Oleh Herman RN
WATAK orang Indonesia itu keras kepala. Tidak mau mengalah dalam berdebat. Merasa dirinya paling benar. Jika dinasihati, masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
Label keras kepala ini sudah jadi rahasia umum, meski tidak dapat dijadikan sebagai referensi mutlak. Sebagian orang Indonesia mungkin memang memiliki watak seperti itu, tetapi tentu saja tidak bisa digeneralisasikan.
Setiap daerah punya definisi sendiri dalam menggambarkan watak keras kepala mereka. Di Sumatera Utara, watak keras kepala disematkan pada kesukuan. Karena di sana banyak orang Batak yang dikenal bersuara lantang, watak keras kepala melekat pada ke-Batak-an tersebut. Halnya di Aceh, watak keras kepala sudah menjadi pemeo yang dikalimatkan dalam guyonan sehari-hari. “Berdebat dengan orang Aceh, jangankan mengalah, seri pun dia tidak mau.” Ungkapan ini melukiskan kerasnya watak orang Aceh. Bahkan, dalam sebuah peribahasa Aceh tergambar lebih sadis lagi. Ureueng Aceh hanjeut teupeh; meunyo ka teupeh, bu leubeh han jipeutaba ‘Órang Aceh tidak boleh tersinggung; kalau sudah tersinggung, nasi basi pun tidak mau ia bagi’.
Tentu saja masing-masing daerah punya kekhasan tersendiri untuk mengungkapkan identitas watak keras kepala mereka. Ada sifat keras kepala karena suka melanggar peraturan lalu lintas. Ada pula sifat keras kepala dilekatkan pada mereka yang pantang menyerah dalam melakukan sesuatu.
Belakangan, watak keras kepala kembali dipersoalkan karena banyak yang tidak mematuhi protokol kesehatan. Di media disiarkan masih banyak masyarakat umum yang tidak memakai masker. Masih banyak juga yang tidak mengenakan penutup wajah. Bahkan, banyak pula yang tidak mau mengindahkan imbauan pemerintah agar menjaga jarak selama pandemi Covid-19 ini.
Ungkapan keras kepala dan tidak taat aturan ini lebih ditujukan kepada masyarakat biasa. Terkadang, awak media sengaja diajak oleh Satpol PP untuk melihat langsung perkumpulan remaja yang tidak mematuhi imbauan pemerintah. Selain itu, tersebut pula kabar sedikit masyarakat Indonesia masih beranggapan bahwa Covid-19 ini hanya konspirasi pihak tertentu.
Di saat banyak yang kurang percaya terhadap wabah mematikan ini, korban terus berjatuhan. Setiap hari Satgas Covid-19 mengabarkan jumlah masyarakat terpapar kian bertambah. Setiap hari pula selalu ada yang meninggal karena Covid-19. Orang boleh saja meragukan wabah ini, tetapi korban yang terus bertambah adalah kenyataan.
Keteladan Sosial
Pemerintah, terutama elite, harus memiliki formula jitu dalam mengatasi persoalan keras kepala ini. Elite di sini bukan hanya kalangan pejabat pemerintah, termasuk pula kalangan legislatif (DPR, MPR, dan DPD). Meski diakui sudah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan legislatif, tetap masih banyak yang mengabaikan imbauan tersebut. Pasalnya, pemerintah mengimbau agar masyarakat menjauhi masjid dan rumah ibadah lainnya, lalu menutup sekolah tatap muka. Akan tetapi, kafe dan tempat wisata dibiarkan aktif dan terbuka.
Terlepas alasan perekonomian dan wisata, telah terjadi ketimpangan peraturan sehingga menimbulkan pelanggaran oleh sebagian masyarakat terhadap imbauan bahaya Covid-19. Suatu hal yang mesti dicermati, pemerintah melupakan keteladan sosial yang harusnya melekat dalam diri setiap pejabat dan elite.
Lihat saja beberapa waktu lalu, publik dihebohkan dengan video bupati dan pejabat Subang sedang berjoget ria. Video tersebut viral di media massa. Di sana terlihat sang bupati dan sejumlah pejabat setempat tidak mengenakan masker. Mereka berkumpul tanpa jarak.
