Manifesto Kutaraja 2020
Mukadimah
Reformasi telah mengubah wajah pers menuju era kemerdekaan jurnalistik Indonesia, setelah rezim pendahulu menutup peranan pers menjadi lembaga yang independen.
Keterlibatan negara pada masa lalu dalam mengendalikan pers adalah kemunduran yang tidak boleh terulang pada masa depan.
Itu sebabnya, demokrasi yang membuka jalan, dari ketertutupan menuju kebebasan, sehingga pers mampu bediri sejajar dengan cabang kekuasaan negara, seperti lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Pers berfungsi menjaga keseimbangan (check and balances) antar kekuasaan yang kewenangannya diberikan secara konstitusional. Sebab itu pers disebut sebagai pilar ke-empat demokrasi.
Perkembangan pers semakin pesat, industri media pun tumbuh subur bak cendawan di musim hujan. Tidak terkecuali di Aceh, yang baru saja menata kebebasan pasca perdamaian.
Kehadiran pers bagi kehidupan rakyat Aceh, sejatinya mengawasi kekuasaan agar dalam penyelenggaraan kehidupan publik dan kepentingan umum, dilaksanakan secara bertanggungjawab. Aceh telah melewati beberapa fase kehidupan baru, mulai proses rehabilitasi dan rekontruksi akibat bencana tsunami.
Program reintegrasi, dan pelaksanaan butir-butir MoU Helsinki serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, tentang Pemerintahan Aceh sebagai pelaksanaan perjanjian damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka.
Selanjutnya pelaksanaan pemilihan, untuk pertama kali di Indonesia pengaturan calon independen diatur dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Di Aceh, Pilkada telah dilaksanakan tiga kali pasca perdamaian Helsinki.
Pertumbuhan demokratisasi di Aceh hidup dengan segala keunikan, diantaranya, kehadiran peserta pemilihan yang berasal dari Partai Lokal (Parlok). Sesuatu yang tidak dimiliki propinsi atau daerah lain di Indonesia.
Dalam perjalanan demokrasi Aceh, kehadiran pers telah mewarnai perubahan dan mendorong tujuan dimaksud. Karenanya, dibutuhkan perspektif jurnalisme perdamaian, guna menjaga kepentingan Aceh sebagai local interest.
Begitupun, muncul tantangan yang dihadapi pekerja media di Aceh antara lain, terbatasnya akses untuk ikut serta dalam penguatan kompetensi jurnalis, sertifikasi perusahaan pers, keanggotaan dalam organisasi profesi. Dan yang lebih miris adalah, permasalahan hukum serta teror yang dihadapi jurnalis. Selain itu, praktek jurnalisme dalam bisnis di era virtual hingga menciptakan iklim kebebasan pers masih menjadi tantangan tersendiri.
Sebab itu, para inisiator memandang bahwa, pembangunan solidaritas kepada jurnalis merupakan suatu keharusan. Melalui sebuah gerakan yang dinamakan Manifesto Kutaraja, Insan Pers di Aceh mencoba merintis jalan baru.
Manifesto Kutaraja atau yang disingkat; MANIFESKU adalah penegasan dan pernyataan sikap guna mengembangkan kehidupan pers di Aceh.
Perjuangan ini merupakan usaha terhadap perlindungan dan peningkatan kemerdekaan pers Aceh yang berdasarkan prinsip-prinsip, syariat Islam, perdamaian, demokrasi, kedaulatan atas hukum, dan kemanusiaan.
MANIFESKU diumumkan pada bulan Agustus 2020, sebagai tanda bahwa energi wadah ini tidak terlepas dari semangat kemerdekaan. Dalam konteks Aceh. Bulan Agustus juga bertepatan dengan perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia serta perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia.
Gerakan ini diisiasikan oleh jurnalis, akademisi, dan pelaku usaha yang bergerak pada perusahaan pers maupun tokoh masyarakat. Untuk itu, harapan berdirinya sebuah organisasi pers yang bebas dan bertanggung jawab semakin menjadi penting. Dalam upaya memelihara dan membesarkan tanggung jawab, meneguhkan disiplin jurnalis dan menjaga integritas. Maka kelahiran sebuah organisasi Federasi Jurnalis Aceh (FJA) menjadi strategis.
Gagasan pembentukan FJA adalah ikhtiar jurnalisme dan harapan untuk terwujudnya jurnalis yang profesional, kompeten, kredibel, dan berintegritas, serta mendahulukan informasi yang berdasarkan kebenaran.
FJA ikut berperan dalam merawat independensi pers, menghadirkan jurnalisme yang inklusif, yang tunduk pada aturan dan regulasi pers nasional, kode etik atau code of conduct, dan kebijakan serta peraturan Dewan Pers sebagai perpanjangan tangan negara dalam mengawasi perusahaan serta organisasi maupun jurnalis di Indonesia.
Nah, atas dasar itulah, kami mengajak jurnalis, perusahaan pers dan akademisi di Aceh untuk; GERAK SETARA, MAJU BERSAMA, menjadi inisiator dan pendiri Federasi Jurnalis Aceh yang akan segera dideklarasikan.
Berikut Tujuh Manifesto Kutaraja
Bismillahirrahmanirrahim
Memohon Rahmat dan Ridha Allah SWT
Kami Menyatakan Tujuh Manifesto Kutaraja Sebagai Dasar Berdirinya
Federasi Jurnalis Aceh
Pertama
Kami memandang bahwa kemerdekaan pers merupakan hak asasi warga negara yang patut diperjuangkan dan dijaga kewibawaannya.
Bahwa kerja-kerja pers berdiri di atas penghormatan terhadap Pancasila sebagai norma fundamental negara, perlindungan atas kemerdekaan berdasarkan UUD 1945 dan nilai-nilai syariat Islam yang menjadi ruh dalam hukum dan kebudayaan Aceh.
Kedua
Kami berkomitmen menegakkan spirit (semangat) jurnalisme perdamaian. Karena itu tidak dapat dipisahkan dalam sejarah panjang Aceh, pasca perdamaian Aceh yang dilaksanakan pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.
Ketiga
Kami berupaya untuk mendorong tegaknya UU No:40/199 tentang Pers, kode etik jurnalistik serta peraturan Dewan Pers kepada seluruh insan Pers.
Keempat
Kami juga berkomitmen untuk mendorong sertifikasi media sebagai sarana kualifikasi terhadap eksistensi perusahaan pers.
Kelima
Kami akan berupaya untuk mendorong terwujudnya jurnalis yang berkompetensi, terakses dengan peningkatan sumber daya manusia (SDM) melalui media workshop, seminar, dan kegiatan edukatif dengan tujuan sebagai penguatan kapasitas jurnalis.
Keenam
Mendorong lahirnya Qanun Aceh, Tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan Kehidupan Pers di Aceh.
Ketujuh
Komitmen ini Insya Allah akan kami wujudkan melalui sebuah organisasi yang bernama Federasi Jurnalis Aceh atau disingkat FJA.
