Oleh Mahrizal Paru*
Apa yang paling diingat oleh orang Kamboja tentang masa lalunya? Sebagian besar akan menjawab tentang pengalaman pahit terkait kekerasan, kelaparan, kerja paksa, perebutan kekuasaan, dan pembersihan etnis (genosida) ketika Khmer Merah berkuasa pada tahun 1975-1979. Pada tahun-tahun tersebut, sekitar 1,5–2 juta orang atau 25% dari penduduk Kamboja meninggal dunia.
Ketika saya bertemu dengan beberapa warga muslim Kamboja di Desa PraiThnung, Teqcho, dan Kampong Keh, Provinsi Kampot, memori pahit tentang masa lalu yang terjadi lebih dari 40 tahun lalu masih membekas sangat kuat. Wak Srei, panggilan untuk seorang wanita yang berumur 50-60 tahun, sama seperti panggilan yang kita gunakan di Aceh ‘wak’ untuk kaum perempuan paruh tua, menceritakan tentang kerja paksa dan pemaksaan untuk makan babi bagi warga muslim yang harus mereka dilalui.

Wak Srei menjelaskan, makanan untuk penduduk dijatah dan diberikan hanya berupa bubur dengan jumlah berasnya bisa dihitung dengan jari. Jumlah beras tersebut berkisar satu genggam dimasak menjadi bubur untuk 10-15 orang. Kelaparan menjadi hal yang biasa yang harus mereka lalui dari hari ke hari.
Wak Srei menambahkan, pada masa Pol Pot berkuasa, kepemilikan pribadi dihilangkan, harta benda disita untuk keperluan Khmer Merah. Pada masa tersebut, kekerasan menjadi hal yang sering dilihat dan dialami, bahkan beliau mengetahui secara persis bagaimana tentara Khmer Merah menyiksa masyarakat Kamboja. Kejadian-kejadian tersebut, meninggalkan trauma dan yang berkepanjangan. Bahkan, hal yang paling menyedihkan bagi beliau adalah ketika suaminya meninggal dunia akibat dari kebrutalan Khmer Merah.
Penulis juga berkesempatan mengunjungi Museum Genosida Tuol Sleng, di Phom Penh. Museum ini bekas sebuah sekolah menengah bergengsi yang diubah menjadi sebuah tempat pusat interogasi S-21. Di museum tersebutlah kekejaman, penyiksaan di luar batas kemanusian terjadi. Foto-foto tentang penyiksaan, pasfoto orang-orang yang pernah disiksa, baju bekas yang digunakan oleh para tahanan, alat-alat untuk melakukan penyiksaan, dan penjelasan bagaimana proses penyiksaan dilakukan oleh Khmer Merah dipajang di hampir di setiap ruangan. Bahkan saksi hidup yang pernah mengalami penyiksaan turut memberikan kesaksian kepada para turis yang datang.

Bagi mereka yang mengalami kekerasan dan penyiksaan, memori kekejaman tidak akan luput ditelan masa. Sebuah tugu Museum Genosida Tuol Sleng bertuliskan “Tidak pernah kami lupa kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh regim Demokratik Kamboja”. Sama hal nya ketika konflik bersenjata terjadi di Aceh, pengalaman pahit tentang penyiksaan dan kekerasan juga meninggalkan dampak dan luka yang mendalam.
Kita berharap, semua yang bersalah dituntut di pengadilan dan diberikan hukuman yang setimpal. Tulisan ini didedikasikan untuk mereka yang mengalami kekerasan dan penyiksaan. Semoga tidak ada lagi segala bentuk kekerasan dan penyiksaan yang dialami lagi oleh manusia.[]
*Penerima beasiswa Fulbright dan alumni dari Universitas Arkasas. Petani durian, lada, dan pinang.
Editor : Ihan Nurdin