Oleh Helmi Abu Bakar El-lamkawi*
Malam yang kelam dengan hawa dingin menembus jalan tembus yang kian banyak dilalui pelintas menuju Negeri Antara via Gunung Salak. Walaupun sempat harus ganti ban dan mengevakuasi rombongan serta menembus kabut yang tebal, akhirnya roda empat kendaraan perlahan terus berotasi meluncur di badan aspal dengan jalur mendaki, sesekali turun naik, hingga tiba di kawasan Kabupaten Bener Meriah menjelang tengah malam.
Trevelling religi dalam agenda musafir silaturrahmi ke negeri dingin itu sampailah ke kota kecil dan berhentilah sang besi berjalan itu di dataran tinggi bernama Pondok Baru di Kecamatan Bandar. Keindahan nan sejuk serta embusan angin, suasana Pondok Baru seakan mengingatkan kita berada di pinggiran Kota Sinsheim, Jerman. Pondok Baru kini setelah pemekaran telah menjadi bahagian dari Kabupaten Bener Meriah bukan lagi bagian dari Kota Takengon, Aceh Tengah.
Kebun kopi dan beraneka ragam tanaman masyarakat yang menghiasai kesuburan Pondok Baru melengkapi lanskap kota dingin itu. Kedinginan Pondok Baru akan terasa berbeda bila kita berada di tempat lain di kabupaten tersebut. Susana kota kecil itu semakin meriah dan ramai dengan berdiri ruko yang bertingkat nan kokoh. Para pedagang mayoritasnya dikuasai oleh masyarakat “Cina Hitam” yang berasal dari Pidie, bahkan hampir 80 persen.
Sejarah Bener Meriah
Kota Pondok Baru berada dalam wilayah Kecamatan Bandar, Kabupaten Bener Meriah yang merupakan kabupaten termuda dalam wilayah Provinsi Aceh. Kabupaten Bener Meriah hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2003 pada 18 Desember 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bener Meriah di Provinsi Aceh. Diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada 7 Januari 2004.
Menikmati kopi Gayo di daerah asalnya, Bener Meriah terasa beda. Selain benar-benar menikmati kopi dari sumber aslinya, juga dukungan pemandangan nan indah. Keindahan Bener Meriah begitu juga dengan saudara kandungnya Aceh Tengah (Takengon) tak perlu diragukan lagi baik itu Danau Laut Tawarnya, Pemandian Air Panas Simpang Balik, dan lainnya. Wilayah Kabupaten Bener Meriah yang seluas 1.454,09 Km2.
Menelesuri asal usul Bener Meriah, Menurut suatu sumber bahwa kata Bener Meriah berasal dari bahasa Gayo yang terdiri atas dua kata, yakni bener artinya dataran yang luas. Sedangkan meriah artinya senang. Jadi dapat disimpulkan bahwa arti Bener Meriah adalah sebuah dataran yang luas dan menyenangkan. Ada juga yang mengatakan Bener Meriah adalah pangeran pada masa Kerajaan Linge yang makamnya diyakini terletak di daerah Samarkilang, Kecamatan Syiah Utama, Kabupaten Bener Meriah. Ada juga pendapat mengatakan bahwa Bener Meriah memiliki hubungan dengan legenda “Gajah Putih”. Yang diambil dari nama abang kandung Segenda yang berhasil membawa Gajah Putih dari Negeri Linge ke Kute Reje (Banda Aceh sekarang) yang bernama Meria. Mereka adalah putra raja Linge XIII (M. Saleh Bukit) yang beribukan puteri keluarga Sultan Malaka. Ayahanda mereka (Raja Linge XIII) wafat ketika menjalankan tugas sebagai wakil Kerajaan Aceh dalam pemerintahan Sultan Johor (Tahun 938 H-1533 M) yang dipimpin oleh Sultan Alaoedin Mansoer Syah bin Sultan Mahmud Syah, dan beliau juga ditugasi memimpin sebuah pulau dekat Selat Malaka dengan program pokok mengembangkan Kerajaan Johor dalam menghadapi Portugis. (Hammaddin, Mengapa Harus Bernama Bener Meriah?: 2015)
Pondok Baru Negeri Ukhuwah dan Destinasi Kopi

Sebuah tatanan kehidupan tidak akan maju suatu negeri seperti majunya Kota Pondok Baru tanpa ada relasi, kerukunan, dan toleransi yang baik antara masyarakat pendatang dan tempatan. Masyarakat di sini antara pendatang dan warga setempat sudah membaur dan tidak ada istilah dibeda-bedakan serta mereka saling bantu membantu laksana kaum Ansar dan Muhajirin pada masa Rasulullah saw. Bagi mereka bukan sekedar sejarah sebuah kenangan dan tulisan yang dibukukan dan disusun rapi, tetapi mereka mampu merealisasikannya.
“Kami yang telah lama menetapkan dan bermasyarakat di sini, masyarakat pribumi menaruh hormat dan saling berbagi, membantu serta membaur laksana satu komunitas, tidak ada perbedaan walaupun kami berbeda suku,” ujar Bang Im, panggilan anak dari pasangan Mahmud-Aminah seorang pedagang yang berasal dari Lamkawe, Kembang Tanjung, Pidie yang telah lama menetap dan menjadi penduduk Pondok Baru di sela-sela menghirup kopi khas luwak Gayo.
