Oleh Ahmad Human Hamid*
Dapatkah serangan Covid-19 dikategorikan sebagai invasi asing, sehingga negara dapat dianggap dalam keadaan bahaya, dan status darurat dapat diberlakukan? Pertanyaan itulah yang kini sedang diributkan di Filipina.
Walaupun ditentang banyak pihak , Duterte, presiden Filipina ingin agar Covid-19 diangap sebagai “musuh”. Ia ingin pemerintah dapat menerapkan keadaan darurat, dan ia mempunyai kewenangan lebih mutlak dari sebelumnya. I
Duterte punya kawan di Hongaria, Perdana Menteri Viktor Orban yang sudah pernah membuat status darurat, kemudian dicabut dengan tetap berpeluang untuk diterapkan kembali. Kedua mereka disangka banyak pihak punya motif politik lain, ingin menguasai dan membungkam lawan politiknya, dengan menggunakan alasan Covid-19.
Walaupun tudingan culas kepada Duterte dan Orban ada benarnya, namun persepsi Covid-19 sebagai musuh negara kini sudan dianut banyak negara, bahkan dengan menerapkan status darurat, melebihi darurat bencana biasa. Yang paling penting adalah “mental” dan “tindak” penyelenggara pemerintahan yang bekerja ekstra persis seperti negara dalam keadaan bahaya, atau perang.
Mereka memaksa ilmuwan untuk tidak tidur, bekerja siang malam untuk pemantauan, strategi isolasi, pencarian obat therapeutik, vaksinasi. Di samping itu juga kordinasi dan konsolidasi dengan berbagai elemen strategis masyarakat, bahkan termasuk angkatan bersenjata untuk memastikan negaranya tidak dikalahkan oleh virus Covid-19.
Saya tidak tahu apakah pemimpin Aceh menerapkan “mental perang” atau tidak dalam menghadapi serangan Covid-19 ini. Yang pasti jumlah pasien positif terus bertambah, jumlah korban juga terus bertambah, dan gagasan jalan keluar yang perlu diketahui publik belum pernah diumumkan.
Dengan melihat kepada perkembangan yang ada dibeberapa tempat lain di luar negeri, dan di Indonesia , sikap yang sedang ditunjukkan oleh pemerintah daerah dalam penanganan Covid-19 jelas sangat berbahaya. Walaupun ada kontroversi awal tentang gagasan pemda membeli tanah kuburan khusus untuk korban Covid-19, jangan-jangan memang itulah yang dibutuhkan dalam waktu yang tidak lama lagi.
Kepada generasi muda yang membaca artikel ini dan peduli dengan masa depan Aceh, untuk memudahkan imaginasi Anda tentang bagaimana korban Covid-19 di bulan-bulan mendatang di Aceh, bacalah kasus negara Brazil. Kalau malas membaca ketiklah di mesin pencari googgle dengan tiga rangkai kata ini; Covid19 ,Brazil, grave.
Setelah itu di bawahnya pilih saja gambar, jangan yang lain. Di situ akan nampak jajaran kuburan harian korban Covid-19 di negara itu dengan jumlah yang luar biasa. Kalau Pemerintah Aceh tidak melakukan pengendalian secepatnya secara serius, kita sedang menuju kepada keadaan seperti itu dalam waktu yang tidak lama lagi.
Itulah sebabnya mental perang diberlakukan ,walaupun di negara demokrasi sekalipun. Di AS, 48 negara bahagian telah menetapkan status darurat. Lebih dari itu Trump sendiri, sang presiden pernah mengumumkan AS dalam keadaan darurat. Penetapan keadaan darurat juga pernah berlaku di banyak negara seperti Ethiopia, Jepang, Armenia, Estonia, Georgia, Latvia, Moldova, Romania, Slovakia, Republik Cheko, Hongaria, Spanyol, dan Italia.
Perkembangan terakhir di India juga menyebutkan bahwa Mahkamah Agung India telah memberikan lampu hijau kepada Perdana Menteri Moodi untuk dapat menetapkan status darurat sehubungan dengan Covid-19 jika diperlukan.
Karena kelalaian pemerintah daerah, masyarakat Aceh kini semakin terbiasa menerima kenyataan keganasan Covid-19 yang akan terus menggerogoti dan menjalankan missinya untuk menulari populasi sampai mencapai angka 60-80 persen.
Awalnya publik agak shock ketika mendengar RSUZA sudah mulai penuh dengan pasien. Namun, lama kelamaan sudah dianggap biasa, dan tidak lagi menjadi berita. Intinya musibah Covid-19 pada hari hari mendatang sudah akan dianggap sebagai part of everyday life.
