ACEHTREND.COM,Addis Ababa- Perdana Menteri Pemerintah Republik Demokratik Federal Ethiopia, Abiy Ahmed, Selasa (21/7/2020) mengatakan pihaknya telah berhasil meningkatkan kesepahaman bersama yang penting dengan Mesir dan Sudan, terkait pembangunan mega bendungan Reinassance senilai $4,6 miliar di Sungai Nil Biru, yang kini hampir rampung dikerjakan. Kemajuan pemahaman ini merupakan kemajuan besar setelah terjadinya ketegangan di wilayah itu karena Mesir curiga Ethiopia akan mengendalikan Sungai Nil yang merupakan sumber air utama di kawasan tersebut.
Peningkatan kesepahaman bersama tersebut merupakan pilar penting setelah Pemerintah Ethiopia mulai mengisi bendungan besar itu dengan air yang membuat Mesir dan Sudan khawatir akan terjadinya kooptasi air oleh Ethiopia. Pun demikian Abiy Ahmed mengatakan, kekhawatiran tersebut tidak perlu terjadi, karena pengisian reservoir bendungan, tidak semata bersumber dari air Sungai Nil Biru. tapi juga dari air hujan.
Abiy tidak menjelaskan lebih rinci terkait apa yang berhasil mereka sepakati pada pertemuan yang dipimpin oleh Ketua Uni Afrika sekaligus Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa. Namun pembicaraan di antara para pemimpin negara-negara tersebut menunjukkan pentingnya menempatkan upaya untuk menyelesaikan ketegangan di Sungai Nil, yang merupakan urat nadi kehidupan di sana.
Kehadiran bendungan terbesar di Afrika itu, bagi Pemerintah Ethiopia merupakan peluang besar untuk mengentaskan kemiskinan 110 juta warganya. Sementara bagi Mesir yang berada di hilir, air Sungai Nil merupakan sumber utama pemasok air bagi sektor pertanian, kebutuhan air bersih untuk kebutuhan 100 juta manusia.
Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi menekankan keinginan tulus pihaknya untuk terus mencapai kemajuan atas masalah yang disengketakan. Dikatakan juga para pemimpin sepakat untuk memberikan prioritas pada pengembangan komitmen hukum yang mengikat mengenai dasar untuk mengisi dan mengoperasikan bendungan.
Sebelumnya Mesir juga menyerukan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk turun tangan setelah terjadinya kebuntuan perundingan terkait pembangunan mega bendungan oleh Pemerintah Ethiopia yang juga negara tempat Sungai Nil Biru mengalir di hulu. Permintaan tersebut dilakukan setelah terjadinya kebuntuan perundingan.
Para perunding mengatakan masih ada pertanyaan kunci tentang berapa banyak air yang akan dikeluarkan Ethiopia di hilir jika kekeringan ektrem terjadi. Serta bagaimana negara-negara itu akan menyelesaikan setiap perselisihan di masa depan? Ethiopia menolak arbitrasi yang mengikat pada tahap akhir.
Kevin Wheeler, seorang peneliti di Environmental Change Institute, University of Oxford, mengatakan munculnya sengketa politik setelah Pemerintah Ethiopia membangun bendungan besar di Nil Biru, bukan satu-satunya persoalan. Para pemimpin negara-negara yang mengajukan sengketa juga khawatir akan terjadinya perubahan dinamika kekuatan politik di kawasan itu. Pun demikian dia juga tidak menafikan bahwa musim kering yang merupakan tradisi alam Afrika, akan ikut menjadi sesuatu yang pantas dicemaskan, andaikan tidak ada keputusan yang bisa melindungi semua kepentingan atas aliran Nil Biru. Apalagi kekeringan yang bertahun-tahun, tentu akan berdampak besar bagi negara yang berada di hilir Nil.
Apalagi Mesir menjadikan Sungai Nil sebagai sumber utama pemasok air tawar. Bila Ethiopia berhasil “memonopoli” air Nil, maka di masa depan Mesir akan bermasalah dengan kebutuhan air bersih untuk konsumsi dan pertanian, khususnya di musim kering ektrem. [dbs]