Laporan Muhajir Juli, Hendra Syah, Ihan Nurdin
Dahlan Djamaluddin, lelaki kelahiran Meuko Kuthang, Pidie Jaya, pada 26 Agustus 1980, usai Zuhur di pertengahan Ramadhan lalu, muncul dari balik pintu rumah dinasnya di kawasan Blang Padang, Banda Aceh. Dengan senyum ramah dia menpersilahkan tim aceHTrend duduk di sofa yang berada di ruang tengah. “Maaf, karena Ramadhan, kita tidak bisa ngopi,” katanya sembari tersenyum.
Kedatangan aceHTrend sudah direncanakan sehari sebelumnya. Dahlan ingin berbagi gagasan tentang Aceh. “Kita perlu berdiskusi banyak hal tentang Aceh. Tentang mimpi kita dan apa yang harus kita lakukan untuk masa depan negeri ini,” ucapnya.
Awalnya kami berdiskusi tentang peristiwa mundurnya PT Trans Continent dari Kawasan Industri Aceh (JIA) Ladong, yang sempat diplesetkan dengan nama Kawasan Industri Abunawas oleh sejumlah orang.
Menurut Dahlan, peristiwa mundurnya Trans Continent dari KIA Ladong, bukan peristiwa pertama kali di Aceh, tentang calon investor yang kemudian membatalkan investasinya di Aceh. Sengkarut ragam masalah di bidang investasi di Serambi Mekkah telah terjadi jauh-jauh hari. 15 tahun usia perdamaian antara GAM dan RI, dengan tiga kali pergantian pucuk pimpinan daerah, Aceh memiliki satu kendala utama. Aceh dalam hal ini diwakili oleh eksekutif dan legislatif, tidak memiliki agenda besar bersama. Semua sibuk dengan tujuan-tujuan jangka pendek personal, yang ternyata juga menguras cukup banyak energi.
“Setelah terpuruk konflik dan musibah tsunami, dan kemudian terwujudnya perdamaian di Helsinki pada 15 Agustus 2005, sampai sejauh ini saya belum menemukan tujuan besar yang diperjuangkan secara bersama-sama. Apa yang menjadi visi kita [Aceh] untuk menjawab ragam persoalan dan sesegera mungkin membawa negeri ini ke arah yang berkemajuan? Sampai sekarang visi itu belum ada,” katanya.
Padahal, kata Ketua DPRA tersebut, Aceh telah memiliki dokumen penting yang bukan saja diakui secara internal Indonesia, tapi juga diakui internasional, yaitu MoU Helsinki. Memorandum of Understanding Helsinki adalah buku induk yang menjadi acuan bersama bagi seluruh elemen untuk menyatukan energi membangun Aceh. Dalam bahasa Dahlan, MoU Helsinki adalah Kehendak Politik Aceh (KPA) yang dibuat untuk mewujudkan cita-cita Aceh dalam rangka mengejar ketertinggalan dan mewujudkan kemakmuran bagi seluruh manusia di Serambi Mekkah.
“Dalam perjalanannya, Kehendak Politik Aceh (KPA) itu tidak berhasil berwujud dalam langkah-langkah nyata. Justru menjadi cita-cita yang berserakan di sana sini dan parsial, sehingga tidak bisa saling mendukung.”
Dia memberikan contoh di sektor investasi. Apa yang sudah dilakukan oleh Aceh selama 15 tahun? Dengan anggaran yang begitu banyak terserap untuk urusan-urusan lobi, dan segala macam, apa yang sudah berhasil dibawa ke Aceh? Investor mana yang sudah memulai usahanya di Aceh? Lagi-lagi, menurut Dahlan, Aceh gagal memberikan nilai lebih kepada calon investor. Aceh gagal meyakinkan calon penanam modal agar mereka bersedia mengalirkan dananya di Aceh.
Dia memberikan contoh lagi, bagaimana Sumatera Utara terus melaju dengan berbagai Kawasan Industri Medan (KIM), mulai KIM 1 hingga 5. Demikian juga dengan Jawa Timur dengan KIM Sidoarjo, dan lain-lain. Mengapa mereka bisa? Mengapa Aceh justru negatif di mata dunia investasi? Demikian juga dengan target pembangunan 12 progam pembangunan kawasan industri baru yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional, mengapa Aceh tidak masuk? Kelemahan Aceh di mana?
