ACEHTREND.COM, Banda Aceh – Wali Nanggroe (WN) Aceh, Tgk Malik Mahmud Al-Haytar meminta Komisi I DPRA untuk melakukan kajian terkait poin-poin MoU Helsinki yang belum dipenuhi oleh Pemerintah Pusat. Ia juga mengatakan, jika tiba masanya dirinya akan bertemu siapa pun pemegang kebijakan di Jakarta untuk poin-poin perjanjian damai yang belum terealisasi.
Hal tersebut disampaikan Tgk Malik Mahmud kepada sejumlah wartawan usai melakukan pertemuan dengan Komisi I DPRA di Meuligoe Lembaga Wali Nanggroe, Rabu (24/6/2020).
“Banyak hal yang dibicarakan tadi, tentang kekhususan dan keistimewaan Aceh, termasuk masalah perbatasan, saya juga tidak tau detail persoalan yang sedang terjadi, sehingga saya katakan kepada Komisi I DPRA untuk melakukan kajian dululah, apa persoalan sebenarnya, kalau ada dokumennya di mana, nanti kita pelajari lagi,” kata Tgk Malik Mahmud.
Menurut Tgk Malik, soal tapal batas Aceh sudah sering diminta dokumennya ke Pemerintah Pusat di Jakarta, termasuk kepada Jusuf Kalla yang sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden, tetapi tidak pernah diberikan.
“Saya sudah sering minta dokumen terkait 1 Juli 1956 ke Pemerintah Pusat, termasuk pada wakil presiden Jusuf Kala, namun itu tidak pernah diberikan hingga saat ini,” kata Malik.
Soal butir MoU yang belum terealisasi, sambung Tgk Malik Mahmud, sudah diminta kepada DPRA agar bersinergi dengan Pemerintah Pusat untuk penyelesaian poin-poin yang belum selesai.
“Saya minta supaya anggota dewan harus lebih bersinergi dengan pusat, ini hak mereka, tugas mereka untuk bagaimana cara agar semua diselesaikan, dan mereka bisa menyampaikan langsung ke Jakarta, begitu juga dengan tugas saya, kalau tiba masanya saya akan ke sana berjumpa dengan orang-orang yang saya anggap bisa menyelesaikan ini,” katanya.
Sementara itu, Ketua Komisi I DPRA, Muhammad Yunus mengatakan, pihaknya membicarakan beberapa isu terkini di Aceh saat bertemu dengan Wali Nanggroe, terkait MoU Helsinki termasuk masalah tapal batas Aceh dengan Sumatera Utara.
“Poin 114 tentang MoU Helsinki itu terkait tapal batas Aceh pada tahun 1956, tahun itu rupanya perjanjian antara tim Republik Indonesia dengan GAM, dalam hal itu mereka wajib menghadirkan peta batas tersebut, baru mereka bisa menentukan tapal batas Aceh, yang lain itu ada delapan item butir MoU yang belum terealisasi sama sekali, seperti kewenangan Aceh untuk mengatur hal publik, hanya enam poin yang tidak boleh termasuk pertahanan dan hubungan luar negeri, dan kita akan tindak lanjut masalah yang kita bahas dengan Wali Nanggroe,” katanya.
Menurutnya, banyak persoalan perjanjian damai yang belum jelas, termasuk soal pertanahan, pertambangan, dan banyak lagi, walaupun dalam Undang-Indang RI Nomor 11 Tahun 2006 semua sudah jelas, tapi saat diterapkan berbenturan dengan UU RI Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
“Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2006 semua sudah jelas, tapikan ketika dijalankan selalu berbenturan dengan UU Nomor 23, makanya kita sepakat dan kita mohon supaya kita di legislatif dengan eksekutif untuk bersama-sama menjalankan undang-undang kekhususan dan keistimewaan Aceh, yang sudah lahir dengan semangat perjuangan,” katanya.
Ia berharap dukungan masyarakat, semua orang Aceh, karena masalah UUPA ini bukan undang-undang Partai Aceh, tapi Undang-Undang Pemerintah Aceh.
“Gam berjuang juga bukan untuk Partai Aceh, GAM berjuang untuk rakyat Aceh, jadi semua butir-butir MoU itu diperjuangkan oleh almarhum Wali Hasan Tiro untuk kesejahteraan rakyat Aceh, bukan sekelompok orang Aceh,” kata M Yunus.[]
Editor : Ihan Nurdin