Tujuh puluh lima tahun sudah Indonesia merdeka sejak diproklamirkan oleh Ir Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Kini wajah negeri ini sudah banyak berubah karena kemerdekaan tersebut telah membawa banyak kesejahteraan bagi rakyat. Namun, apakah kesejahteraan juga berpihak pada guru, khususnya guru honorer di Indonesia? Terlebih di tengah situasi pandemi Covid-19 seperti saat ini?
Untuk melihat bagaimana kondisi guru honorer di Indonesia, berikut beberapa wawancara yang dilakukan oleh aceHTrend kepada sejumlah guru honorer.
Salah satunya Ubaidillah. Guru MAN 2 Aceh Barat ini sudah sebelas tahun berprofesi sebagai guru honorer. Ia harus tetap mengajar di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang tentunya disesuaikan dengan protokol kesehatan. Walau kadang ia harap-harap cemas dengan pemberitaan media massa mengenai penyebaran virus ini, tapi pekerjaan sebagai guru tetap dilakoninya.
Begitu pula dengan anak didiknya yang masih khawatir untuk pergi ke sekolah, tapi selebihnya semua berjalan normal. Dalam satu ruangan terdapat 20 orang siswa dengan meja yang diberi jarak antarsiswa. Namun, selama pandemi Covid-19 jam pelajaran harus dikurangi yang awalnya 45 menit, sekarang menjadi 30 menit. Pengurangan jam pelajaran tersebut tentunya berefek pada penghasilan yang didapatnya.
“Di situasi Covid-19 ini, kami sebagai guru honorer cenderung tidak ada pemasukan. Jika pun ada sangat kecil, bahkan tidak cukup untuk biaya hidup sehari-hari,” ujar Ubaidillah kepada aceHTrend (15/8/2020).
Ubai berharap dengan kondisi seperti ini guru honorer jangan luput dari perhatian. “Guru honorer juga pekerja bukan cuma duduk-duduk saja. Sayangnya guru honorer tidak mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan kartu prakerja apalagi santunan BPJS ketenagakerjaan yang diagungkan pemerintah. Guru honorer tidak diperhatikan dan cenderung dianaktirikan. Bantuan yang tidak sedikit pun dirasakan oleh guru honorer sangatlah tidak acuh pemerintah terhadap profesi ini,” ungkap guru yang juga berprofresi sebagai blogger ini.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Nuriana, guru dari SMK Negeri 1 Panga, Aceh Jaya. Akibat pandemi Covid-19, honor mereka harus rela ditunda yang mestinya didapatkan di bulan Mei, tapi dibayar sekalian pada bulan Juli 2020.
Padahal selama pandemi Covid-19, dia tetap diharuskan mengajar dan menjadi operator sekolah. Di mana saat situasi saat ini orang-orang harusnya bekerja di rumah, Nuriana lebih sering menghabiskan waktu di sekolah mengerjakan tugas yang dikejar deadline. Di antara pekerjaannya sebagai operator sekolah dia juga menyempatkan waktu untuk mengajar satu kelas dengan dua jam pelajaran.
“Untuk mengajar saya tidak dibayar, tapi saya melakukannya dengan sukarela supaya ilmu saya tidak hilang. Saya bekerja ikhlas tanpa gaji karena saya bersyukur dan menikmati setiap prosesnya. Alhamdulillah, penghasilan saya didapat dari menjadi operator sekolah dan saya sangat senang karena kesukaan saya bermain dengan komputer dan data. Dengan upah Rp100 ribu /bulan untuk paket internet dan satu unit laptop untuk bekerja itu sudah cukup bagi saya,” ujar Nuriana yang pernah menerima penghargaan literasi dari Dinas Pendidikan Aceh Jaya, atas buku-buku yang dihasilkannya.
Selain sebagai operator sekolah, Nuriana juga berstatus sebagai guru honorer kontrak provinsi yang bayarannya lumayan tinggi. Namun, ia menyayangkan teman-temannya yang berstatus sebagai guru honorer sekolah yang harus rela berbesar hati menerima penghasilan ala kadarnya.
“Mereka yang berstatus sebagai guru honorer dibayar 15 ribu/jam. Ada satu guru honorer kami yang jumlah jamnya hanya 5 jam pelajaran, jadi kadang pemasukannya hanya Rp250 ribu per bulannya karena hanya dibayar dari satu sekolah saja. Selain itu sistem sekarang, hanya terpaku pada satu sekolah saja. Contohnya seperti guru Seni Budaya. guru seni susah sekali didapatkan, hanya beberapa saja. Namun, di satu sekolah guru tersebut hanya memiliki jumlah jam mengajar 12 jam. Sedangkan sekolah tetangga tidak ada guru berkualifikasi seni, padahal ada 12 jam juga untuk pelajaran seninya. Sehingga jika guru seni tersebut dibayar mengajar di kedua sekolah tersebut, maka itu akan sangat bermanfaat bagi guru dan sekolah. Sekolah tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membayar guru lain yang bukan pada bidangnya. Namun, sayangnya itu tidak dibolehkan,” kata Nuriana.