Bupati Subang ini hanya contoh kecil pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan oleh kalangan pejabat. Sebenarnya masih banyak kasus lain yang sudah terjadi. Media sudah menyiarkan adanya anggota dewan yang marah-marah karena terkena razia masker. Belum lagi soal kalangan aparat keamanan sendiri yang melakukan perkumpulan massa di kedai kopi atau kafe. Semua ini pernah terjadi di daerah-daerah, termasuk di Aceh. Hanya saja, Bupati Subang yang nahas tertangkap video warganet.
Di tingkat kementerian dan perguruan tinggi juga ada kasus yang mungkin belum viral seperti dialami oleh Bupati Subang. Sebuah perguruan tinggi di daerah dikunjungi oleh staf Inspektorat Jenderal (Itjen) suatu kementerian dalam rangka tugas negara. Pertanyaannya, apakah di masa pandemi ini, semua tugas negara harus dilakukan dengan kunjungan langsung? Tatap muka langsung? Lantas di mana imbauan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan agar semua orang dapat menghindari tatap muka langsung saat bekerja? Apa makna belajar di rumah atau bekerja dari rumah yang digaungkan presiden selama ini?
Pertanyaan lain, apakah staf Itjen yang diutus mengunjungi kampus tersebut sudah melewati tes kesehatan dengan swab? Salahkah orang perguruan tinggi bertanya perihal tes swab tersebut kepada tamu yang mengunjunginya? Pertanyaan-pertanyaan ini mengacu pada keteladan sosial. Jangan karena merasa diri staf dari Itjen, mereka bebas melakukan apa saja pada pihak universitas. Lantas, sepeninggalan mereka, kalangan kampus akhirnya terpapar Covid-19. Siapa yang bertanggung jawab jika sudah begini?
Kisah yang saya sebut ini baru saja terjadi di salah satu kampus di Indonesia. Barangkali di kampus lain juga pernah terjadi dalam bentuk kasus yang mirip, tetapi tidak terungkap ke publik. Oleh karena itu, jika ingin memutus mata rantai wabah Covid-19 ini diperlukan keteladan sosial dari atas. Jika pihak atas sendiri mengabaikan protokol kesehatan, betapa pula pihak di bawah dan masyarakat umum?
Keteladan sosial merupakan karakter yang harus ada pada pemimpin di negeri ini. Keteladanan sosial juga harus dimiliki oleh kalangan pejabat, legislatif, elite politik, dan seterusnya. Keteladanan sosial juga harus menjadi karakter utama dalam dunia akademik. Menteri memberikan keteladanan pada staf dan jajarannya. Staf menteri tidak boleh merasa diri utusan kementerian sehingga bebas keluar masuk kampus orang. Di kalangan kampus, rektor harus memberikan keteladanan sosial bagi wakil rektor, dekan, dan dosen. Pejabatan dekanan juga harus memberikan keteladanan sosial bagi para dosen dan mahasiswa. Singkatnya, keteladanan sosial harus menjadi karakter setiap orang.
Apabila yang di atas sudah memberikan keteladanan sosial bagi orang yang di bawahnya, tentu imbauan dan ajakan memutus mata rantai virus ini akan berjalan lebih mudah. Selama ini, imbauan selalu diiringi dengan sanksi. Sanksi atau hukuman cenderung membentuk karakter keras kepala. Maka itu, wajar jika orang Indonesia umumnya dikategorikan keras kepala. Mereka sudah terbiasa diajarkan melanggar aturan. Pemerintah harus mengubah cara pandang dan pola pikir masyarakat Indonesia. Hindari sanksi yang berlebihan. Terapkan keteladanan sosial. Mungkin dengan begitu, masyarakat lebih tersentuh hatinya. Akhirnya, semoga wabah ini membentuk keteladanan sosial dalam diri setiap pemimpin kita sehingga layak diteladani oleh masyarakat luas.[]
*Berkhidmah pada kerja-kerja sosial, budaya, dan kearifan lokal
Editor : Ihan Nurdin