Obrolan kedai kopi hanya akan mempertanyakan jumlah korban, dan bahkan tanpa ekspresi sedih, miris, apalagi marah. Pemerintah daerah sepertinya akan menjadi pemegang peran utama dari terciptanya kondisi psikologi publik yang baru seperti itu. Penyakit dan kematian adalah takdir, dan dengan itu semua akan normal, dan banyak pihak yang seharusnya bertanggung jawab , akan tidur nyenyak.
Kalau tidak ada upaya pengendalian yang serius, Aceh akan menerima Covid-19 layaknya penyakit flu biasa. Dan kali ini flu baru itu bernama Covid-19 yang sedang menuju herd immunity– immunitas kelompok.Sekalipun rute Covid-19 sama dengan flu, ceritanya menjadi lain ketika liku-liku jalan yang ditempuh untuk menulari 60-80 persen penduduk.
Flu memang mematikan, walaupun kita di Aceh sangat sedikit orang meninggal karena penyakit flu. Sebaliknya Covid-19 ketika menulari manusia ia akan membunuh jauh lebih hebat dari flu biasa. Untuk mencapai penularan 60-80 persen ada harga yang mesti dibayar, yakni kematian anggota masyarakat. Siapa yang dibunuh? Umumnya setiap kelompok korban Covid-19 akan terhubungkan dengan posisi demografis dan sosial ekonominya..
Walaupun teka teki dan mutasi penyakit ini belum semuanya terpecahkan, sedikitnya ada tiga gugus manusia yang menjadi sasaran utama Covid-19. Yang pertama adalah kelompok manusia usia lanjut, khususnya usia 60 tahun ke atas. Usia ini seringkali berurusan dengan kelemahan daya tahan tubuh, dan juga seringkali sudah menderita penyakit lain sebelumnya, seperti diabetes, jantung, ginjal, dan lain-lain.
Kelompok kedua yang menjadi sasaran Covid-19 adalah orang miskin, termasuk orang yang mempunyai riwayat miskin yang lama. Ketika laporan proporsi kematian Covid-19 di AS dikaitkan dengan istilah “people of color” mereka adalah orang non kulit putih, yakni penduduk kulit hitam dan orang hispanic yang kulitnya berwarna coklat. Dalam strata ekonomi AS mayoritas mereka adalah pekerja murahan dengan upah rendah, dan kualitas hidup yang juga relatif rendah. Ketika disebut people of color itu artinya orang miskin, dan itulah salah satu sasaran utama Covid-19.
Selebihnya adalah orang yang walaupun di bawah 60 tahun, bahkan muda sekalipun, tetapi memupunyai penyakit serius lain, yang oleh ahli kesehatan disebutkan dengan istilah ko-morbid . Istilah itu sangat sering berurusan dengan manula, karena mereka menderita penyakit serius itu. Usia mudapun kalau menderita hal yang sama, juga berstatus ko morbid dan berpeluang menjadi korban Covid-19.
Istilah ko-morbid itu tidak lain dari pada penyakit penyerta yang telah ada pada seseorang, yang ketika diserang oleh Covid-19 lebih sukar untuk ditangani, dan seringkali membawa kematian. Sekalipun, ko-morbid lebih banyak berasosiasi dengan orang tua, di kalangan kelompok muda usia juga tidak kurang penyakit penyerta itu.
Diabetes di Aceh mendekati 500.000 ribu jiwa yang kebanyakannya didominasi oleh kelompok 50 tahun ke bawah, perevelansi jantung,0, 7 persen, hipertensi mendekati 10 persen, dengan juara kota Banda Aceh 33.1 persen, dan ginjal kronis se Aceh dengan prevalensi sekitar 0.4 persen. Angka angka ini sangat perlu kita sebutkan, karena ilmu pengetahuan berikut dengan pengalaman di tempat lain menunjukkan ada hubungan erat antara korban Covid-19 dengan keberadaan penyakit penyerta seseorang.
Harus kita diakui semenjak kasus Covid-19 mencapai angka 500 ,kemudian mencapai 1.000, dan dalam minggu depan kemungkinan besar akan mencapai 1.500, masyarakat sudah terbiasa. Kematian pun telah mulai naik dari mulai satuan , belasan, dua puluhan, kini sudah mendekati empat-puluhan. Sementara itu berbagai pemangku kepantingan utama selain pemerintah juga mengerjakan apa yang bisa. Ulama mengerjakan apa yang bisa, kelompok mahasiswa dan anak muda juga mengikuti dan menyerukan semampunya, satu dua tokoh adat berkontribusi ala kadarnya. Pemerintah daerah tingkat II cukup menerima instruksi biasa.
