Yunani kuno pada abad-5 Sebelum Masehi (SM), yang menjadi dasar pemikiran filsuf klasik Aristoteles mengulas sisi negatif demokrasi.
Kendati pemikiran Aristoteles melintasi zamannya, namun mengenai politik merupakan refleksi zamannya. Dalam bukunya berjudul “Politik”, disebutkan pemerintah yang buruk menuntun kepada keresahan, dan cenderung saling melahirkan yang disertai kekerasan, inilah yang menyebabkan oligarki melahirkan demokrasi, karena orang miskin membenci orang kaya yang jumlahnya sedikit, yang kemudian melahirkan tirani, sedangkan orang awam yang dungu diperdaya oleh penghasut rakyat untuk memberi kekuasaan kepada yang lebih tak bermoral.
Tentu saja politik abad ke-5 SM sangat berbeda dengan kondisi abad 21 masehi. Rentang masa ribuan tahun itu sangat banyak perubahan yang terjadi. Terutama pada ilmu pengetahuan. Teknologi digital sekarang ini memudahkan orang untuk mencari rekam jejak politisi. Jadi, kemungkinannya adalah para politisi itu sebelum duduk di kursi empuk, memiliki rekam jejak positif sebagai pembela rakyat. Wujud seperti itu sangat ideal untuk menjadi pilihan.
Namun nikmatnya berkuasa dapat mengubah Deoxyribo Nucleic Acid (DNA)-nya menjadi pikun. Seperti diserang penyakit alzheimer. Ditandai penurunan daya ingat, berkurangnya kemampuan berpikir, kesulitan berbicara, perubahan perilaku, serta berakhir pada halusinasi dan delusi.
Jika mampu menjaga keseimbangan antara akal sehat dan kehendak nafsu, maka para politisi sangat berpotensi menggerakkan roda perkembangan kemajuan daerah Aceh. Bahkan mampu mengubah fiksi-fiksi omong kosong kesejahteraan menjadi kenyataan.
Bagaimanapun, perilaku politisi yang beradab bisa dilihat dari kemampuannya menerapkan imajinasi politisnya dalam kaitannya dengan kepentingan publik, bukan dengan kepentingan pribadi.[]
Kolumnis aceHTrend.