ACEHTREND.COM, Banda Aceh – Informasi perihal kesempatan yang diberikan kepada Aceh berupa kewenangan untuk mengambil alih pengelolaan minyak dan gas di wilayah kerja Blok B Aceh Utara menghangat dan menjadi perbincangan publik. Pro dan kontra terkait kewenangan Aceh menjadi arus utama pemberitaan media massa cetak dan online sejak Jumat (19/6/2020).
Bisa dipahami, hal tersebut berdasarkan klaim Pemerintah Aceh yang mengatakan bahwa ini merupakan hasil dari penantian panjang selama 44 tahun sejak 1976. Di mana pemerintah pusat disebut-sebut telah merestuinya dengan menerbitkan surat bernomor 187/13/MEM.M/2020 melalui Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) pada 17 Juni 2020.
““Alhamdulillah. Ini hasil perjuangan panjang sejak 1976,” kata Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah menyikapi surat tersebut pada Jumat (19/6/2020).
Nova menyampaikan terima kasih kepada seluruh masyarakat Aceh atas doa dan dukungan. Ia juga bersyukur, perjuangan keras yang diintensifkan selama dua tahun terakhir telah membuahkan hasil.
Terkait surat dari Menteri ESDM tersebut, Plt Deputi Dukungan Bisnis BPMA, Afrul Wahyuni, mengatakan bila tidak ada yang khusus dari surat yang dikirimkan itu. Ia sendiri mengaku tidak mendapatkan salinannya dan hanya mendapatkan perintah langsung dari Kepala BPMA dan hanya mendapatkan poin-poin dari surat tersebut.
“Itu tidak ada yang khusus, itu surat seperti misalnya di Medco habis kontrak, jadi menteri kirimkan pemberitahuan, tapi ini karena ada tolak tariklah (sehingga jadi perbincangan),” kata Afrul Wahyuni kepada aceHTrend saat ditemui di kantornya, Selasa (23/6/2020).
Surat tersebut kata Afrul, berisikan pemberitahuan agar BPMA memfasilitasi perusahaan daerah dalam hal ini PT Pema untuk melakukan pengelolaan Blok B yang pada 17 November 2020 nanti habis masa kontraknya dengan PT Pertamina Hulu Energi selaku perusahaan existing saat ini.
“Jadi ya sesuai mekanisme yang berlaku. Ini adalah hal yang lumrah di dunia migas, ketika berakhirnya kontrak satu blok akan ada perpanjangan kontrak yang baru.”
Namun, yang membuat khusus katanya, bila di blok-blok lain setelah habis kontrak maka yang mendapatkan penawaran pertama adalah BUMN seperti yang terjadi di Blok Mahakam Kalimantan yang selama ini dikelola oleh Total IP.
Namun berbeda halnya untuk Aceh. Dengan adanya UUPA dan PP Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Migas di Aceh, maka badan usaha milik daerahlah yang pertama kali mendapat tawaran tersebut. Dengan begitu kata Afrul, PT Pema selaku badan usaha milik Pemerintah Aceh saat ini memang menjadi prioritas dari pemerintah pusat untuk mengelola Blok B tersebut.
Untuk itu, PT Pema diminta untuk mengajukan penawaran/permohonan dengan melengkapi syarat-syarat tertentu meliputi di antaranya kemampuan teknis, kemampuan manajerial, hingga kemampuan finansial. Hal ini nantinya yang akan menjadi tolok ukur oleh BPMA ketika mengevaluasi proposal tersebut sebelum memberikan rekomendasi kepada Menteri ESDM setelah sebelumnya mendapatkan persetujuan gubernur Aceh.
“BPMA ini seperti SKK Migas, tugasnya mengevaluasi, melihat semuanya, apabila ternyata untuk negara profit sharingnya bagus, setelah ada persetujuan gubernur kita ajukan rekomendasi ke menteri.”
Namun, bila penawaran yang diajukan oleh PT Pema dinilai tidak menguntungkan untuk negara, maka juga ada kemungkinan-kemungkinan untuk dilakukan lelang terbuka.
“Ada beberapa kasus, ketika BUMD-nya ditawarkan tidak ekonomis, ditawarkan ke BUMN juga tidak ekonomis, akhirnya negara akan melakukan lelang terbuka. Nah, tapi kalau dilihat dari kasus Blok B ini, tua tapi seksi,” kata Afrul, “jadi kemungkinan tidak ekonomis itu kurang. Ketika ladang itu tidak ekonomis untuk perusahaan internasional, jadi ekonomis untuk perusahaan nasional, berarti akan sangat ekonomis bagi perusahaan daerah.”
Walaupun untuk saat ini peluang terbesar diberikan kepada PT Pema untuk menjadi operator berikutnya, tidak menutup kemungkinan peluang itu diberikan kepada perusahaan lain. Namun, kata Afrul kemungkinannya sangat kecil.
“Pertama ketika ini menjadi prioritas, itu ada dalam PP Nomor 23. Tapi kalau ternyata ada mekanisme yang lebih baik, negara melihat kemungkinan seperti itu dan apabila itu memberikan keuntungan yang lebih besar untuk Aceh dan negara, itu bisa saja terjadi. Dari prioritas, dari undang-undang, dari regulasi yang berlaku, tanpa melangkahi garis takdir, sebenarnya wajar-wajar saja dari Pema merasa ini sudah di tangan mereka. Wajarnya itu tadi, berdasarkan previllage tadi, masalahnya sekarang mereka ya tinggal melengkapi dokumen itu yang siapa pun yang akan mengambil alih blok itu harus melengkapinya.”
Pada kesempatan itu Afrul Wahyuni juga membantah rumor yang beredar bila ada oknum-oknum di BPMA yang membantu membuatkan proposal atas nama PT Pema. Dalam hal ini kata dia, semua data yang diperlukan oleh PT Pema untuk open data (pembukaan dan pemanfaatan data) semuanya tersedia di perusahaan existing dan di kementerian terkait. Untuk kebutuhan tersebut, PT Pema bisa langsung meminta ke PT PHE selaku perusahaan operator saat ini berdasarkan surat dari BPMA.
“Ini adalah hal yang lumrah ketika mereka butuh data tanya ke BPMA selaku regulator tadi, tapi bukan BPMA yang membuat proposalnya karena BPMA tidak berkemampuan untuk itu,” katanya.
Di samping itu, menteri juga meminta BPMA mengirimkan skedul proses peralihan Blok B tersebut dalam tempo 14 hari sejak surat diterima. Skedul itu berisikan jadwal-jadwal seperti proses dimulainya open data yang dipersiapkan oleh PT Pema, tahapan evaluasi, hingga hal-hal teknis lainnya sebelum 17 November 2020. Skedul tersebut sudah dikirimkan oleh BPMA pada Selasa, 23 Juni 2020.
Seperti diketahui, tugas BPMA melakukan pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap kontrak kerja sama kegiatan usaha hulu agar pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik negara yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Sementara terkait sumber daya manusia, Afrul menegaskan bahwa persoalan ini bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Ketika terjadi pengambilalihan blok, maka yang mengalami pergantian hanya di level manajemen saja.
Afrul mengatakan, apa yang selama ini diminta oleh rakyat Aceh peluangnya saat ini ada di depan mata. “Artinya ini akan jadi kenyataan, soal mampu atau tidak mampu, itu relatif, PT Pema mampu atau tidak, BPMA tidak bisa menjawab, itu ada ranahnya di Pema,” kata Afrul.[]