Oleh Muhajir Juli*
Perang panjang yang merenggut ribuan nyawa, membentuk danau air mata dan lautan darah luka, berakhir pada 15 Agustus 2005. Delegasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan RI bertemu di meja perundingan. Musibah gempa dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 memberikan ruang bagi para pihak untuk sesegera mungkin duduk rembuk; atas nama kemanusiaan. Setelah gagal bersepakat untuk berdamai di beberapa perundingan sebelumnya.
Aceh, sepanjang riwayatnya–setelah bergabung dengan Republik Indonesia, merupakan wilayah yang terus-menerus berdarah. Perlawanan atas nama agama yang dipimpin oleh Daoed Beureueh (DI/TII) dan atas nama bangsa Aceh oleh Hasan Tiro (ASNLF/GAM) dijawab dengan ragam operasi militer. Dari satu luka ke luka yang lain. Dari satu tragedi kemanusiaan ke tragedi lainnya. Camp-camp penyiksaan; situs-situs kekerasaan; kamar-kamar pemerkosaan; lorong-lorong penghilangan paksa, begitu banyak di Aceh. Siapapun yang tinggal di Aceh kala itu, menjadi korban. Hanya kadar saja yang berbeda-beda.
Hingga saat ini, setelah 15 tahun sejak damai dideklarasikan di Helsinki, Finlandia, para penyintas masih banyak yang hidup. Menyimpan ragam kenangan, luka, trauma dan duka-duka lainnya. Tiada terkira yatim, piatu, janda, duda, dan mereka yang kehilangan masa depan akibat keberingasan perang.
Serta duka-duka dari mereka yang hingga kini masih saja ragu apakah orang-orang yang mereka cintai, yang tidak kunjung pulang sampai hari ini, masihkah hidup? Bila sudah mati, pusaranya di mana?
Saya merekam dengan hati pilu, kisah seorang kawan; ayah dan ibunya hilang di Seumirah, Aceh Utara, ketika DOM masih diberlakukan di Aceh. Ayahnya dibunuh oleh Orang Tidak Dikenal (OTK). Satu minggu kemudian, ibunya yang baru beberapa hari melahirkan, menyusul ke Seumirah. Perempuan berkulit kuning langsat itu, hingga kini tidak pernah lagi kembali ke Teupin Mane, Juli, Bireuen. Masihkah ia hidup? Ataukah sudah tiada? Bila benar sudah dibunuh, kuburnya di mana? Siapa pembunuhnya?
Luka yang tumbuh dan belum sembuh hingga sekarang, tidak akan pernah terobati dengan pidato di tiap tanggal 15 Agustus. Tidak akan pulih dengan spanduk-spanduk yang mengajak rakyat memaafkan kebringasan masa lalu. Tidak akan sirna dengan kegiatan-kegiatan seperti Tour Motor Gede Hari Damai Aceh. Justru, liang luka akan semakin bernanah, ketika para pengambil kebijakan, mereka yang memiliki otoritas, justru memaksa korban dan keluarganya melupakan kepahitan. Memaksa melupakan kekejaman yang menimpa mereka di masa lampau. Ini bukan persoalan memelihara dendam, tapi perihal menjaga ingatan. Persetan dengan segenap imbauan damai, bila para pelaku kejahatan masih saja sok suci dan tidak berani menunjuk liang kubur saudara kami.
Para pelaku pelanggar HAM hingga kini masih petantang-petenteng di ruang publik. Tidak tersentuh hukum. Tidak pernah mengakui kekejamannya di masa lampau. Bahkan kini mulai menampakkan lagi kebringasan itu kepada siapa saja yang berani menggugat keberadaan mereka yang seakan-akan kebal hukum.
Rakyat–para korban dan keluarganya– sedang menunggu aneuk agam, yang bukan hanya jago menghabiskan anggaran atas nama konflik untuk seremonial dan lambong-lambong keupiah;Tapi juga berani mengajak para pemilik otoritas untuk berani mengakui bahwa mereka pernah sangat zalim, pernah sangat jahat, pernah sangat buruk perangainya, pernah sangat biadab di atas tanah Serambi Mekkah. Siapapun mereka; pihak negarakah, GAM, atau entitas-entitas lainnya, yang pernah membunuh, pernah membakar, pernah menghasut, pernah melakukan kekejaman. Mereka harus dipaksa meminta maaf. Harus dipaksa mengakui kesalahan. Harus dipaksa menunjuk pusara orang-orang yang mereka bunuh. Serta harus mengatakan, mengapa mereka membunuh.
15 Agustus yang kini sudah tahun ke-15, bukan peristiwa biasa. Itu tanggal bersejarah tentang komitmen bersama menghentikan perang yang berpuluh tahun telah berkobar. Komitmen untuk kembali bersama membangun Aceh.
Sudah sepatutnya, 15 Agustus menjadi milik seluruh rakyat Aceh. Menjadi milik kita bersama. Bukan milik Wali Nanggroe, bukan milik Komite Peralihan Aceh (KPA), bukan milik Pemerintah Aceh, juga bukan milik individu lainnya.
15 Agustus adalah milik kita. Milik 5 juta rakyat Aceh.
Mari kita menjaganya. Mari kita merawatnya. Mari kita memperjuangkan hal-hal yang belum kita miliki.
Damai ini jangan terenggut lagi. Kita adalah saksi mata bahwa perang hanya menghadirkan mala petaka. Pun demikian, kita butuh pengakuan atas segenap luka yang telah mendedah tiap inci badan para korban. []
*)Penulis adalah Jurnalis aceHTrend.
Komentar