Nuriana berharap sistem pembayaran untuk guru honorer sama seperti guru sertifikasi, yaitu boleh mengambil di beberapa sekolah dan jumlah jamnya diakumulasikan, sehingga guru yang memiliki jam sedikit di sekolah induk punya harapan lebih besar untuk mendapatkan upah lebih banyak dengan mengajar di sekolah lain yang membutuhkan guru tersebut.
Apa yang disampaikan Nuriana, kurang lebih sama dengan apa yang dirasakan oleh Ulil Rukmana. Ia sudah 2,5 tahun berkerja sebagai guru honorer di MAN 1 Aceh Selatan. Selama pandemi Covid-19, jam mengajarnya harus disesuaikan. Biasanya ia masuk dua kali dalam seminggu, tapi saat ini hanya bisa sekali seminggu yang tentunya ini berpengaruh pada pendapatannya.
“Padahal di lapangan guru honorer dituntut mengerjakan tugas yang sama bebannya dengan guru yang berstatus PNS, malahan ada yang lebih. Kadang kala guru honorer itu dimanfaatkan tenaganya saja, tapi tidak diperhatikan kesejahteraannya. Harusnya guru honorer juga mendapatkan upah yang layak dan haknya perlu dilindungi. Oleh karena itu, kebijakan yang berpihak kepada guru honorer harus ada,” ungkap Ulil.
Lebih lanjut Ulil menjelaskan bahwa status guru honorer ada bermacam-macam. Ada guru honorer kontrak pemerintah yang gajinya jelas dan disesuaikan dengan grade. Gajinya dihitung per bulan meskipun terkadang di lapangan dibayarkan tiga bulan sekali, tapi besarannya disesuaikan dengan upah minimum regional (UMR) daerah.
Nah, ada juga guru honorer yang diangkat atas surat keputusan (SK) kepala sekolah seperti dirinya. Jadi, kekuatan hukumnya hanya ada di tingkat sekolah dan tidak terdapat di data dasar pemerintah. Gajinya dibayarkan atas dasar jumlah pertemuan jam mengajar, misalnya Rp8 ribu/jam. Setiap sekolah berbeda besar honornya tergantung sumber dana yang ada di sekolah. Malahan ada sekolah yang bayarnya cuma Rp3 ribu/jam.
“Namun, ada juga guru honorer yang diangkat oleh kepala sekolah, tapi dengan status bakti. Honornya tidak jelas, bila ada kemudahan dikasih dan kalau tidak ada harus ikhlas dengan hanya ucapan terima kasih saja,” jelas Ulil yang mempunyai gelar ganda ini, yaitu sebagai sarjana pendidikan dan sarjana psikologi.
Ulil berharap ada peningkatan kesejahteraan bagi guru honorer melalui mekanisme dengan cara penilaian profesionalitas dan kinerja. Karena banyak juga guru-guru honorer yang berkualitas tapi tidak dihargai sesuai kapasitas dan kinerjanya. Hendaknya pemerintah membangun sebuah iklim positif bagi guru honorer dan memperhatikan kesejahteraannya dengan membuat kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada guru honorer.
Kondisi seperti yang dijelaskan di atas masih banyak dialami oleh para guru honorer di Indonesia. Apalagi di situasi pandemi Covid-19 ini membuat guru honorer semakin terjepit karena mereka berada di situasi yang sulit. Dengan pendapatan yang pas-pasan, bahkan jauh dari status berkecukupan mereka harus tetap mengajar dan melawan rasa takut akan kemungkinan terkena Virus Corona.
Bisa dibayangkan bila guru honorer tersebut kepala keluarga yang harus menghidupi istri dan anak-anaknya. Tentu ini semakin mempersulit kehidupan guru honorer tersebut, walau Indonesia sudah 75 tahun merdeka tapi kesejahteraan mereka tidak kunjung tiba.
Guru honorer bukanlah guru nomor dua karena kemampuannya sama dengan guru yang berstatus PNS, hanya saja nasibnya tidak sebagus guru yang berstatus PNS. Banyak guru honorer yang pintar-pintar, bahkan menuai prestasi di tempat lain dengan gelar pendidikan yang bagus. Namun, lagi dan lagi kondisi sejahtera belum berpihak pada guru honorer.
Masih banyak kisah pilu guru honorer di luar sana yang membuat kita miris mendengarnya, tapi mereka lebih memilih bungkam dan menerima apa adanya. Hanya sedikit yang mau bersuara menyampaikan kondisi mereka. Semoga bisa terketuk hati pemerintah untuk memperhatikan kesejahteraan guru honorer di Indonesia.[]
Editor : Ihan Nurdin