Menurut Dahlan, hal tersebut tidak terlepas dari ketidakmampuan Pemerintah Aceh meyakinkan orang lain untuk hadir membangun Aceh. “Kita, selama ini sibuk dengan seremonial dan pariwara di media massa. Sibuk potong pita dengan mengagungkan diri unggul. Hasilnya mana? Tidak ada ada. Setelah potong pita, launching ini itu, kemudian kembali dingin, seperti tidak terjadi apa-apa,” katanya.
Lebih tajam lagi, Dahlan menyebutkan, Aceh seperti tidak memiliki konsep untuk menghadirkan investasi. “Ketika mengundang investasi, tentu kita harus secara detail menjelaskan bahwa Aceh memiliki ini, investor akan mendapatkan itu. Ada jaminan ini, ada kemudahan itu, dan sebagainya. Siapa yang paling patut untuk disalahkan? Tentu saja pemerintah. Karena pemerintahlah yang punya kewenangan memberikan jaminan, memberikan fasilitas dan kenyamanan bagi dunia investasi. Sejauh ini, hal ini pula yang belum terjadi.”
Efek dari kegagalan menghadirkan investasi ke Aceh, menyebabkan Provinsi penyumbang pesawat di awal berdirinya Republik Indonesia ini, terus-terusan bergelut dengan persoalan klasik, seperti kemiskinan, lemahnya daya saing, pengangguran, penyakit menular, gizi buruk, tidak meratanya Sumber Daya Manusia (SDM) dan tidak meratanya pembangunan. Problem-problem klasik itu akan terus ada selama Aceh masih berkutat pada hal-hal klasik pula yaitu inkonsisten, korupsi, saling menjegal dan tidak kunjung dapat bersatu untuk tujuan yang lebih besar.
Dahlan tidak menampik bila selama ini banyak pihak yang kecewa kepada DPRA, karena Parlemen Aceh dianggap ikut punya andil di dalam hal tersebut. Pun demikian, Dahlan menginagtkan bahwa kapasitas legislatif sangat terbatas, baik dalam hal kewenangan, maupun aksi-aksi nyata. “Kami hanya punya mulut, tidak punya petugas. Fungsi kami hanya tiga yaitu legislasi, penganggaran dan pengawasan. Selebihnya kan ranahnya eksekutif. Pemerintah Aceh dengan jajaran birokrasinya, memiliki sumber daya besar dan energi besar untuk merumuskan semua itu.”
Dalam hal ini, butuh keikhlasan kedua belah pihak (eksekutif dan legislatif) dalam rangka membangun Aceh. Komunikasi yang baik, hubungan yang baik, serta sepemahaman dalam cita-cita pembangunan menjadi sangat penting. Karena bila dua lembaga besar ini tidak singkron, maka yang akan menjadi korban adalah 5 juta rakyat Aceh dan masa depan Aceh itu sendiri.
Bila serius ingin mengubah Aceh, Dahlan mengajak semua pihak untuk keluar dari sikap pura-pura. kamuflase-kamuflase picik dan saling menelikung, sudah harus ditinggalkan.
Peran-peran Robin Hood, mencitrakan personal sebagai orang baik, yang kemudian turun memberikan bantuan di tengah bencana, tidak perlu dilanjutkan lagi. Karena tanpa adanya agenda bersama dalam kerangka besar, maka anggaran yang sangat banyak dikelola oleh Aceh tiap tahunnya, akan seperti kata pepatah Melayu: Arang habis besi binasa. sia-sia dan mubazir.
“Masih banyak PR yang harus kita selesaikan di Aceh. Rakyat masih menunggu terjadinya perubahan. 15 tahun usia perdamaian Aceh adalah waktu yang singkat bila dilihat dari sudut pandang konflik. Tapi bila diukur dari sudut pandang ekonomi, itu waktu yang sangat panjang. 15 tahun yang sudah lewat, tidak pernah bisa kita kembalikan. Tapi kita masih punya kesempatan menata masa depan. Kapan kita harus memulainya? Sekarang! Untuk itu, berhentilah mencari kambing hitam. Kita harus fokus untuk merumuskan cita-cita bersama dalam agenda-agenda besar,” imbuhnya.[]