ACEHTREND.COM,Lhoksukon– Mendung bergelayut manja di langit sepanjang jalan menuju Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Darussalam, yang dibangun di lintasan Jalan Elak, Gampong Abeuk Reuling, Kecamatan Sawang, Aceh Utara. Di sepanjang ruas jalan, tidak begitu banyak pelintas yang berlalu-lalang. Mungkin karena masih pagi. Warga berada di rumah atau di kebun masing-masing.
Laju sepeda motor aceHTrend berhenti di depan sebuah gerbang yang dibangun dari bambu. Gerbang Masjid Darul Taqwa dibangun secara swadaya oleh mahasiswa KKM Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe.
aceHTrend memutar stang sepeda motor memasuki pekarangan masjid. Di dalam pekarangan masjid berdiri MIS Darussalam, yang menjadi tempat menimba ilmu anak-anak Abeuk Reuling dan sekitarnya.
Melihat madrasah tersebut, mengingatkan aceHTrend pada sekolah-sekolah di Aceh ketika konflik masih menghumbalang Serambi Mekkah. Dengan jumlah murid mencapai 80 orang, madrasah tersebut hanya memiliki tiga ruang permanen. Dua ruang dipergunakan untuk proses belajar-mengajar. Satu ruang lagi untuk perpustakaan dan ruang guru.
Murid-murid yang tidak tertampung di gedung permanen, dididik di bawah sebuah gubuk berbentuk persegi panjang yang seluruh bangunannya dalam kondisi sepuh, rapuh dan menunggu waktu untuk rubuh. Ibarat orang miskin, bangunan tua itu seperti seumpama dhuafa yang hidup sembari menunggu ajal menjemput.
Gubuk yang disebut ruang kelas oleh murid-murid polos itu, berdinding tepas yang sudah bolong. Sebagian disekat dengan belahan kayu kecil yang dipaku jarang-jarang. Atap dari daun rumbia yang sudah bolong juga. Berlantai tanah, dengan meja dan kursi seadanya saja.
“Ruang darurat itu kami sekat dua kelas. Dibangun oleh swadaya masyarakat,” ujar Mansur, SE, Kepala MIS Darussalam, sekaligus satu-satunya guru berstatus PNS di madrasah tersebut, Rabu (26/8/2020).
Bila hujan turun, murid-murid harus pindah ke kelas permanen. Di sana mereka berdesak-desakan sembari menunggu hujan reda.
Baca juga: MIS Darussalam Sawang, Madrasah Tertinggal di Aceh Utara
“Tiga ruang permanen yang dibangun merupakan bantuan dari Kementerian Agama, Dinas Pendidikan Aceh dan Pemkab Aceh Utara, ” terang Mansur.

Untuk segala kekurangan madrasah tersebut, Mansur tidak bisa berbuat lebih jauh. Dia mengaku bila fasilitas yang ada sangat jauh dari layak. Bukan hanya ruang kelas yang tidak mencukupi, sekolah itu juga tidak memiliki MCK. “Untuk keperluan buang hajat murid dan guru, kami pergunakan kakus milik masjid,” katanya.
Guru yang berjumlah 11 orang, tidak satupun pegawai negeri. Pun demikian, mereka tetap rutin mengajar. “Alhamdulillah proses belajar dan mengajar tetap berjalan, walau dengan berbagai keterbatasan,” katanya.
Bagaimana dengan 80 murid di sana? Mereka masih anak-anak. Tetap ceria dan bercanda dan mengaku bahagia bisa bersekolah di sana. Seakan, berbagai kekurangan itu, bukanlah persoalan.
“Kami mohon perhatian dari para pengambil kebijakan. Madrasah ini tempat menempa anak negeri. Wahana bagi anak-anak untuk belajar mengenal dunia. Fasilitas yang baik tentu akan menjadi daya dorong bagi mereka untuk semakin semangat belajar,” kata Mansur. []