Oleh Muhammad Hadi Akbar*
Ayah saya, seorang guru senior di salah satu sekolah di Aceh Singkil. Tepatnya, di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Singkil Utara yang terletak di Desa Gosong Telaga Barat.
Di samping Ayah berprofesi sebagai guru pegawai negeri sipil (PNS) lebih kurang 20 tahun, ia tergolong guru pembelajar yang hobi menulis dan gemar literasi.
Beberapa tulisannya, acap dimuat dan tayang di media massa, baik cetak maupun online. Bahkan, beberapa buah buku pernah ditulis dan diterbitkannya. Ada buku antologi dan buku solo.
Sejak Covid-19 atau Coronavirus Disease-2019 merebak di Indonesia, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk memutus mata rantai penyebaran virus yang berasal dari Wuhan, Tiongkok itu.
Salah satu upaya yang gencar dan serius malah melibat berbagai elemen negara dan masyarakat, yaitu melakukan physical distancing dan social distancing.
Ya, semacam imbauan dan gerakan untuk menjaga jarak di antara masyarakat, menjauhi aktivitas dalam bentuk kerumunan, perkumpulan, dan menghindari pertemuan yang melibatkan orang banyak. Semua itu dilakukan melalui prosedur yang sesuai dengan protokoler kesehatan.
Sebagai tindak lanjutnya physical distancing dan social distancing, pemerintah mengeluarkan Surat Edaran Kemendikbud Nomor: 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa Covid-19 dan Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor: 440/4989/2020 tentang Proses Belajar Mengajar Siswa di rumah.
Sejak keluarnya surat edaran itu, Ayah tidak pernah lagi keluar rumah dan ke sekolah. Kalaupun Ayah keluar rumah, paling hanya ke masjid menunaikan salat berjamaah, menemani umak belanja, dan ke Posko Covid-19 Gosong Telaga Selatan. Karena Ayah termasuk tim relawan posko tersebut.
Sekali-sekali Ayah ke sekolah, kalau ada panggilan mendadak dari kepala sekolah atau admin sekolah. Itu semua dilakukan Ayah dengan mengikuti protokoler kesehatan, seperti pakai masker, cuci tangan, dan jaga jarak.
Jika Ayah sedang di rumah, aktivitasnya saya lihat, lebih banyak membaca buku. Beberapa buah buku tebal terlihat dibacanya. Sebagian buku lain, masih terletak menumpuk di atas meja kerja.
Saya amati, semua buku itu, ada buku lama, buku baru beli. Ada pula buku yang dipinjamnya dari Perpustakaan dan Arsip Daerah.
Tidak itu saja, setiap bakda halat, terutama salat Ahar dan Subuh, Ayah terlihat duduk di kursi kerjanya sembari menggerakkan jari-jemari di atas keyboard laptop jadulnya yang bermerek Acer.
Ketika saya sapa dan tanya apa yang Ayah ketik dan tulis, ia menjawab, sedang menulis tujuh buah cerita legenda di Aceh Singkil. Kemudian menulis cerita berseri “Sekelumit Kisah Kehidupanku”.
Kata Ayah khusus untuk tulisan berseri ini, Ayah menulis setiap hari selama seratus hari. Tulisan itu, diposting di media sosial Facebook.
“Kalau tulisan-tulisan itu nanti berakhir batas deadlinenya dan rampung seluruhnya. Lalu dipermak lagi, ditambah konten dan diedit, akan dijadikan buku autobiografi sebagai khasanah bacaan,” ucap Ayah.
“Jadi Ayah menulis setiap hari berapa kata?” tanyaku penasaran.
Ia menjawab, “Ayah menulis antara 400 sampai 1.000 kata setiap harinya.”
“Berarti selama tiga bulan Ayah bisa terbitkan satu buku yang berisi 200 atau 300 halaman. Kalau begitu satu tahun Ayah bisa terbitkan empat buku?” ujarku.
“Iya. Insya Allah. Ini komitmen TBSB alias tiga bulan satu buku yang Ayah programkan selama social distancing ini,” jawab Ayah.
Mendengar jawaban Ayah dan menengok aktivitasnya selama diam di rumah saja atau sejak merebak Covid-19, aku semakin kagum pada Ayah. Ayah hebat. Umurnya sudah berkepala lima tapi masih tetap kreatif dan produktif menulis.
Menulis itu kata Ayah pada saya, sangat bermanfaat. Salah satu manfaanya, kita akan terbebas dari tekanan hidup dan pikiran yang ruwet.
S.I. Hayakawa, pernah menukilkan, “Menulis adalah belajar berpikir. Anda tidak akan mengetahui apa pun dengan jelas, kecuali Anda dapat mengungkapkannya secara tertulis.”
Dylan Thomas pernah berpesan, “Menulislah, karena hanya itu cara untuk membuat dunia tahu apa yang engkau pikirkan.”
Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Apabila kita ikuti informasi, selama ada Covid-19, telah membuat ribuan orang terpapar bahkan ribuan jiwa manusia telah tewas. Jumlah yang meninggal ini diperkirakan akan terus bertambah.
Di samping itu, keberadaan Covid-19 telah pula melululantakkan perekonomian, mengubah tatanan sosial kemasyarakatan, dan memporakporandakan berbagai kegiatan termasuk agenda kenegaraan dan kemasyarakatan.
Kendati begitu, banyak juga hikmah yang bisa kita petik dari musibah korona ini. Di antaranya, kita lebih mendekatkan diri pada Allah Swt dengan cara menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, mengakrabkan hubungan keluarga, menjadi peduli akan kesehatan dan lingkungan, kondisi alam semakin membaik, serta kita semakin peduli antarsesama.
Khusus bagi keluarga saya, dengan adanya Covid-19 dengan segala tindak lanjutnya, seperti social distancing, lockdown, pembatasan sosial berskala besar (PSBB), dan lain-lain, membuat Ayah semakin kreatif, optimisme, dan produktif dalam menulis.
Sementara bagi saya, saya semakin termotivasi dalam berinovasi dan berkreativitas jika bisa akan mengikuti jejak Ayah sebagai penulis.
Bukankah dengan tulisan, kita bisa mewariskan setetes ilmu dari ribuan tetes ilmu yang ada. Saya juga ingin dikenang, seperti bunyi pribahasa: “Gajah mati meninggalkan gading. Harimau mati meninggalkan belang. Kalau manusia mati meninggalkan jasa.”[]
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Teknik Arsitektur Unsyiah, Banda Aceh. Pemenang Juara I Lomba Cerita Ikatan Mahasiswa Aceh Singkil (Imasil).
Editor : Ihan Nurdin
Publikasi ini merupakan kerja sama antara aceHTrend dengan Imasil.