Sang saudagar muda nan sukses itu menyebutkan fenomena di Kota Pondok Baru ini sudah berlangsung lama dengan penuh keakraban suku yang mendiami Kota Pondok Baru telah mengangkat perdangan, perkebunan, dan lainnya. Status Pondok Baru menjadi salah satu kota sentral di negeri dingin Bener Meriah. Mata kita akan terhibur dengan pemandangan visual lewat pohon pinus, di samping juga dimanjakan dengan serangkaian vegetasi tropis dihiasi dengan rumah semi permanen, dan wajah-wajah riang dari anak-anak lokal saat mereka bercanda ria dengan sesama dihiasi pepohonan dengan ratusan hektaer pohon kopi. Angin dingin akan menyapu wajah kita, ketika melewati lapisan kabut dan hawa yang sangat dingin.
“Kami di sini cuaca dingin yang sangat terasa di bulan Desember, di bulan ini sangat terasa cuaca kedinginannya,” kata Bang Im saudagar muda sekaligus petani kopi yang mempunyai lahan kopi yang luas di sekitar Pondok Baru, Permata, dan lainnya.
Penjelajahan terus berlanjut menelusi jalan yang tembus ke simpang KKA Lhokseumawe, rasa penasaran bagaimana potensi negeri yang di zaman Belanda dulu merupakan pusat perkebunan teh, kini telah menjadi salah satu daerah penghasil kopi terbesar di kabupaten Benar Meriah. Sang roda empat menjelajah kawasan Permata, Ramung, dan daerah sekitarnya. Kebun kopi menghiasi pemandangan dengan udara yang lembab dan bersahabat, kiri kanan kebun kopi, sebagian ada yang sudah siap panen sebagian lainnya masih muda. Melihat kondisi yang sangat menjanjikan, dengan aset kebun kopi yang dominan sungguh apabila dapat dikelola dengan desain yang sedikit berkreasi dapat dijadikan Pondok Baru dan sekitarnya sebagai destinasi wisata kopi.
Di samping mempunyai nilai jual bagi wisatawan dan juga nilai ekonomis dengan kopinya. Bahkan apabila destinasi wisata ini telah hidup dan menghiasi parawisata Bener Meriah pada umumnya sungguh perekonomian lain akan ikut tumbuh subur juga. Malahan kopi Gayo termasuk Kopi Pondok Baru yang ditawarkan Bang Im Lamkawe yang mempunyai beberapa hektare lahan kopinya sendiri disebut-sebut termasuk kopi organik yang terbaik di dunia. Berdasarkan beberapa catatan menyebutkan bahwa area perkebunan kopi di Gayo adalah yang terluas di Indonesia. Mencapai 94.800 hektare. Menurut salah seorang petani kopi setempat, kopi di wilayahnya memiliki kualitas di atas kopi-kopi di wilayah lain. Kopi-kopi tersebut pun dikelompokkan dalam beberapa kelompok ulai dari premium, super, baik, dan campuran, hingga kopi luwak.
Dalam lintasan sejarah dulunya Pondok Baru sebagai pusat teh terbesar sehingga kaum penjajah berusaha merebut kota dingin tersebut. Pada jaman dulu sebelum negara Indonesia merdeka Pondok Baru hampir 80% dikuasai Belanda dan digunakan sebagai lahan atau kebun teh milik belanda. Para pekerjannya adalah orang pribumi yaitu rakyat Indonesia. Belanda saat itu berperan besar terhadap pertumbuhan perekonomian di Pondok Baru, karena merekalah yang menguasai semua daerah yang ada di kota tersebut. Konon pada zaman dulu kehidupan Belanda sangatlah makmur karena mereka mempunyai lahan yang sangat luas. Sebagai tanda bukti bahwa Belanda pernah menduduki Pondok Baru adalah masih adanya bangunan yang mereka miliki berdiri kokoh sampai saat ini yaitu benteng pertahanan mereka “pos jaga” yang terletak di desa Pasar inpress. Bahkan isu yang tersiar masih banyaknya harta “karun” yang mereka miliki pada jaman dulu yang masih tertinggal di Pondok Baru tersebut. Tapi sekarang ini Pondok Baru telah kembali ke pangkuan ibu pertiwi (NKRI) yang sangat kita banggakan ini. Dan sekarang ini sudah jarang sekali petani yang bercocok tanam dengan teh karena semakin majunya jaman dan seiringnya kemajuan kota maka tradisi Belanda tersebut semakin hilang di kota tersebut.( Radja DIayoen, Pondok Baru, 2013).
Melihat sejarah yang gemilang di bidang perkebunan teh pada masa penjajahan, kini saatnya Pondok Baru dapat dijadikan sebagai tempat untuk menjadikan Pondok Baru sebagai pusat pengembangan wisata berbasis kopi dalam destinasi wisata kopi. Terlebih didukung oleh transportasi yang semakin mudah dan lancar lewat jalan baru yang tembus ke jalan KKA Lhokseumawe via Gunung Salak bahkan kini menjadi destinasi wisata yang tergolong jaded (baru). Sebuah rasa optimisme dengan semoga wajah baru dengan sedikit polesan tangan-tangan dingin putra kota dingin akan mampu merealisasikan sebuah senyuman indah dengan sedikit suduhan aroma wisata kopi di Pondok Baru. Semoga![]
Penulis adalah guru Dayah MUDI Samalanga dan penikmat kopi BMW Cek Pen Lamkawe
Editor : Ihan Nurdin