Dengan bobot tantangan seperti ini bagaimana mungkin seluruh pemangku kepentingan daerah tidak pernah diajak duduk serius untuk mempunyai persepsi bersama, dan mempunyai “definisi” yang sama tentang musuh Covid-19, dan pada akhirnya akan berbagi peran untuk mengatasinya.
Kita tidak pernah mendengar MPU,MAA, dan MPD, LSM, dan para tokoh masyarakat Sipil diajak duduk bersama untuk mendikusikan dan bebagi peran dalam menghadapi ancaman “perang”, yang meminta semua pihak untuk mempunyai mental perang.
Di lain pihak kita juga sudah mendapat sinyal berkali-kali kesiapan pemimpin Kepolisian dan TNI di propinsi ini untuk berkontribusi besar dalam penanggulangan Covi-19 di Aceh. Yang dimaksud bukanlah kesiapan mereka untuk berperang, tetapi kecepatan dan ketepatan adalah sebuah kebiasaan hari-hari yang dimilili oleh kedua institusi ini yang jika dipadukan dengan berbagai pemangku kepentingan lain di Aceh akan menjadi sebuah kekuatan penangkal kuat untuk menghadapi Covid-19 ini.
Menghadapi pengendalian Covid-19 di Aceh yang belum nampak cetak birunya berbagai kampus negeri dan swasta juga mengerjakan ala kadarnya, sesuai kemampuan yang dimilikinya. Universitas Syiah Kuala semampunya mengurus laboratorium pemeriksaan spesimen test Covid-19, di tengah gencarnya “pemboikotan” dan “pembusukan” yang dilakukan oleh pihak tertentu di “dalam” sana. “Fardhu kifayah” intelektual diberikan dengan memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya
UIN Ar Raniry , Universitas Malikusaleh, Univeritas Teuku Umar, dan Universitas Samudera sepertinya juga belum diajak untuk berkontribusi. Mereka mungkin telah bekerja sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimilkinya. FKM Universitas Muhammadiyah Aceh yang mempunyai kompetensi kesehatan masyarakat yang seharusnya diberdayakan dalam Covid-19 ini juga sepertinya belum dilibatkan.
Semua yang telah disebutkan adalah sejumlah pemangku kepentingan yang ketika propinsi ini mendapat tantangan tidak selayaknya ditinggalkan. Ketika pada masa-masa awal para pemangku kepentingan itu mungkin tidak perlu diajak, namun ketika Covid-19 sudah mulai beraksi membunuh korban rakyat Aceh secara perlahan, namun terus bergerak dan bergerak, sudah sangat pantas para pemangku kepentingan itu dipertemukan.
Barangkali pemerintah daerah punya keyakinan sendiri. Betapapun hebatnya serangan Covid-19, pemerintah punya kapasitas dan kapabilitas yang berlebih untuk menangani tantangan ini. Tetapi bukti awal yang terlihat hari ini, baru awal babar pendahuluan saja, pemerintah daerah sudah kelabakan. Jangan-jangan Aceh akan punya sebuah “new normal” versi Aceh.
Bentuk konkritnya mungkin seperti hari ini, belum ada test massal yang agresif, akses terhadap test yang nyaris tak tersedia dan terdistribusi secara merata, dan kewenangan menerapkan protokol Covid-19 yang telah dipertegas dengan instruksi presiden masih belum dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Kalau hal-hal yang telah disebutkan di atas tidak ditangani secara cepat dan massif, bentuk “new normal” versi Aceh yang akan terjadi adalah, jumah pasien positif diperkirakan akan membludak, tidak lagi seperti hari-hari ini, jumlah korban juga akan semakin bertambah dalam jumlah yang signifikan, dan rumah sakit yang ada tidak akan mampu menampung pasien sampai ke daerah sekalipun.
Mudah-mudahan sejumlah pekerjaan rumah itu segera diselesaikan, sehingga “new normal” versi Aceh tidak akan terjadi.
*)Penulis adalah Guru Besar Unsyiah
Dari redaksi: Lhob Mate Corona (LMC) adalah serial tulisan dari Ahmad Humam Hamid, Sosiolog Universitas Syiah Kuala yang ditujukan untuk sharing dan edukasi publik dan pihak-pihak terkait untuk topik Covid-19. Dipublikasikan setiap Selasa dan Sabtu.